Perdebatan
tentang Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) terus mengemuka. Badan hukum dan
penyertaaan modal ke dalam BUM Desa menjadi isu utama perdebatan. Para pegiat
koperasi melontarkan kritik bahwa perseroan tidak tepat menjadi badan hukum
bagi BUM Desa sebab badan ini bersifat padat modal, mengarah pada privatisasi
dan tidak berpihak pada masyarakat desa. Sebaliknya mereka merekomendasikan
bahwa koperasi merupakan satu-satunya badan hukum yang tepat bagi BUM Desa sebab
koperasi mempunyai sandaran konstitusional yang kokoh dan secara sosiologis
lebih mencerminkan semangat gotong royong.
Perdebatan itu muncul karena UU No. 6/2014 tentang
Desa mengalami kesulitan dan tidak tuntas mengatur BUM Desa. Pada waktu sidang RUU Desa, pemerintah dan
DPR menyadari bahwa BUM Desa merupakan institusi
bercirikan desa yang berbeda dengan perseroan atau koperasi. Karena itu ada
usulan bahwa BUM Desa merupakan usaha berbadan hukum tersendiri yang setara
dengan koperasi dan perseroan. Tetapi usulan ini kandas karena hukum bisnis
hanya mengenal badan hukum perseroan dan koperasi. Akhirnya pemerintah dan DPR
mengambil kesepakatan tentang definisi BUM Desa yang mereplikasi definisi BUMN,
dan menegaskan dalam Pasal 87 ayat (3): “BUM
Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ketentuan ini diikuti
penjelasan: “Dalam
hal kegiatan usaha dapat berjalan dan berkembang dengan baik, sangat
dimungkinkan pada saatnya BUM Desa mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan”. Di balik itu ada kehendak kuat bahwa BUM Desa dapat
berjalan melayani kebutuhan masyarakat desa tanpa harus berbadan hukum, dan di
kemudian hari baru dikembangkan menjadi badan hukum.
Perbedaan dan
Persamaan
Hakekat
BUM Desa berbeda dengan hakekat koperasi sehingga BUM Desa tidak bisa berbadan
hukum koperasi. Pertama, BUM Desa
dibentuk dengan perbuatan hukum publik, yakni melalui Peraturan Desa yang disepakati
dalam musyawarah desa. Koperasi merupakan institusi hukum privat, yakni
dibentuk oleh kumpulan orang per orang, yang semuanya berkedudukan setara
sebagai anggota. Kedua, seperti
halnya BUMN, modal BUM Desa berangkat dari kekayaan desa yang dipisahkan. Koperasi
berangkat dari simpanan pokok dan wajib dari anggota, yang kemudian juga
membuka penyertaan modal dari pihak lain. Ketiga,
BUM Desa merupakan campuran antara pelayanan umum dan kegiatan usaha ekonomi;
koperasi merupakan institusi dan gerakan ekonomi rakyat. Keempat, BUM Desa dibentuk untuk membantu penyelenggaraan pemerintahan
desa, memenuhi kebutuhan masyarakat Desa dan mendayagunakan sumberdaya ekonomi
lokal. Koperasi dibentuk untuk mengembangkan kekuatan dan memajukan
kesejahteraan anggota.
BUM
Desa dan koperasi memiliki kerentanan serupa. Perampasan elite (elite capture) bisa terjadi dalam BUM
Desa dan koperasi yang membuat kebangkrutan. Tidak jarang para penumpang gelap
(free rider) yang hadir memanipulasi
BUM Desa dan koperasi, sehingga banyak BUM Desa dan koperasi abal-abal, yang
tidak mencerminkan spirit kegotongroyongan dan kerakyatan. Juga sudah banyak
BUM Desa dan koperasi yang mati karena dimobilisasi dan dipangku oleh
pemerintah.
Baru
sedikit BUM Desa yang berhasil, dan lebih banyak BUM Desa hanya papan nama. Koperasi
mempunyai landasan konstitusi yang kuat serta sesuai dengan karakter masyarakat
Indonesia, bahkan koperasi jauh lebih tua daripada BUM Desa. Di setiap tempat
ada koperasi. Tetapi mengapa petani dan nelayan dari dulu sampai sekarang tetap
tidak berdaya? Apakah mereka tidak bergabung menjadi anggota koperasi? Apakah
sebagian besar koperasi petani dan nelayan sudah mati seperti halnya KUD? Atau
apakah koperasi tidak mampu menolong petani dan nelayan?
Arief
Satria, Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB, pernah melansir data bahwa sekitar
92% nelayan tidak bergabung menjadi anggota koperasi. Saya sungguh terkejut dan
tercengang dengan data ini, dan saya mengajukan pertanyaan: mengapa nelayan tidak menjadi anggota
koperasi? Baik teori ekonomi moral petani James Scott (1976) maupun fakta
lapangan menunjukkan bahwa petani dan nelayan selalu membutuhkan tetapi
terjerat oleh patron mereka, yakni tengkulak atau tauke. Para juragan ini
tampak budiman tapi menjerat dan memperdaya petani dan nelayan.
Fakta
itu memberi pelajaran bahwa masalah badan hukum sangat penting, tetapi masalah
ekonomi politik jauh lebih penting. BUM Desa dan koperasi menghadapi tantangan
menolong dan memberdayakan orang desa (petani, nelayan, peternak dan
sebagainya). Karena itu koeksistensi, sinergi dan kolaborasi keduanya sangat
dibutuhkan.
Koeksistensi dan
Sinergi
Meski
berbeda, antara BUM Desa dan koperasi merupakan dua entitas yang bisa saling
mengisi dan melengkapi, sekaligus bisa membangun sinergi dan kolaborasi di
ranah desa. Ada tiga model sinergi dan kolaborasi. Pertama, BUMDesa dan koperasi berbagi modal dan hasil. Modal BUM
Desa dapat dibagi menjadi: 60% dari pemerintah desa, 20% koperasi, dan 20%
lainnya dari unsur-unsur masyarakat setempat. Model ini mencerminkan sebuah
kegotongroyongan kolektif tanpa harus melibatkan pemodal besar dari luar.
Tetapi dengan model ini, BUM Desa menghadapi masalah badan hukum, kecuali
dipaksa menjadi perseroan. Kalau menjadi perseroan BUM Desa harus mengikuti
rezim perseroan juga.
Kedua, koperasi desa
tanpa BUM Desa. Desa tidak harus mendirikan BUM Desa tetapi dapat membangun
koperasi desa. Pemerintah desa mengorganisir seluruh warga desa secara sukarela
membentuk koperasi. Ini bukan koperasi milik desa, melainkan milik warga desa
yang semuanya berdiri setara sebagai anggota. Koperasi desa ini berbadan hukum,
yang bisa menjalankan usaha ekonomi desa secara leluasa, jelas dan legal.
Pemerintah desa dapat memberikan hibah dan penyertaaan modal kepada koperasi
desa, sehingga memperoleh pendapatan asli desa. Namun desa tidak dapat
memisahkan kekayaan desa kepada koperasi desa, kecuali dengan skema kerjasama
pemanfataan. Selain itu, juga tidak masuk akal kalau koperasi desa membangun
dan mengelola air bersih dan listrik desa untuk melayani semua warga masyarakat
desa yang bukan anggota.
Ketiga, BUM Desa dan
koperasi desa berjalan bersama dan berbagi tugas. BUM Desa, tanpa harus
berbadan hukum, dapat memanfaatkan aset desa dan sumberdaya milik bersama
(seperti air, embung, tenaga surya, telaga, sungai) untuk melayani kebutuhan
masyarakat dan pengembangan desa wisata. Koperasi desa dapat dibentuk seperti
model kedua, yang menjalankan usaha dan gerakan ekonomi kolektif antara
pemerintah desa dan masyarakat tanpa
harus menghadapi kesulitan badan hukum.
Model
ketiga itulah yang lebih relevan menjadi jalan tengah perdebatan antara BUM Desa
dan koperasi, juga merajut koeksistensi, sinergi dan kolaborasi kedua institusi
ini. Kolaborasi BUM Desa dan koperasi desa dapat memberikan pelayanan dasar,
sekaligus dapat mengonsolidasi kekuatan lokal dan menolong orang desa (petani, nelayan, peternak, dan
lain-lain).
(sumber : forumdesa.org)
1 komentar:
sangat jelas
Posting Komentar