Rabu, 27 April 2016

Refleksi Setahun Implementasi UU Desa dan PR Kedepan

UU Desa Nomor 6 tahun 2014 tidak dipungkiri mampu memberikan harapan baru sekaligus energi baru bagi desa. Regulasi yang mengatur khusus tentang Desa bagaikan secercah bahaya terang dalam cahaya remang-remang yang selama ini menyinari desa. Baru kali ini, negara memberikan kedaulatan, penghormatan khusus untuk mengatur desa dan desa adat. Singkatnya, UU Desa mampu memberikan dorongan agar desa mampu  menuju kemandirian, bertenaga secara sosial, berdaulat dan berdaya.


Secara umum, ada lima hal yang diatur dalam UU Desa yaitu tentang jenis desa yang beragam; kewenangan berdasarkan prinsip rekognisi dan subsidiaritas; demokratisasi desa; dan  perencanaan yang terintegrasi serta konsolidasi keuangan dan aset desa.
Dengan mengacu pada UU Desa, tentu saja banyak perubahan terkait dengan pengaturan desa , sehingga sebuah keharusan manakala pemerintah desa berbenah dan menyesuaikan dengan regulasi  tersebut.
Meskipun banyak diakui oleh pemerintah desa, tidak mudah untuk menyesuaikan dengan regulasi yang baru sehingga butuh proses yang tidak singkat.

Seperti saat tahun pertama dalam mengimplementasikan UU Desa, sejumlah kendala banyak di alami pemerintah desa, terutama terkait dengan implementasi Dana Desa yang cukup besar. Berdasarkan pasal 72  UU Desa, pendapatan desa, salah satunya bersumber dari Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; “Anggaran  bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara” adalah anggaran yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. Besaran alokasi anggaran yang peruntukkannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top)  secara bertahap. Anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihitung berdasarkan jumlah Desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan Desa

JIka merujuk hal tersebut,  setiap desa  akan mempunyai pendapatan desa yang bersumber dari APBN atau kucuran DD berkisar antara Rp 1,4 M/ tahun. Tetapi untuk tahun pertama, masih berkisar 3,235% dari total transfer ke daerha atau baru sekitar Rp 20,7 T. Sementara tahun 2016, sekitar 6% yaitu Rp 46, 9 T.
Uang Rp 1,4 M/tahun, disatu sisi cukup besar manakala hampir semua desa di Indonesia selama ini hanya  menerima ADD berkisar ratusan juta saja, tetapi  DD tersebut kalau sudah dicakke untuk implementasi penyelenggaraan  desa tentu saja tentu tidaklah  terlalu besar.
Sumber pendapatan desa lainnya adalah  dari Alokasi Dana Desa (DD) yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota; 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus(DAK).  

Setahun Pelaksanaan UU Desa, Pemdes Masih Butuh Pendampingan dan Dukungan
Tahun 2015 masih ada hal yang harus di benahi, misalnya  dalam hal pencairannya  DD dibagi dalam tiga tahapan yaitu pada bulan  April sebesar 40%, Agustus sebesar 40% , dan bulan  Oktober dengan besaran 20%.  Sampai bulan September 2015 DD masuk ke kas pemerintah daerah sebesar sekitar 80% tetapi pencairan ke kas desa diperkirakan masih berkisar 40%. Kemudian, giliran  DD sudah masuk ke rekening desa,  Pemerintah Desa (Pemdes)  dilanda kebingunggan manakala belum ada juklak juknis pengunaan serta tidak ada pendampingan tehnis . 

Setali tiga uang, pencairan ADD yang lamban juga mempengaruhi keberlangsungan pemerintahan  desa. Salah satunya manakala ADD terlambat turun ke rekening desa karena persoalan pemahaman perangkat desa terhadap peraturan yang berlaku  belum merata.  Seperti yang dirasakan sejumlah perangkat desa di Kabupaten Klaten yang mengaku belum bisa mencairkan ADD karena belum tuntas menyusun APBDesa. Padahal salah satu syarat pencairan ADD termasuk dana desa, setiap pemerintah desa diwajibkan merampungkan penyusunan APB desa sesuai ketentuan terbaru.

Kepala Desa Pandes, Wedi, Heru Purnomo, mengatakan salah satu kendala penyusunan APBDesa yakni kerap berubah-ubahnya aturan penyusunan. Selain itu, masalah sumber daya manusia (SDM) aparatur desa di wilayahnya juga menghambat penyusunan APB desa. “Personel di Pemerintah Desa Pandes saat ini tinggal empat orang. Belum lagi, tidak semua personel bisa mengoperasikan komputer,” ujar nya(solopos.com 10/4/2016). Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapermas) Klaten, Herlambang Jaka Santosa,  hingga minggu pertama  bulan April, baru 106 desa dari 391 desa yang mengajukan pencairan ADD. Sementara separo lebih desa belum bisa mencairkan ADD karena terkendala penyusunan APBDesa tahun 2016. 

Hal semacam itu bisa dimaklumi manakala implementasi pada tahun pertama. Tetapi seyogyanya tidak terjadi lagi pada tahun berikutnya karena  berpotensi menghambat penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan serta pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan sesuai yang ditetapkan dalam musyawarah desa.
Untuk itu, pekerjaan rumah  yang penting dilakukan pemerintah daerah Klaten , paling tidak  secara intens memberikan sosialisasi  juklak juknisnya dan melakukan pendampingan  kepada perangkat desa. Tidak mesti menunggu perangkat desa  secara khusus minta untuk didampingi, tetapi pemerintah daerah bisa turun lapangan, jemput bola mendampingi desa, dengan memanfaatkan tenaga pendamping desa yang ada.**

Tidak ada komentar: