Selasa, 12 November 2013

Suami Pilihan

“Bunda, ayah mana? Kerja di mana? Dekat apa? Kapan ayah pulang? “ Masih banyak pertanyaan lain dari mulut mungil Rama. Mata beningnya menatapku penuh pertanyaan. Tak mampu aku memberikan jawaban dari serangkaian pertanyaan yang terus di ulang-ulang , ku rengkuh badan anak bungsuku, kuciumi dengan rasa bangga, tanpa terasa air mata yang tak mampu ku bendung .

Selalu saja pertanyaan polos dari Rama membuat hatiku bahagia. Kecerdasan si bungsu ini sudah terlihat sejak kecil. Bocah berusia 3 tahun ini hampir setiap saat menanyakan keberadaan ayahnya, meskipun sudah ku berikan penjelasan tentang ayahnya. Kerinduan kepada ayahnya sudah tak terbendung, membuatnya selalu tak puas dengan jawabanku.

Rama tak hanya bertanya padaku, tetapi juga kepada kedua kakaknya, Satrio dan Lintang. Kalau kakaknya terlihat bosan menjawab , seringkali dengan nada bercanda mengatakan ayahnya tak akan pulang, membuat Rama menjerit marah. Satrio tertawa senang dengan kegusaran Rama. Lintang sesekali dengan sabar menjelaskan, tetapi karena Rama terus bertanya, Lintang dengan kesal menjawab tanya bunda saja. Pada akhirnya aku yang harus menjelaskan.

Sudah lima bulan ini, mas Bayu terpaksa harus bekerja di luar pulau untuk mengejar kebutuhan yang sangat penting bagi kami. Kenapa terpaksa? Karena sudah menjadi kesepakatan kami untuk bekerja di kota saja, kalaupun bekerja di luar kota yang bisa terjangkau dengan tempat tinggal kami. Setidaknya bisa setiap hari pulang atau kalau terpaksa seminggu sekali masih bisa berkumpul dengan keluarga. Mas Bayu sangat memperhatikan perkembangan dan pendidikan anak-anak, sehingga kami sepakat untuk selalu bersama.
Hanya saja, takdir berkehendak lain, sejak setengah tahun yang lalu, kami mulai risau dengan rumah yang kami tempati. Sejak menikah 8 tahun lalu, kami hanya bisa mengontrak rumah, penghasilan mas Bayu yang bekerja sendirian belum mampu untuk membeli rumah. Meskipun mas Bayu bekerja membanting tulang dan mengambil lemburan untuk mewujudkan impian kami, tetapi impian kami belum bisa tercapai. Tabungan yang disisihkan sedikit demi sedikit untuk membeli rumah, habis digunakan untuk kebutuhan pendidikan anak-anak.

Sebagai istri, sudah berulang kali kutawarkan untuk membantu bekerja. Tetapi mas Bayu belum mengijinkan, dengan alasan anak-anak butuh bimbingan langsung dari bundanya. Terpaksa aku hanya membantu dengan hasil yang tak seberapa, menjual makanan kecil yang ku titipkan di warung dan kantin.
Enam bulan yang lalu ada tawaran dari perusahaan yang sedang berkembang di luar pulau Jawa. Setelah kami berunding, sekitar sebulan kemudian dengan terpaksa mas Bayu meninggalkan kami dengan harapan akan mendapatkan penghasilan yang lebih besar sehingga kami lebih cepat mempunyai rumah idaman.
“Bunda, ayah mana? “ pertanyaan Rama memutus lamunanku . “Kok nggak jawab? Ayah kerja di mana?”
“Ayah kerja jauh di Papua sayang. “
“Papua itu mana? “ tatapnya lagi sambil memainkan ujung bajuku.
Dengan sayang ku gandeng tangan mungil Rama menuju kamar Satrio. Buku atlas bersampul merah yang ku ambil dari meja belajar, ku buka lebar di lantai kamar. Setelah kutemukan lembaran peta Papua, ku jelaskan secara perlahan ke Rama.
 “Khan deket tu, hanya segini. Kok ayah ngga pulang? Nih tinggal gini aja..” suara cadel Rama membuatku hampir tertawa. Rama tetap nyakin kalau ayahnya hanya kerja di dekat rumah saja. Tangan mungilnya menunjuk peta Jawa dan Papua berulang -ulang.” Nich, nik..inik..inik…dekat khan bun?”
“Iya sayang, kalau di gambar ini memang dekat. Tapi jauh lho. Kalau ayah naik pesawat hampir seharian baru sampai. “
“Naik pesawat? Ngeng…ngeng….ngeennnnnnnnnnn…..”Rama sudah lupa dengan ayahnya. Pensil yang ku pakai untuk menjelaskan pulau Papua sudah beralih fungsi menjadi pesawat. Sesaat kemudian anak bungsuku itu sudah asyik dengan permainannya.

 Setahun berlalu , mas Bayu belum bisa pulang. Kontrak dengan perusahaan hanya memberikan kesempatan cuti sekali dalam setahun. Selama ini komunikasi dengan mas Bayu ku lakukan melalui telpon, SMS, email dan chating. Untung saja jaman semakin maju, tehnologi semakin canggih. Meskipun tak bisa bertemu setiap hari, tetapi setiap hari rasanya sudah bertemu paling tidak lewat SMS. Tanpa absen, mas Bayu selalu menyapa anak-anak lewat telpon. Meskipun berjauhan, tugas sebagai seorang ayah dengan mengikuti perkembangan anak-anak tak pernah dilewatkan.

Kerinduan sudah membuncah di dada, kami tak terbiasa berpisah jauh dan lama. Meskipun sudah setahun, mas Bayu belum pulang karena bulan depan sudah bulan ramadhan. Tanggung kalau harus pulang sekarang, karena biaya perjalanan mahal . Menunda pulang 2 bulan lagi akan lebih membahagiakan karena bisa berlebaran bersama. Kami sepakat untuk menunda rasa kangen yang mendalam. Mas Bayu sebenarnya sudah tidak sabar lagi untuk bertemu denganku, terlebih dengan anak-anak, terutama dengan Rama. Setahun yang lalu, Rama belum suka bermain bola, mas Bayu sering mengajari bermain bola dengan tendangan dan sundulan. Dan sekarang Rama sudah pandai menendang bola sambil berlari ke sana kemari.
Anak-anak sudah ingin sekali bertemu dengan ayahnya, rupanya kerinduan dengan sosok ayah yang selama ini menemani mereka tiap hari sudah sedemikian besar. Awalnya mereka protes keras, bahkan Lintang sempat ngambek ketika tahu ayahnya menunda kepulangan. Dia mengurung diri di kamar dan mogok bicara dan makan. Setelah mas Bayu ikut membujuk lewat telpon, barulah Lintang mau makan.


Untuk kesekian kalinya aku tertawa mendengar celoteh dan candaan suamiku dengan anak-anak. Rasanya tak pernah bosan Satrio, Lintang dan Rama mengelitik ketiak ayahnya. Dengan cepat dan tangkas, mas Bayu menangkap dan mengunci tangan anak-anak. Kedua tangan Satrio di kunci dengan paha kanan, tangan Rama dengan paha kiri dan tangan Lintang di pegang kuat . Ketiga anak-anak tak mampu lagi melepaskan diri, terlebih Satrio yang terus tertawa terbahak-bahak sehingga rasanya tenaga sudah terkuras habis. Jeritan riuh membuat rumah kami ramai dan penuh kebahagiaan, setelah setahun belakangan sepi.
Ku pandangi mereka berempat dengan rasa haru yang tak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Ingin rasanya menyaksikan kebersamaan mereka setiap hari. Sebuah keutuhan keluarga yang tak bisa di tukar dengan materi apapun.
“Bunda, lagi memikirkan apa? “ tanpa ku sadari mas Bayu sudah di dekatku. Anak-anak lagi asyik mencoba tablet 7 inci yang dibelikan mas Bayu kemarin sebagai oleh-oleh.
“Bunda senang melihat anak-anak bahagia. Rasanya lama sekali rumah ini sepi tanpa tawa lepas mereka , Yah.” Kusandarkan kepalaku di dada mas Bayu. Tangan lembut mas Bayu membelai rambutku. Dengan rasa sayang kecupan hangat mendarat di pipiku.
“ Ayah ingin selalu bersama Bun. Ayah harus menahan sepi, rindu dan rasa sakit mendalam karena selalu teringat kalian. Ingin rasanya meninggalkan pekerjaan dan kembali ke rumah. Tetapi kalau teringat setiap tahun kita harus membayar kontrakan dan terkadang kesana kemari mencari rumah kontrakan, ayah mencoba bertahan. Sedih sekali Bun, kalau ingat kita harus pindah-pindah.”
Ku genggam erat tangan suamiku, kupandangi matanya yang telah dialiri dua sungai bening. “ Ayah, bunda juga merasa berat. Amanah mendidik anak-anak juga sulit untuk dilakukan sendirian. Tetapi demi cita-cita kita ke depan, bunda harus ikhlas melepas ayah.”
Mas Bayu mencium tanganku, membuatku semakin terharu. Betapa bahagianya mempunyai pahlawan keluarga yang pemurah, pengasih dan rela berkorban untuk keluarga. Betapa bersyukurnya diriku dikaruniai seorang imam keluarga yang luar biasa dan sholeh.

Allohu Akbar…Allohu Akbar…………………………… terdengar lantunan adzan magrib dari masjid dekat rumah. Alhamdulillah, puasa kami berakhir hari ini. Besok, kami merayakan hari kemenangan bersama-sama. Mas Bayu merangkul pundakku berjalan ke ruang makan, mengikuti anak-anak yang berlarian dengan jeritan syukur mereka.
Bibirku membentuk senyuman, aku nyakin ini senyum paling manis dari senyumanku selama ini.
***
(Mawar VI, akhir Okt 2013, teruntuk suamiku tercinta)





Tidak ada komentar: