Kalimat tersebut masih terekam kuat dalam ingata saya. Saat kecil beberapakali saya mengalami lindu (gempa kecil). Goyangan atau gempa bumi kecil dalam bahasa Jawa Tengah sering di sebut lindu.
Biasanya saat lindu datang, secara spontan orang-orang di desa saya (di Kabupaten Klaten) langsung mengucapkan kalimat “Kokobako….linda..lindu…kokobako..linda..lindu….” berulang kali.
Menurut kepercayaan, dengan kalimat tersebut lindu akan
berhenti dan tidak sampai menelan korban.
Kalimat mantra tersebut sudah puluhan tahun dipercaya oleh pedesaan di
Jawa Tengah.
Indonesia Rawan Gempa
Indonesia adalah negara
rawan gempa. Hal itu sering kita dengar terutama dalam sepuluh tahun terakhir
ini. Meskipun saat SMP pada pelajaran geografi pernah disampaikan kondisi
geografis Indonesia sehingga termasuk negara
rawan gempa, tetapi saya baru menyadarinya belum lama. Yaitu sejak
bencana tsunami di Aceh, gempa di Jawa Tengah dan DIY tahun 2006. Ya baru
sepuluh tahunan terakhir ini. Padahal sejak kecil saya sudah berulangkali
merasakan sendiri terjadinya gempa meskipun tidak sedasyat tahun 2006 lalu.
Dilihat dari geografis, Indonesia merupakan negara
kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng
Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Terdapat
sabuk vulkanik (volcanic arc) pada
bagian selatan dan timur Indonesia yang memanjang dari Pulau Sumatera - Jawa -
Nusa Tenggara - Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan
dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa. Dengan kondisi tersebut maka tidak
mengherankan jika sangat berpotensi
sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami,
banjir dan tanah longsor.
Secara spesifik, menurut
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
menyebutkan definisi bencana sebagai berikut. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Secara jelas, disebutan bahwa bencana tidak hanya disebabkan
oleh alam, tetapi juga non alam dan
manusia . Disebutkan juga bahwa bencana
alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana nonalam
adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam
yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik
sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
Indonesia tergolong rawan ketiga bencana tersebut, tetapi bencana yang sering
terjadi salah satunya bencana alam yaitu
gempa.
Menurut catatan BNPD (bnpd.go.id), data menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang
tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat
(Arnold, 1986). Data UNISDR menyebutkan, dalam paparan terhadap penduduk atau
jumlah manusia yang ada di daerah yang mungkin kehilangan nyawa karena bencana,
risiko bencana yang dihadapi Indonesia sangat lah tinggi. Untuk potensi bencana
tsunami, Indonesia menempati peringkat pertama dari 265 negara di dunia yang disurvei
badan PBB itu. Resiko ancaman tsunami di Indonesia bahkan lebih tinggi
dibandingkan Jepang. Dalam itung-itungan UNISDR, ada 5.402.239 orang yang
berpotensi terkena dampaknya.
Dari data BNPB juga untuk tahun 2016 ini (update 19 Juni
2016) terdapat 1.062 kejadian telah terjadi dan menyebabkan 217 jiwa meninggal
dan 1,7 juta jiwa menderita dan mengungsi. Sejumlah kedaian tersebut telah menyebabkan
kerusakan rumah 15.595 unit dan 472 unit fasilitas. Kemudian lebih dari 95%
merupakan bencana hidrometeorologi seperti
banjir, puting beliung dan tanah longsor yang paling dominan.
Fakta tersebut tentunya jangan sampai membuat kita menyesal dan hanya berdiam diri, toh pada
kenyataannya begitulah kondisi tanah air Indonesia tercinta ini. Yang paling penting adalah dengan mengetahui
bahwa negara yang kita tinggali ini rawan gempa, membuat kita harus lebih waspada dan siap siaga. Tinggal di
daerah yang rawan gempa, mau tidak mau harus mendorong kita esktra peduli,
waspada sehingga pada akhirnya saat tidak bisa menghindari bencana, maka kita
harus menghadapi dengan kesiapan diri.
Gempa Jawa Tengah dan DIY Membuka Kesadaran Saya
Orangtua sempat bercerita saat kecil pernah sesekali mengalami kejadian gempa . Meskipun
dalam skala kecil tetapi gempa bukan hal yang asing lagi bagi orangtua saya.
Saya sendiri merasakan gempa yang besar yang melanda Jawa Tengah dan DIY pada tahun 2006 lalu. Meskipun di Solo gempa
tersebut tidak terlalu besar, hanya merasakan goyangan beberapa saat, tetapi
sempat membuat shock apalagi saat itu anak-anak saya masih kecil dan gempat
terjadi saat pagi hari.
Beberapa kecamatan di Kabupaten Klaten, Boyolali dan di DIY
mengalami keadaan yang sangat parah. Solidaritas sosial langsung terbentuk
dengan cepat. Teman-teman di Solo segera bergerak untuk memberikan bantuan baik
materi maupun tenaga. Kebetulan saya dan
teman-teman kantor juga melakukan hal
yang sama, kami ke Kecamatan Wedi Klaten dan ke beberapa desa di Kabupaten
Boyolali. Saya cukup terpukul melihat
kondisi rumah rusak berat, fasilitas publik porak poranda, sumur-sumur
kering, bahkan beberapa tanah tampak
merekah beberapa centimeter.
Dan saat saya bergabung dengan salah satu lembaga
internasional dari Jerman untuk membantu memfasilitasi perencanaan di 25 desa
di Jawa Tengah dan DIY, saya semakin
bisa merasakan dampak dasyat gempa yang setiap saat bisa terjadi lagi.
Kerawanan daerah di Indonesia terutama di Jawa Tengah dan DIY harus menjadi
perhatian dan selalu dingatkan kepada warga agar senantiasa mempunyai kepekaan
untuk menghadapi gempa. Demikian juga dengan daerah lainnya di Indonesia yang
rawan gempa dan bencana alam lainnya.
Masyarakat Mudah Melupa
Di satu sisi , saya merasa senang melihat masyarakat telah
bangkit kembali semangat hidupnya , melupakan trauma akibat gempa yang menimpa
mereka. Musibah yang telah menghancurkan
kehidupan keluarga, mengambil orang-orang terdekat dan memusnahkan harta benda
perlahan telah samar dari ingatan. Kenangan akan terjadinya gempa sebagian
besar sudah tidak terlihat
menghantui lagi kehidupan mereka.
Tetapi di satu sisi
saya merasa khawatir. Kenapa? Karena ada
kecenderungan masyarakat akan mudah melupakan kalau gempa bisa saja terjadi
sewaktu-waktu, entah kapan tepatnya tidak ada yang bisa memastikan. Potensi gempa menjadi ancaman masyarakat
tetapi karena masyarakat sudah mulai
melupakan musibah gempa terdahulu, sehingga berpotensi mengurangi kewaspadaan. Selain kewaspadaan berkurang, kemungkinan
melupakan langkah tercepat saat ada gempa
juga tidak terbayang lagi. Secara pribadi saya tidak bisa
menyalahkan. Pada tahun-tahun awal
setelah gempa, masyarakat sangat waspada
terhadap gempa dan dilatih bersikap cepat dan tanggap terhadap gempa . Tetapi
di tahun tersebut tidak ada gempa, sehingga wajar jika seiring waktu berlalu , kewaspadaan tersebut
mulai memudar. Karena tinggal di daerah rawan gempa, mestinya
kewaspadaan tidak boleh pudar apalagi hilang.
Jika kewaspadaan mulai hilang, jika terjadi gempa, bisa jadi masyarakat tidak siap sehingga bisa
terjadi banyak korban (harta dan jiwa).
Untuk itu, selalu mengingatkan masyarakat untuk waspada dan
bersiap setiap saat menghadapi gempa menjadi hal yang penting untuk dilakukan.
BNPB Membumikan
Kewaspadaan Masyarakat Menghadapi Bencana Lewat Sandiwara Radio
Pemerintah telah berupaya keras untuk
siaga menghadapi bencana. Paling
tidak sejak tsunami melanda Aceh tahun 2004, kewaspadaan negara untuk
menghadapi bencana semakin tinggi. Pemerintah menyadari bahwa masalah kebencanaan harus
ditangani secara serius, apalagi dengan kondisi daerah rawan bencana.
Salah satu keseriusan pemerintah dalam mengangani bencana bisa
dilihat dari adanya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) . Sebuah lembaga yang bertugas mengkoordinasikan
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan penanganan bencana dan kedaruratan secara
terpadu; serta melaksanakan penanganan bencana dan kedaruratan mulai dari
sebelum, pada saat, dan setelah terjadi bencana yang meliputi pencegahan,
kesiapsiagaan, penanganan darurat, dan pemulihan.
Banyak sekali program, kegiatan yang dilaksanakan BNPB.
Dalam hal pencegahan bencana, salah satu
yang dilakukan adalah sosialisasi siaga terhadap bencana melalui program sandiwara
radio.
Pilihan sosialisasi melalui sandiwara radio adalah pilihan
yang tepat. Meskipun sekarang sudah era tehnologi modern, tetapi pada dasarnya belum semua daerah di Indonesia
terjangkau dengan internet dan kemudahan tehnologi lainnya. Masih ada daerah di
Indonesaia yang belum terjangkau dengan
tehnologi dan masih mengandalkan radio sebagai sarana komunikasi . Radio masih menjadi pilihan utama terutama di
daerah pelosok yang cukup jauh dari kota. Saya sendiri meskipun tinggal di kota dengan kemudahan tehnologi,
tetapi masih senang mendengarkan radio.
Sandiwara radio pernah menjadi primadona masyarakat di era
tahun 1990-an. Sandiwara radio dengan
berbagai genre merajai dan menjadi
idola, bahkan menurut saya melampaui siaran lainnya seperti lagu-lagu.
Sandiwara radio seperti cerita silat
Saur Sepuh, drama dengan judul Ibuku Sayang Ibuku Malang , cerita
misteri seperti Misteri Dari Gunung Merapi
, mampu menjadi magnet bagi pendengarnya baik tua, muda, remaja, anak,
dengan jenis kelamin lelaki dan perempuan. Semuanya suka dan selalu
menantikannya.
Saya sendiri berusaha
tidak pernah ketinggalan mendengarkan ketiga sandiwara radio tersebut dan selalu menunggu dengan penasaran,
berdebar-debar, marah dan campur aduk perasaan lainnya , ikut terhanyut dengan
kisah ceritanya.
BNPB memilih sandiwara menjadi media untuk memberikan
edukasi tentang bencana kepada
masyarakat .
Edukasi melalui sandiwara radio memang lebih tepat dibandingkan dengan
memberikan ceramah dan ulasan tentang bencana. Kenapa? Karena masyarakat lebih mudah mengingat-ingat isi cerita dari
sandiwara radio dibandingkan dengan mengingat ceramah ilmiah tentang bencana.
Bahkan saya berani memastikan, dengan jalan cerita yang sederhana dan tidak
jauh dari cerita sehari-hari, masyarakat akan hapal betul cerita sandiwara
tersebut.
BNPB mempersembahkan sebuah roman sejarah Asmara di Tengah
Bencana (ADB)yang lahir dari tangan
dingin maestro sandiwara radio S.
Tidjab.
ADB mengambil seting
Kadipaten Pajang yang masuk wilayah Mataram. Cerita yang diangkat sederhana
tetapi disisipi edukasi tentang bencana. Tokoh utamanya adalah Raditya putra
Tumenggung Jaya Lengkara dan Sekar
Kinanthi, kembang desa yang menjadi idaman laki-laki, putri tunggal pak Lurah Desa Jatisari.
Yang menjadi daya tarik dalam ADB yang juga menjadi keunggulan cerita tersebut,
romansa yang dibumbui dengan edukasi. Cara menyampaikan pesan dan memberikan pemahaman tentang tanda bencana
dan langkah-langkah cepat dan tepat yang harus dilakukan saat bencana sangatlah
halus. Orang yang mendengarkan akan lebih mudah mengingatnya manakala
mendengarkan tanda bencana di desa Jatisari melalui penuturan Raditya yang pasti dibenak
yang mendengarkan adalah sosok yang tampan, tinggi besar, kulit bersih, ya seperti pangeran-lah.
Air sungai berubah panas, hewan berkeliarana, udara
pegap,menjadi gambaran tanda-tanda bencana yang diisyaratkan oleh alam. Dan ini
akan mudah diingat oleh masyarakat.
ADB merupakan cerita
bersambung , yang direncanakan sampai 50 episode. Tiap episode berlangsung
selama 30 menit. Disiarkan di 20 stasiun radio. Untuk saat ini ADB baru bisa dinikmati di 18 radio yang tersebar berbagai daerah dan dua radio komunitas.
Daftar radio yang menyiarkan ADB yaitu:
Wilayah Jawa Tengah:
CJDW FM 107 Mhz Boyolali, pukul 19.30-20.00
Radio H FM 89,6Mhz Karanganyar, pukul 19.00-19.30
Merapi Indah FM 104,9Mhz
SPS FM 96,6Mhz Salatiga, pukul 19.00-19.30
Studio 99 FM 95,5 Mhz Purbalingga pukul 16.30-17.00
Magelang, pukul 19.00-19.30.
Wilayah Jawa Timur:
GE FM 93.8Mhz Madiun, pukul
19.10-19.40
Senaputra FM 04,1MHz Malang, pukul 19.00-19.30
Gema Surya FM 94,2 Mhz Ponorogo, pukul 19.00-19.30
Soka FM 102,1Mhz Jember, pukul 19.00-19.30
Wilayah DIY :
EMC FM 97,8Mhz Yogyakarta, pukul 19.00-19.30
Persatuan FM 107,2Mhz Bantul, pukul 19.00-19.30
Wilayah Jawa Barat:
Gamma FM 106,5,Mhz Majalengka, pukul 16.00-16.30
Fortuna FM 90,7FM Sukabumi, pukul 19.00-19.30
Aditya FM 91,5Mhz Subang, pukul 19.00-19.30
Thomson FM 99,6Mhz Bandung, pukul 19.00-19.30
Elpass FM 103,6Mhz Bogor, pukul 19.00-19.30
HOT FM 88,2Mhz Serang, pukul 19.00-19.30
GenJ FM 95,7Mhz Rangkasbitung, pukul 19.00-19.30
Radio Komunitas:
Radio Komunitas Kelud Fam 88,4Mhz Kediri, , pukul 19.00-19.30
Radio Komunitas Lintas Merapi FM 107,9 Mhz Klaten, , pukul 19.00-19.30
Tantangan Agar Edukasi Melalui Sandiwara Radio berhasil
Meskipun sosialisasi melalui sandiwara radio cukup efektif , tetapi saya rasa tidak
terlalu mudah mengharapkan keberhasilan
edukasi melalui sandiwa radio tersebut
di jaman kemudahan tehnologi dan banyaknya alternative hiburan.
Jika merunut
keberhasilan sandaiwara radio di tahun 1990-an karena saat itu belum
banyak media hiburan lainnya selain radio. Kalaupun ada televisi tetapi masih belum terjangkau semua lapisan
masyarakat di pelosok negeri. Masyarakat masih dihadapkan pada pilihan yang
terbatas sehingga saat itu radio menjadi satu-satunya hiburan yang merakyat,
mudah dijangkau dan dimiliki banyak orang.
Untuk era sekarang, pilihan hiburan beragam dan menarik. Pun siaran di radio juga
beragam dan banyak yang menarik.
Saya rasa BPNB menginginkan sosialisasi melalui sandiwara
radio menjadi cara yang efektif dan berhasil meng-edukasi masyarakat sadar akan
bencana. Untuk itu, ADB harus dikemas semenarik mungkin sehingga bisa menjaring
banyak pendengarnya
Pertama, dibutuhkan
sosialisasi yang terus menerus untuk
mendorong minat masyarakat mendengarkan radio. Misalnya ada baliho,
leaflet, yang ditempel di papan
pengumuman kantor desa , pos kamling, posyandu, tempat-tempat umum, dll. Kemudian juga iklan di radio. Berikan ulasan
yang menarik perhatian, pastikan
informasi jam tayang dan saluran radionya.
Kedua, Untuk alur cerita diusahakan tidak mudah ditebak
sehingga membuat penasaran pendengarnya. Peran antagonis bisa dimunculkan
sesekali tetapi jangan terlalu
bertele-tele yang membuat bosan
pendengarnya.
Ketiga, perlu adanya
sayembara yang disisipkan di
episode-episode tertentu. Misalnya menebak kelanjutan cerita asmara kedua tokoh
utamanya. Sayembara ini bisa menjadi magnet pemirsa untuk terus
mengikuti kelanajutan cerita ADB. Tentunya disediakan hadiah yang menarik di
beberapa episode dan di akhir episode . Saya terispirasi dari ketoprak
sayembara yang ditayangkan TVRI Yogyakarta tahun 1980-an yang mampu membuat
warga di desa kami penasaran dan rela menunggu sejak sore hari untuk
menyaksikan kelanjutan ceritanya. Juga mengirimkan jawaban atas sayembara
tersebut.
Hal ini dibutuhkan sedikit perubahan skenario cerita untuk memasukkan beberapa sayembara di
setiap episode ADB.
Keempat, pemilihan jam tayang. ADB hendaknya mengambil jam
tayang yang tepat. Misalnya sore hari sekitar jam 17.00 disaat orang-orang desa
sudah pulang dari bekerja, di saat waktu istirahat menunggu petang menjelang.
Kemudian perlu di siarkan ulang di jam tertentu, misalnya pagi atau malam hari.
Kelima, BPNB bisa bekerjasama dengan pihak pemerintah desa
untuk ikut menghimbau warga mendengarkan ADB. Misalnya dengan acara
mendengarkan ADB bersama-sama yang difasilitasi oleh pemerintah desa atau
komunitas lainnya.
Melalui ADB , harapannya masyarakat akan terhibur dan mudah mengingat-ingat untuk
meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana dan bisa bertindak cepat dan tangkas
saat bencana terjadi. Semoga.**
_Solo, 9 September 2016_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar