Secara umum, ada lima hal yang diatur dalam UU Desa yaitu
tentang jenis desa yang beragam; kewenangan berdasarkan prinsip rekognisi dan
subsidiaritas; demokratisasi desa; dan
perencanaan yang terintegrasi serta konsolidasi keuangan dan aset desa.
Dengan mengacu pada UU Desa, tentu saja banyak perubahan
terkait dengan pengaturan desa , sehingga sebuah keharusan manakala pemerintah
desa berbenah dan menyesuaikan dengan regulasi
tersebut.
Meskipun banyak diakui oleh pemerintah desa, tidak mudah
untuk menyesuaikan dengan regulasi yang baru sehingga butuh proses yang tidak
singkat.
Seperti saat tahun pertama dalam mengimplementasikan UU
Desa, sejumlah kendala banyak di alami pemerintah desa, terutama terkait dengan
implementasi Dana Desa yang cukup besar. Berdasarkan pasal 72 UU Desa, pendapatan desa, salah satunya
bersumber dari Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; “Anggaran bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara” adalah anggaran yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang
ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Besaran alokasi anggaran yang peruntukkannya langsung ke Desa ditentukan 10%
(sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap. Anggaran yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihitung berdasarkan jumlah Desa dan
dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas
wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan dan pemerataan pembangunan Desa
JIka merujuk hal tersebut,
setiap desa akan mempunyai
pendapatan desa yang bersumber dari APBN atau kucuran DD berkisar antara Rp 1,4
M/ tahun. Tetapi untuk tahun pertama, masih berkisar 3,235% dari total transfer
ke daerha atau baru sekitar Rp 20,7 T. Sementara tahun 2016, sekitar 6% yaitu
Rp 46, 9 T.
Uang Rp 1,4 M/tahun, disatu sisi cukup besar manakala hampir
semua desa di Indonesia selama ini hanya
menerima ADD berkisar ratusan juta saja, tetapi DD tersebut kalau sudah dicakke untuk implementasi penyelenggaraan desa tentu saja tentu tidaklah terlalu besar.
Sumber pendapatan desa lainnya adalah dari Alokasi Dana Desa (DD) yang merupakan
bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota; 10% (sepuluh
perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus(DAK).
Setahun Pelaksanaan
UU Desa, Pemdes Masih Butuh Pendampingan dan Dukungan
Tahun 2015 masih ada hal yang harus di benahi, misalnya dalam hal pencairannya DD dibagi dalam tiga tahapan yaitu pada
bulan April sebesar 40%, Agustus sebesar
40% , dan bulan Oktober dengan besaran
20%. Sampai bulan September 2015 DD
masuk ke kas pemerintah daerah sebesar sekitar 80% tetapi pencairan ke kas desa
diperkirakan masih berkisar 40%. Kemudian, giliran DD sudah masuk ke rekening desa, Pemerintah Desa (Pemdes) dilanda kebingunggan manakala belum ada
juklak juknis pengunaan serta tidak ada pendampingan tehnis .
Setali tiga uang, pencairan ADD yang lamban juga
mempengaruhi keberlangsungan pemerintahan
desa. Salah satunya manakala ADD terlambat turun ke rekening desa karena
persoalan pemahaman perangkat desa terhadap peraturan yang berlaku belum merata.
Seperti yang dirasakan sejumlah perangkat desa di Kabupaten Klaten yang
mengaku belum bisa mencairkan ADD karena belum tuntas menyusun APBDesa. Padahal
salah satu syarat pencairan ADD termasuk dana desa, setiap pemerintah desa
diwajibkan merampungkan penyusunan APB desa sesuai ketentuan terbaru.
Kepala Desa Pandes, Wedi, Heru Purnomo, mengatakan salah
satu kendala penyusunan APBDesa yakni kerap berubah-ubahnya aturan penyusunan.
Selain itu, masalah sumber daya manusia (SDM) aparatur desa di wilayahnya juga
menghambat penyusunan APB desa. “Personel
di Pemerintah Desa Pandes saat ini tinggal empat orang. Belum lagi, tidak semua
personel bisa mengoperasikan komputer,” ujar nya(solopos.com 10/4/2016).
Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapermas) Klaten, Herlambang Jaka
Santosa, hingga minggu pertama bulan April, baru 106 desa dari 391 desa yang
mengajukan pencairan ADD. Sementara separo lebih desa belum bisa mencairkan ADD
karena terkendala penyusunan APBDesa tahun 2016.
Hal semacam itu bisa dimaklumi manakala implementasi pada
tahun pertama. Tetapi seyogyanya tidak terjadi lagi pada tahun berikutnya
karena berpotensi menghambat penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan serta pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan sesuai
yang ditetapkan dalam musyawarah desa.
Untuk itu, pekerjaan rumah
yang penting dilakukan pemerintah daerah Klaten , paling tidak secara intens memberikan sosialisasi juklak juknisnya dan melakukan
pendampingan kepada perangkat desa.
Tidak mesti menunggu perangkat desa
secara khusus minta untuk didampingi, tetapi pemerintah daerah bisa turun
lapangan, jemput bola mendampingi desa, dengan memanfaatkan tenaga pendamping
desa yang ada.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar