Kamis, 17 Maret 2016

Hasrat Langgengkan Dinasti Politik, Oleh-oleh Tour De Java SBY, Calonkan Ani Yudhoyono Capres 2019

Ibarat esuk dele, sore tempe atau pagi kedelai, sorenya menjadi tempe. Begitulah politikus jika berbicara, alias tidak bisa dipegangn bicaraaya, tidak bisa dipercaya janji-janjinya. Manakala berjanji sesuatu, jangan terkejut kalau dalam hitungan hari, jam, menit bisa berubah. Kenapa? Jangan tanya, itulah politik.
Makanya tak salah jika para tetua bilang, siapa juga yang mau percaya dengan politikus.

Seperti itulah yang terjadi dengan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), saat  di curigai berusaha mengalang dukungan dan simpati warga untuk mencalonkan diri sebagai presiden di Pemilu ke depan, dengan blusukannya yang di beri label Tour De Java (TDJ) , ia mengelak dengan  mengatakan bahwa ia tidak berniat lagi karena sudah dua kali.Jauh sebelum acara TDJ,  Ia pun pernah berjanji  bahwa keluarganya tidak akan maju sebagai calon presiden. 

Saat TDJ, Sby mengajak serta Ani Yudhoyono, istrinya beserta pejabat Partai Demokrat lainnya.  Ia mengambangi sejumlah propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jatim , selama 13 hari. Untuk mneyerap aspirasi rakyat dan konsolidasi dengan kader daerah terkait Pilkada 2017 dan 2018, tegasnya akala itu.
Tetapi apa dikata, ibarat ‘esuk dele sore tempe’ itu tadi,  ternyata ia tidak berkomitmen dengan apa yang diucapkannya.

Oleh-oleh setelah TDJ adalah Partai Demokrat (PD)  hendak mencalonkan Ani Yudhoyono sebagai presiden RI. Tak malu-malu lagi,  di media sosial mulai berseliweran  gambar Ani Yudhoyono dengan hashtag #AniYudhoyono2019 . Bahkan Partai Demokrat mengakui bahwa istri  Presiden RI keenam itu disiapkan menjadi capres atas permintaan rakyat.

Rakyat yang mana?

Gejala power syndrome SBY memang sudah banyak dicurigai dan tulis banyak pihak. Ia berkali-kali bicara di media massa, mengkritik pemerintahan Jokowi, padahal kalau ditelaah lebih lanjut, banyak program dipemerintahannaya yang blunder, mangkrak, menjadi beban pemerintahan Jokowi dan mau tidak mau diteruskan Jokowi.

Tetapi dengan entengnya, SBY lebih suka mengkritik, seolah-olah ia selama 10 tahun menjalankan roda pemerintahan lebih bagus dan berprestasi. Jokowi yang barui setahun mnejalankan roda pemerintahan sudah panen kritik. Ia hendak membandingkan dan memuji dirinya sendiri, melupakan banyak kegagalan yang diraih pemerintahannya.

Puncaknya, saat mengelar TDJ kemarin, secara terang-terangan, SBY  mendegarkan aspirasi warga, menyuarakan curahan hati masyarakat bawah. Padahal jelas-jelas, saat menjadi presiden ia jarang sekali turun ke bawah.

Kemudian, ia tiba-tiba memberikan oleh-oleh, melalui partainya, bakal mengusung mantan ibu Negara tersebut. Dengan alasan, banyak rakyat yang menghendaki karena masih mencintai SBY. Ia hendak melanggengkan dinasti politinya.
Jadi, jelaslah bagi saya, rakyat yang dimaksud PD adalah sebagian rakyat yang ia temui di 4 propinsi, itulah yang di klaim, rakyat masih mencintainya.
 
Terlalu over percaya diri

Karena tidak tahan untuk menumpahkan rasa gembira dan suka cita plus keinginan untuk menuntaskan dan memuaskan  post power syndrome-nya, melalui PD, ia mengungkapkan bahwa PD hendak mencalonkan Bu Ani sebagai presiden.
Hanya karena merasa di cintai dan didukung rakyat dari empat propinsi, PD percaya diri untuk mengusung presiden. Padahal jelas-jelas sangat jauh dari kemungkinan Bu Ani mendapat dukungan dari masyarakat. Apalagi membandingkan dengan Hilary  Clinton, yang mencalonkan diri  sebagai presiden Amerika Serikat mengantikan suaminya  Bill Clinton, presiden AS ke 42.

Jika Nurhayati  Ali Assegaf, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf meyakini bahwa pengalaman Ani selama 10 tahun mendampingi SBY bisa menjadi modal besar(kompas.com), saya rasa ia keliru dan kepedean.  Apalagi ia menambahkan, "Bahkan, Ibu Ani Bisa lebih hebat dari Hillary Clinton," kata Nurhayati.

PD mungkin lupa bahwa , Hillary Clinton, bukan hanya mendampingi suaminya, sejak awal memang terlibat dalam politik praktis, pernah menjadi senator hingga Menteri Luar Negeri AS. Artinya , selain sebagai ibu Negara , dua kali masa jabatan, ia juga benar-benar seorang politikus yang mempunyai banyak pengalaman.
Menurut saya, jika memang PD mau mengusung calon presiden, hendaknya menimbang, memilih dan mencermati dengan serius, sebelum melempar wacana yang mungkin malah hanya menjadi selingan  atau sekedar bahan perguncingan atau cemoohan.

Karena belum tentu elektabilitas  seorang mantan ibu Negara itu tinggi.  Kalau untuk kapasitas, bisa jadi bisa ditempa sambil jalan, tetapi itu juga belum tentu  pas sebagai seorang presiden.
Lantas, kalau terus mengaungkan Bu Ani, sudah siapkan PD menjadi bahan ledekan? 

_Solo, 16 Maret 2016_


Rabu, 16 Maret 2016

Tertangkapnya Bupati Ogan Ilir, Mesin Parpol Jangan Untuk Mendulang Suara Tetapi juga Lakukan Rekam Jejak

Di tengah perdebatan tentang calon kepala daerah yang memilih jalur independen, muncul berita yang memalukan sekaligus menampar partai politik.


Tertangkapnya Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Noviadi atau biasa di sebut AW Noviadi oleh  BNN karena mengonsumsi narkoba, sungguh membuat miris.  Bupati muda ini baru sebulan dilantik menjadi  bupati di Ogan Ilir,  salah satu kabupaten di Sumatera Selatan. Pasti belumlah hilang penat dan tegang para parpol pengusungnya serta belumlah hilang rasa senang, bangga dan bahagia para parpol pengusung karena mampu mengantarkan  laki-laki ini menjabat sebagai bupati.

AW Noviadi adalah bupati   yang  berhasil memenangkan Pilkada di Ogan Ilir, kabupaten yang merupakan pemekaran dari Ogan Komering Ilir (OKI). Ia memenangi pilkada  dengan diusung lima parpol yaitu PDIP, Golkar, Hanura, PPP, dan PKS.
Pada gelaran  pilkada yang berlangsung serentak 9 Desember 2015, pasangan AW Noviadi Mawardi-Ilyas Panji Alam mengalahkan pasangan  Helmy Yahya-Muchendi Mahazareki  dan pasangan Sobli Rozali-Taufik Toha.

Melenggang mulus sampai pelantikan, tetapi bupati muda ini bernasib tragis. Betapa tidak miris, ia ditangkap karena kasus narkoba. Miris dan ironis, karena saat kampanye ia mengusung  visi  yaitu Terwujudnya masyarakat Ogan Ilir lebih sejahtera, unggul dan berkualitas dilandasi keimanan dan ketakwaaan pada Tuhan YME, dengan misi  salah satunya adalah  meningkatkan pelayanan mutu kesehatan dan pendidikan. Ternyata baru saja menjabat bupati, ia telah mengingkari misi yang diucapkannya  karena justru terlibat dalam kasus narkoba mengunakan sabu.

Bagaimana tanggung jawab parpol pengusung?

Seperti diketahui publik, beberapa hari yang lalu,  terkait dengan niat Ahok  untuk maju sebagai bakal calon gubernur DKI Jakarta tahun depan, melalui jalur independen, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, mengemukakan pendapatnya, bahwa  calon kepala daerah dari jalur independen sah menurut undang-undang-undang (UU). Tetapi, idealnya diusung oleh partai politik (parpol). Kader PDIP tersebut menilai tanggungjawab secara politik bagi kepala daerah yang maju secara independen tanpa melalui dukungan parpol akan sulit.  Beda jika kelapa daerah maju melalui parpol, sehingga akan mudah dmintai pertangyungjawaban karena mempunyai wakil parpol di parlemen.

Jika mengamini pendapat Mendagri  tersebut, untuk kasus Bupati Novi , kira-kira di mana rasa tanggungjawab parpol pengusung tersebut? Apakah hanya cukup dengan memecat bupati Novi saja, habis perkara? 

Saya rasa tidak semudah itu.  Parpol yang merasa telah mengusung bupati terpilih hendaknya tidak hanya cukup merasa puas apabila bupatinya di lengserkan.

Saya rasa Parpol pengusung kecolongan dengan track record bupati tersebut. Kenapa?  Saya tidak tahu persis  bagaimana cara parpol memberikan dukungan kepada calon kepala daerah.  Barangkali cukup dengan  melihat kemampuan dia untuk memimpin, kemampuan keuangan dan mendapatkan dukungan warga. Parpol belum secara jeli melihat rekam jejak yang terkait dengan mungkin moral, kesehatan, perilaku, dll. Artinya belum cukup secara detail dan cermat untuk menelusuri rekam jejak orang yang dijagokannya. Apalagi bupati Novi ini menurut Komjen Buwas susdah diincar sejak tiga bulan yang lalu. Artinya sejak ia gegap gempita dalam pencalonan sebagai bupati Ogan Ilir. 

Pelajaran penting bagi Parpol
Menurut saya, kasus bupati Novi menjadi pelajaran penting bagi parpol yang hendak memberikan dukungan kepada bakal calon kepala daerah. Tidak hanya sebatas melihat persyaratan administrative segala, soal kesehatan diserahkan kepada hasi pemeriksaan pihak rumah sakit saja, tetapi  juga mulai menelusuri  rekam jejaknya.

Tidak mudah memang, tetapi juga tidak sulit untuk dilakukan. Dengan dukungan kader  di cabang, ranting dan anak ranting, serta koneksi yang di punyai, rekam jejak orang yang diusungnya mudah untuk di cari.
Jadi, sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik, terutama kepada warga yang telah memberikan hak pilihnya, parpol perlu berbenah. Agar kejadian yang menimpa bupati AW Noviadi tidak terulang lagi. ***

Senin, 14 Maret 2016

Alasan Gibran Memberikan Nama Anaknya : Jan Ethes Srinarendra

Ini sedikit pendapat saya bagi teman-teman terutama yang bukan orang jawa dan yang masih suka berpandangan sempit, berburuk sangka, berkata' nyinyir'


Saya mencoba maklum manakala  teman-teman yang seperti saya sebutkan diatas suka resah, gelisah dan bicara asal tentang keluarga Jokowi, ya barangkali karena kurang piknik.  Tetapi manakala keluarga termuda Jokowi yaitu cucu pertama yang buah cinta putra sulungnya, Gibran dan Selvi Ananda juga di ‘nyinyiri’, ini memang sudah keterlaluan dan sama sekali nggak bisa di nalar.

Seperti banyak diberitakan di media , terutama media sosial, tentang kelahiran cucu pertama presiden  yang diberi nama JAN ETHES SRINARENDRA. Istri Gibran melahirkan anak pertamanya, hari Kamis (10/3/2016) sekitar jam 09.38 di RS PKU Muhhamadiyah Solo, Jawa Tengah. Bayi  lahir sehat, berjenis kelamin laki-laki dengan bobot 3,09 kg dan panjang 48,5 cm ini lahir lewat persalinan caesar yang dipimpin tim dokter  Dr. Soffin Arfian Sp.Og.

Beberapa  hari kemudian, setelah  cucu Jokowi diberikan nama  JAN ETHES SRINARENDRA,  berunculan nada sumbang, nyinyir dari beberapa haters yang sebenarnya tidak paham tetapi berlagak paham dengan arti dari nama cucunya Jokowi. Antara lain mengatakan kalau nama bayi tersebut bukan nama islami alias kafir. 

Bagi yang bukan  orang jawa dan yang tidak paham makna dari sebuah nama dalam bahasa jawa, kiranya sebelum komentar perlu membaca ulasan singkat ini.

Nama Jan Ethes Srinaredra, adalah nama jawa, jangan terkecoh seperti nama asing karena melihat nama depan yang mengunakan kata Jan. Ini bukan nama asing tetapi  nama jawa yang artinya Sangat, Amat, Sungguh. Misalnya digunakan dalam kalimat seperti ini:

“Jan enak tenan masakanmu” artinya : Sungguh sangat enak masakanmu
Atau
“Jan ganteng tenan bocah kuwi” artinya : Anak itu sangat ganteng
Atau
“Jan pinter tenan,” artinya : Sangat pintar 

Kemudian nama kedua, ETHES
Seperti kata JAN, kata ETHES  adalah kosa kata yang biasa  diucapkan di dalam percakapan di Jawa. Bahkan ibu saya sering kali mengucapkan kata ETHES saat melihat cucunya yang lincah,  ceria, tidak gampang capek dan selalu energik, lari kesana kemari dan bermain. ETHES ini bermakna : Lincah, segar, sehat, bugar, tidak gampang lelah, selalu energik, cekatan.

Misalnya diterapkan dalam kalimat :
“Bocah kok ethes tenan, ora tau gampang kesel”, artinya : Anak kok sehat sekali, tidak pernah mudah capek.
Atau
“Kowe kok ethes men tho, cak cek tandang gawe,” artinya : kamu kok cekatan sekali, gesit mengerjakan pekerjaan
Dan lain-lain
Sementara untuk arti SRINARENDRA  adalah pemimpin yang  baik. 
Jadi kira-kira harapan dan doa Gibran kepada anaknya, kelak menjadi pemimpin baik yang sangat cekatan , seperti mbah kakungnya (Jokowi).

Kenapa Gibran memberikan nama tersebut?
Menurut saya, Gibran sangat menghargai budaya local yang adiluhung , penuh makna dan mempunyai harapan yang  mendalam.  Ia tidak lupa pada akar budaya, wong Solo meskipun lama mengecap pendidikan di luar negeri. Ia  ingin nguri-nguri budaya jawa, ingin terus melestarikan budaya jawa.

Gibran luar biasa, anti meanstream, pada saat orang muda sekarang banyak yang menamakan keturunannya dengan nama ‘modern’ , kebarat-baratan dan cenderung nama yang masa kini, tetapi ia memilih nama yang jarang digunakan, dari jawa demi melestarikan kearifan local.

Selain itu, Gibran nyakin bila ia harus terus menguatkan identitas, jati diri keluarganya agar tidak  tercerabut dari akar budayanya. Ia memperkuat akar budaya dengan cara yang mungkin bagi orang lain tidak terpikirkan. 

Nah, barangkali ini yang sekarang jarang terpikirkan oleh kita-kita. Menguatkan jati diri dari hal paling sederhana , menguatkan akar budaya dari bawah.**








KPI Larang Pria Berkarakter Wanita Tampil di TV, Bagaimana dengan Seniman seperti Didik Nini Thowok?

Setelah kasus dugaan pencabulan yang dilakukan penyanyi dangdut berinisial SJ kepada seorang remja laki-laki terkuat,  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seperti kebakaran jenggot. SJ kebetulan seorang artis, sehingga tingkah lakukan berpotensi ditirukan oleh pengemarnya.


SJ,  kebetulan akhir-akhir ini, hampir tiap hari wara wiri di layar kaca karena  terlibat sebagai  juri salah satu acara pencarian bakat penyanyi dangdut di TV  swasta. Dus, ia sering terlihat di layar kaca. 
Ketika ia di duga telah melakukan tindakan pelecehan seksual kepada remaja yang berkenis kelamin sama (laki-laki ), kekhawatiran menjadi besar.  Dengan  dugaaan SJ mempunyai orientasi seksual yang  tidak biasa,( bisa jadi  ia termasuk dalam LGBT , yang tipe G atau B karena pernah menikah 2 kali), dikhawatirkan menularkan kepada  para penggemar SJ. 

Meskipun kalau menurut saya, dilihat dari  sikap SJ sendiri (di TV) ia tidak bersikap seolah-olah layaknya perempuan.  Meskipun saya bukan pengemar SJ, tetapi  kalau saya perhatian ia bersikap wajar seperti laki-laki pada umumnya.  Setahu saya ia juga tidak pernah berperan sebagai perempuan atau berlagak kemayu, kecewek-cewekan, genit atau  melambai-lambai.  Lain dengan pesohor  laki-laki seperti misalnya penyanyi dangdut  yang telah bercerai dengan pengusaha wanita yaitu berinisial N yang terbiasa bersikap melambai, genit, berdandan berlebihan selayaknya perempuan dan biacarapun genit . Atau seperti  dari kalangan  desainer laki-laki yang  bertubuh  tambun dan sering bersikap dan berpakaian  selayakanya perempuan yaitu Si  IG, meskipun sekarang lebih sering tampil macho. Atau MC yang sesekali tampil kemayu yaitu si IH. Dan masih ada  lagi pesohor laki-laki  yang berlagak layaknya perempuan bahkan terlihat  seperti ( maaf) banci.

KPI  berwenang untuk mengawasi pelaksanaan peraturan dan Pedoman Perilaku Penyiaran serta Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI Tahun 2012 serta menampung, meneliti dan menindaklanjuti aduan masyarakat.  KPI  rupanyan menilai kalau salah satu perilaku orientasi  sex yang ‘tidak biasa’ dari para pesohor bisa memberikan dampak  terjadinya pelecehan seksual. Karena bisa jadi perilaku yang tidak biasa dari pesohor tersebut karena pengaruhi lingkungan tempatnya bergaul. Sehingga ia bisa mempengaruhi yang lain juga.

Untuk itu,KPI, pada tanggal 23 Februari 2016, mengeluarkan Surat Edaran KPI bernomor 203/K/KPI/02/16 yang ditujukan kepada "Seluruh Direktur Utama Lembaga Penyiaran" . SE tersebut memberikan himbauan kepada  semua stasiun TV untuk  melarang karakter pria yang bergaya wanita.
KPI  sendiri memastikan akan memantau seluruh lembaga penyiaran terkait dengan  larangan  yang tertuang dsalam SE tersebut. Sangsi akan diberlakukan bila masih ada stasiun TV  yang menampilkan karakter pria bergaya kewanitaan.

Kira-kira isi SE tersebut sebagai berikut:
“Berdasarkan hasil pemantauan dan aduan yang kami terima, terdapat program siaran yang masih menampilkan pria yang berperilaku dan berpakaian seperti wanita. Sesungguhnya KPI Pusat telah melarang muatan tersebut melalui beberapa surat edaran yang dikeluarkan. KPI Pusat melalui surat ini meminta saudara/i untuk tidak menampilkan pria sebagai pembawa acara (host), talent, maupun pengisi acara lainnya (baik pemeran utama maupun pendukung) dengan tampilan sebagai berikut:
1.       Gaya berpakaian kewanitaan;
2.        Riasan (make up) kewanitaan;
3.        Bahasa tubuh kewanitaan, (termasuk namun tidak terbatas pada gaya berjalan, gaya duduk, gerakan tangan, maupun perilaku lainnya);
4.        Gaya bicara kewanitaan;
5.       Menampilkan pembenaran atau promosi seorang pria untuk berperilaku kewanitaan;
6.        Menampilkan sapaan terhadap pria dengan sebutan yang seharusnya diperuntukkan bagi wanita;
7.       Menampilkan istilah dan ungkapan khas yang sering dipergunakan kalangan pria kewanitaan.

KPI Pusat menilai hal-hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan penghormatan terhadap norma kesopanan dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat serta perlindungan anak-anak dan remaja. Siaran dengan muatan demikian dapat mendorong anak untuk belajar dan/atau membenarkan perilaku tidak pantas tersebut sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 9, Pasal 15 Ayat (1), dan Pasal 37 Ayat (4) huruf a. Selain itu sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 4, lembaga penyiaran juga diarahkan untuk menghormati dan menjunjung tinggi norma dan nilai agama dan budaya bangsa yang multikultural.

Apakah aturan berlaku untuk semua seniman?
Kalau kita cermati dalam SE tersebut pelarangan ditujukan untuk pria  baik sebagai pembawa acara (host), talent, maupun pengisi acara lainnya (baik pemeran utama maupun pendukung). Tidak  ada spesifikasi  tertentu. Titik, jadi untuk semua pesohor/pengisi acara yang berjenis kelamin laki-laki.

Saya membayangkan, bagaimana dengan pesohor laki-laki yang kebetulan berprofesi sebagai seniman dan biasa menampilkan diri sebagai seorang wanita? Sebut saja Nini Thowok atau  Didik Nini Thowok seorang seniman penari dan pencipta tari yang sudah mempunyai jam terbang dari  berbagai Negara di dunia ini. Ia seniman yang mumpuni dan telah membawa harum nama bangsa Indonesia dengan kemampuan olah gerak dan olah cipta seni yang tinggi.

Maestro tari Nini Thowok moncer karena ia hampir seluruhnya selalu membawa tarian yang berkarakter perempuan tentu saja dengan make-up dan kostum penari perempuan. Nah, apa jadinya kalau ia juga dilarang tampil dengan karakter yang selama ini ia mainkan?

Apakah tidak lebih baik ada aturan tentang  hal-hal khusus,  ada pengecualian dalam SE tersebut terlebih bagi seniman yang memang ia nyeni dan identic dengan karakter perempuan. Misalnya dengan kriteria khusus yaitu ia telah membuktikan mampu membawa harum bangsa ke kancah internasional.  Dengan khususon seperti itu,  dengan sendirinya, pesohor yang selama ini ‘melambai’ tetapi  hanya moncer di negri sendiri masuk ke dalam kriteria yang dilarang oleh SE KPI tersebut.
Tanpa tambahan pengaturan  untuk seniman khusus seperti itu, saya kira SE ini berpotensi akan menumpulkan bahkan mematikan  kreatifitas seniman berbakat seperti Nini Thowok. 

_Solo, 26 Februari 2016_



Jumat, 11 Maret 2016

Para Penantang Ahok Butuh Kerja Keras Hadapi Ahok

Demam bursa calon Gubernur DKI Jakarta sempat memanas sejak akhir tahun 2015 kemarin, setidaknya sampai akhir bulan kemarin. Berbagai tokoh politik dari berbagai daerah ramai diperbincangkan dan di 'sodor-sodorkan' untuk meramaikan Pilgub DKI.

 Muaranya hanya satu, mereka di jagokan untuk maju bertarung melawan Gubenur DKI Jakarta saat ini, Basuki Tjahaya Purnama  alias Ahok.

Dengan langkah dan sikap Ahok yang tegas, keras, tak kenal kompromi, memimpin Jakarta  dengan sejumlah kebijakan yang  ‘berani’ telah membuktikan keadaan  ibukota Jakarta telah banyak perubahan. Ahok dinilai mampu meneruskan tongkat estafet yang telah dimulai Jokowi saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dan melanjutkan sejumlah perubahan kearah yang lebih baik. Meskipun langkah yang dilakukan Ahok  dinilai  sejumlah kalangan terlalu keras , arogan tetapi toh diakui atau tidak kebijakan Ahok memang berhasil.

Meskipun Ahok berhasil, sejumlah kalangan yang merasa kurang nyaman dan terlihat berusaha untuk mempersulit langkah Ahok menuju kursi Gubernur DKI Jakarta tahun depan. 

Karena di rasa sulit mencari tandingan penantang Ahok yang berasal dari putra terbaik  dari DKI Jakarta, penantang Ahok  dimunculkan dari berbagai daerah. Walikota  Surabaya Tri Rismaharini, Walikota Bandung Ridwan Kamil dan Gubernur  Jawa Tengah Ganjar Pranowo di gadang-gadang akan menjadi lawan seimbang bagi Ahok karena mereka masing-masing  dinilai visioner, mempunyai kemampuan  manajerial dan memimpin daerah yang baik dan telah terbukti membawa kemajuan bagi daerahnya. 

Publik setali tiga uang, yakin jika mereka bertiga  mampu menjadi lawan seimbang bagi Ahok, dan tidak terlalu menganggap kehadiran Yusril, Sandiaga Uno, apalagi Ahmad Dhani yang kabarnya dihembuskan untuk menjajal kemampuan mereka menyaingi Ahok.

Kenapa putra daerah di luar DKI Jakarta  yang dijagokan?
Parpol dan sejumlah kalangan  yang  telah memunculkan nama Risma, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo  sekaligus mendorong dan mereka bertiga ‘digadang-gadang’  maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, sesungguhnya tahu persis bahwa kemampuan Ahok memang besar dan sulit menandingi kinerjanya. Mengurus DKI Jakarta tidaklah mudah sehingga butuh orang-orang yang mempunyai kemampuan setara dengan Ahok. Alhasil mereka sangat percaya diri jika yang maju salah seorang diantara Ridwan, Risma dan Ganjar, maka kans Ahok untuk terpilih menjadi kecil. Apalagi jika ada yang mengubungkan dengan isu SARA.

Secara tidak langsung , parpol menyadari sepenuhnya bahwa kinerja Ahok memang bagus dan layak untuk diteruskan untuk lima tahun mendatang.  Tetapi memang mereka ogah mengaku terus terang dan terkesan malu-malu karena selama ini  juga ikut menentang Ahok.

Tetapi pada akhirnya Risma, Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo mengatakan secara resmi bahwa ketiganya tidak akan maju mencalonkan diri sebagai Gubernuir DKI Jakarta.  Alasan yang dikemukakan Ridwan Kamil  karena tidak direstui keluarga untuk maju di pilgub DKI selain juga dengan pertimbangan sejumlah tokoh nasional antara lain Presiden Joko Widodo. Sementara  Risma menyatakan tidak maju mencalonkan diri dan  bahkan telah  minta izin langsung kepada Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri . Ia baru saja dilantik menjadi Walikota Surabaya dan akan menjalankan amanat warga Surabaya yang telah mempercayakannya untuk memimpin Kota Surabaya. Adapun Ganjar Pranowo tidak maju dalam bursa pemilihan Gubernur DKi Jakarta karena  masih memiliki sejumlah  pekerjaan rumah di Jawa Tengah  dan akan meneruskan untuk menyelesaikannya. 

Mundurnya ketiga tokoh daerah tersebut  membunuh harapan sejumlah parpol yang seyogyanya  akan  menghadang  Ahok. Tak ada lagi yang di harapkan bisa menyaingi  Ahok. Sehingga sekarang  tinggal mengelus-elus jagoan lokal seperti Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno yang kabarnya di dukung Partai Gerindra.

Butuh Kerja Keras untuk Melawan Ahok
Melihat pengalaman Yusril juga Sandiaga Uno, yang belum pernah terbukti memimpin sebuah daerah, tidak mudah bagi  mereka berdua untuk menyaingi Ahok. Meskipun Yusril mempunyai banyak pengalaman di  bidang politik bahkan di pemerintahan saat menjadi menteri, tetapi memimpin dan mengatur daerah bukan hal yang mudah. 

Publik dengan sangat jeli akan melihat bagaimana sepak terjang keduanya dan dengan mudah akan membandingkan dengan sikap dan kebijakan Ahok selama ini. Ibu kota Jakarta mempunyai beragam persoalan yang tidak mudah diurai satu persatu dan diselesaikan.
Jakarta butuh  orang-orang dengan model kemipimpinan seperti Jokowi dan Ahok, yang  telah membuktikan mampu mengubah Jakarta menjadi lebih baik lagi. Sehingga orang seperti Ahok cukup besar mempunyai kans untuk  dipilih warga DKI Jakarta untuk menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah yang belum selesai dan membawa Jakarta lebih baik lagi.

Jadi, bagi penantang Ahok, saya kira butuh kerja keras lagi jika memang serius ingin menjajal kemampuan Ahok.***