[Kita harus belajar untuk bisa menerima kenyataan
Harus di hadapi, jangan sampai di sesali ]
Mimi membuang
nasi dan lauk buatan ibu. Mukanya cemberut, wajahnya masam tanda tak senang.
Dengan kesal kakinya menendang kue yang telah jatuh dilantai. Tak dihiraukan
wajah sedih ibu yang telah bersusah payah menyediakan masakan. Bahkan kekesalan
Mimi dilanjutkan dengan menendang pintu kamarnya.
“Mimi, jangan begitu nak. Tak baik kelakukan kamu seperti itu,” tutur
ibu , tangannya mengambil nasi dan lauk
yang berserakan di lantai.
“Huh, tiap hari makan nasi thiwul dan ikan kering.
Apakah tak ada lauk lainnya? Sesekali beli ayam, daging , susu, nasi putih.
Thiwul lagi, ikan kering lagi, air putih, huh bosan. “ sembur Mimi marah.
Ibu memandang anak semata wayangnya dengan sorot mata
sedih,” Ibu tidak ada uang, nak. Hanya ini yang mampu kita makan. Kita harus
bersyukur karena masih bisa makan meskipun sederhana seperti ini. “
“NGGAK MAU !! Mimi nggak mau makan kalau hanya
seperti ini terus. BOSAN! Lama-lama Mimi bisa muntah.”teriak Mimi bertambah
kesal.
“Mimi sayang, ibu janji kalau ada rejeki akan
membelikan ayam, daging, susu seperti keinginan kamu,” janji ibu meredakan
amarah Mimi.
“NGGAK, pokoknya kalau nggak ada ayam, Mimi nggak mau
MAKAN, TITIK !”
BRAAAAAAAAAAAAAK, pintu di banting keras. Mimi
berjalan keluar dengan luapan amarah.
Ibu hanya bisa mengelus dada, tak didasari ada buliran air mata yang menetes di
pipi tuanya. Ada sejumput penyesalan karena tidak mampu mendidik Mimi dengan
baik. Sejak ayahnya meninggal 3 tahun yang lalu, Mimi berubah menjadi anak yang
sulit di atur, pemalas dan suka menang sendiri . Segala keinginannya harus
dipenuhi. Mimi akan marah kalau ibunya tak bisa memenuhi permintaan.
Tak pernah mau membantu ibu, justru selalu merepotkan. Padahal ibu sudah
bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan mereka berdua. Ibu hanya mampu menyediakan nasi thiwul yang
terbuat dari singkong. Nasi putih menjadi makanan yang mewah bagi mereka.
**
Matahari bersinar cukup terik mengantarkan panas yang
terasa menyengat di kulit. Angin siang tak berhembus seakan enggan berhadapan
dengan Sang Surya.
Mimi menyeret kakinya tak tentu arah. Badannya mulai
gerah, bahkan di beberapa bagian sudah mulai basah karena keringat. Perutnya
sudah keroncongan dari tadi karena sejak pagi belum ada sebutir nasipun masuk perut.
Kerongkongan juga sudah kering dari tadi, bahkan ludahpun terasa tak ada
lagi. Langkah kakinya mulai pelan dan terseok-seok. Karena tak bisa menahan capek dan lapar, Mimi
memutuskan untuk berhenti di sebuah pohon besar di pinggir desa. Sepertinya
pohon itu rindang sekali, aku akan beristirahat dulu,batin Mimi. Benar saja, di
bawah pohon besar dan rindang itu, Mimi bisa melepas lelah. Perutnya semakin
sakit karena terasa di remas-remas. Sebersit penyesalan melintas di pikiran
Mimi karena telah menolak masakan ibu. Padahal ibu sudah berbaik hati setipa
hari mneyediakan makanan . Apakah aku pulang saja? Ach tidak, aku bosan dengan makana itu itu saja. Lebih baik
aku pergi saja, kata Mimi dalam hati.
Meskipun kelaparan, angin sepoi-sepoi yang berhembus mampu mengantarkan kantuk.
Matanya terasa berat dan tak lama kemudian Mimi tertidur. Tiba-tiba ada seorang
nenek bertubuh gemuk mendatanginya. Mimi terkejut dengan kehadiran orang yang
tak dikenalnya.
“Anak, kenapa kamu
tidur di sini?”
‘” Saya...saya....emh saya sedang istirahat , nek,”
sahut Mimi terbata-bata.
“Ehm, kamu kabur dari rumah ya?memangnya
kenapa?”tanya nenek itu seakan tahu apa yang telah terjadi.
Mimi tersipu
malu,” Iya nek, saya kesal karena ibu tidak menyediakan makanan yang enak-enak.
Setiap hari hanya nasi thiwul dan ikan asin saja,” gerutu Mimi kesal.
“Hhehehehehe, nama kamu siapa?”
“Mimi,Nek”
“Baiklah Mimi, kalau kamu mau makanan yang enak , ayo
ikut nenek saja.”
Mimi memandang nenek tak percaya,” Apakah nenek bisa
memberikan makanan yang enak-enak?”
“Nggak hanya makanan, kamu juga bisa mendapatkan
baju-baju bagus dan perhiasan,”terang nenek menyakinkan.
Mimi tertarik dengan ajakan nenek yang baru
dikenalnya. Mimi tak ingat lagi pesan ibu kalau harus berhati-hati dengan orang
yang baru dikenalnya. Mimi hanya membayangkan mendapatkan makanan lezat dan
pakaian bagus seperti yang selama ini diharapkan.
Tak berapa lama kemudian, Mimi dan nenek sudah sampai
di sebuah rumah yang besar, mewah dengan halaman luas. Banyak perabotan mewah
yang menghiasi rumah besat itu. Mimi
semakin kagum ketika di meja makan tersedia makana yang enak dan banyak sekali,
Ada ayam goreng, opor ayam, daging empal, sate kambing, ikan bakar, dan
buah-buahan. Semua nampak lezat dan
membangkitkan selera. Nampak beberapa
orang anak sebaya Mimi sedang bersiap makan juga. Setelah dipersilahkan , Mimi
segara menyantap semua hidangan yang tersedia. Rasanya perut Mimi tak bisa kenyang sehingga semua makanan di masuk
ke perut. Setelah semua kenyang, Mimi dan anak sebayanya di bawa ke sebuah
kamar yang luas dan penuh dengan perabotan mahal. Tanpa di minta, Mimi sudah
meloncat ke tempat tidur empuk yang
membangkitkan kantuknya.
“Eh nggak boleh tidur. Enak saja, sudah kenyang kok
lanagsung tidur. Ayo kalian semua ikut ke belakang. Banyak pekerjaan yang harus
dikerjakan,” perintah nenek dengan suara keras, tegas dan marah. Mimi menatap
heran perubahan sikap nenek, tak ada lagi keramahan dan kesabaran yang sempat
Mimi lihat.
Sejak saat itu Mimi dan teman-temannya dipaksa
bekerja keras siang dan malam. Tak ada
makanan lezat dan berlimpah lagi, hanya ada sedkit makanan dengan lauk garam
yang dicampur oarutan kelapa. Tak ada tempat tidur mewah, mereka hanya tidur di
ruang belakang sambil berdesak-desakan.
Sekitar seminggu kemudian Mimi sudah tidak tahan
lagi. Badannya terasa remuk dan sakit
sekali. Beberapa kali nenek itu memukulnya karena dianggap pemalas dan tidak
becus bekerja. Tiba-tiba penyesalan muncul di hatinya. Mimi sangat menyesal
telah menyakiti hati ibu. Kerinduan
untuk bertemu ibu dan menikmati masakannya semakin kuat hadir di
hatinya. Mimi menangsi sedih ingin bertemu dan minta maaf kepada ibu.
Tiba-tiba..Aduhhhhhhhhhhhhhhhhhh, Mimi terbangun saat
sebuah ranting pohon jatuh dan menimpa kepalanya. Matanya tampak kebinggungan, pandangan diarahkan ke kanan
dan kiri. Mimi baru tersadar kalau dia tertidur dan bermimpi. Mimi kemudian
menyadari kalau dia hanya bermimpi. Syukurlah , semu ini hanya mimpi. Tak ada orang sebaik ibu dan tak ada rumah seindah rumah sendiri. Ibu , Mimi minta maaf,
Mimi akan makan semua masakan ibu, tekad
Mimi sambil bergegas pulang ke rumah***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar