Kamis, 06 April 2017

Menelusuri Jejak Eep Saefulloh Fatah dan Isu SARA Pada Pilkada DKI Jakarta

Sepandai -pandainya orang menyimpan bangkai ,maka akan tercium  baunya juga . Sepintar -pintarnya tupai melompat ,maka ia akan terjatuh juga. Begitulah kiranya  pepatah yang tepat untuk gambaran  orang-orang licik yang selama ini melempar batu sembunyi tangan dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.   Yang berteriak untuk menurunkan spanduk ajakan untuk tidak mensholatkan jenasah yang memilih Ahok, bahkan yang  berteriak seolah-olah  ia benar dan menuduh isu SARA dimainkan oleh kelompok Ahok untuk menyerang lawan.

Serapat apapun menyembunyikan kebusukan, suatu saat akan terbongkar juga. Dan  hal itu agaknya  mulai terkuak , setelah beredarnya video viral  Eep Saefulloh Fatah,  yang secara mengejutkan dan terang-terangan menyebut masjid sebagai tempat kampanye untuk meraih kemenangan  politik. (tentunya kemenangan Anies Baswedan- Sandiaga Uno). Eep Saefulloh Fatah disebut-sebut berposisi  sebagai konsultan politik pasangan Anies-Sandi yang diusung Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera(PKS) . 

Dalam ceramahnya, Eep menyampaikan contoh kemenangan Partai FIS/Partai Front Keselamatan Islam (al-jabhah al-islamiyah lil-inqadh) di Aljazair yang  telah berhasil memenangkan pemilu dengan mengunakan  masjid sebagai alat politisasi.  Atas kemenangan tersebut, Eep agaknya  ingin menerapkan strategi yang sama untuk mengalahkan pasangan Ahok-Djarot.


foto : viva,co.id
Eep menyatakan  bahwa  kemenangan  Partai FIS  pada pemilu di Al-Jazair karena memanfaatkan dan  menjadikan masjid  yang mestinya untuk beribadah tetapi juga digunakan sebagai alat  propaganda politik. Kemenangan itu tentu saja mengejutkan karena  Partai FIS bukan partai dengan jaringan yang kuat, tidak ada tokoh-tokoh berpengaruh yang tersebar di berbagai daerah, dan pendanaannya pun biasa-biasa saja.
Masih menurut Eep, Partai FIS mengunakan jaringan masjid seperti khotib, ulama, ustadz yang mengisi kegiatan di masjid , untuk ikut berpolitik, tidak hanya menyerukan ketakwaan tetapi juga seruan politik. Seruan politik dilakukan secara massif, terus menerus  sampai hari pencoblosan.

Dalam penelusuran saya, FIS  termasuk partai baru yang  yang berdiri tahun  1989 atas desakan masyarakat yang mayoritas Muslim. Disebutkan bahwa masyarakat  kecewa sebab satu-satunya partai yang dibentuk pada masa Presiden Boumedienne yakni FLN yang berasaskan sekular gagal mewujudkan kemajuan. Sebagai parpol Islam,  FIS kemudian mengangkat isu seputar Islam dengan menyodorkan program-program yang memikat simpati masyarakat Aljazair seperti ekonomi kerakyatan, mendukung terwujudnya kehidupan yang lebih Islami, demokratisasi, dan pemerintahan yang lebih dekat kepada Daulah Islam dibanding Barat.
Intinya, dengan inspirasi kemenangan Partai FIS mengunakan masjid sebagai alat politik, konsultan Anies –Sandiaga tersebut menerapkan strategi yang sama.


Kenapa konsultan politik tersebut menempuh cara kotor ?
Mohon maaf jika saya menilai cara untuk memenangkan Anies-Sandi dengan mengunakan masjid sebagai alat propaganda politik adalah cara yang kotor. Mengunakan  isu Sara  adalah cara yang tidak sehat dan kemunduran dalam demokrasi di Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama, ras, golongan, adat istiadat, budaya.  Selama ini  isu Sara  sedapat mungkin selalu dihindarkan  untuk  meraih kemenangan politik tetapi justru isu Sara kembali hadir dan  dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

Dalam beberapa bulan jelang Pilkada DKI Jakarta, suhu politik memanas, pertentangan antar agama, kecurigaan umat seagama muncul di permukaan tanpa bisa di bendung lagi. Bahkan antar teman,  keluarga pun tak jarang yang saling bermusuhan  hanya karena berbeda pandangan politik. Pilkada Jakarta memberikan dampak psikologis yang luar biasa dan salah satu pemicunya adalah isu agama yang segaja dihembuskan pihak-pihak tertentu.

Kenapa Eep melakukan cara seperti itu? Dugaan saya, Eep menyadari betapa sulitnya untuk mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot dalam Pilkada Jakarta. Seorang Eep yang di konon  sebut-sebut  menjadi  konsultan politik, dan pernah menjadi konsultan politik  dan orang di balik kemenangan Jokowi – Ahok dalam Pilkada DKI tahun  2012 lalu, tentunya ingin menorehkan catatan gemilang jika kali ini ia juga berhasil memenangkan pasangan Anies-Sandi.  Pakar politik lulusan Universitas Indonesia yang di sebut juga menjadi orang di balik kemenangan pasangan Aher dan Deddy Mizwar dalam Pilgub Jabar ini ingin terus meraih kemenangan, ingin mempunyai prestasi  cemerlang sebagai konsultan politik yang selalu berhasil memenangkan orang yang didukungnya.  Ia juga mengaku sebagai konsultan politik Jokowi-JK dalam Pilpres lalu.

CEO PolMark Indonesia  dan Suami dari Sandrina Malakiano ini mengetahui kapasitas Anies-Sandi tidak cukup  memadai untuk menjadi penantang Ahok-Djarot. Kalau bicara program, program yang sudah dikerjakan Ahok-Djarot terbukti sudah  bermanfaat bagi warga jakarta, mampu merubah Jakarta menjadi lebih baik dan maju. Sementara program yang akan dilakukan ke depan juga sudah terencana dengan baik dan tinggal melanjutkan manakala  Ahok –Djarot terpilih kembali memimpin Jakarta.
Singkatnya, menantang Ahok-Djarot dengan adu program jelas langkah yang tidak tepat, dan tidak mungkin untuk mengungguli pasangan petahana tersebut. Untuk itu satu-satunya cara hanya dengan mengembuskan isu Sara yang kemungkinan besar akan mampu mengoyang Ahok yang dobel minoritas.

Eep sebagai seorang pakar poltik yang sudah malang melintang menjadi konsultan politik tahu betul bahwa mengunakan  isu Sara  itu tidak fair dan  menciderai demokrasi.  Tetapi dengan sadar telah mengunakan Sara untuk kepentingan pribadinya.  Demi ambisi untuk mencatat kemenangan demi kemenangan orang-orang yang mengunakan jasanya, ia telah membuat demokrasi kehilangan akal sehatnya.
Barangkali, kebelet ingin selalu menorehkan kemenangan itulah yang membuat Eep kehilangan kontrol pribadi , ‘kewarasan’ sehingga rela  mendorong politisasi isu Sara pada Pilkada DKI Jakarta. **

(4 April 2017)

Tidak ada komentar: