Kamis, 02 April 2015

Merekalah Yang Berjasa Menyediakan Makanan Pokok Kita

Makanan pokok sebagaian masyarakat kita adalah beras.
Beras menjadi salah satu kebutuhan pokok  masyarakat kita. Meskipun pemerintah beberapa tahun terakhir ini menghimbau masyarakat untuk mencoba beralih ke  bahan pokok selaian  beras, yaitu jagung, ketela pohon, dll, tetapi masih banyak masyarakat yang tetap ’setia’ dengan beras. Rasanya nasi belum bisa tergantikan dengan yang lain.
Ribuan butir nasi yang kita makan setiap hari berasal dari gelut semangat, tenaga dan waktu cukup panjang dari seorang petani. Dari merekalah butir-butir gabah disemai, di pupuk dan dirawat sehingga menjadi bulir-bulir padi gemuk yang siap dipanen setelah 3 bulan lamanya.


Selain petani, puluhan buruh tanilah yang selama ini berperan membantu memanen padi menjadi butiran gabah dan akhirnya menjadi beras yang siap kita masak.
Saat ini masa panen di sejumlah daerah, salah satunya di desa-desa yang masuk wilayah Kecamatan  Cawas dan Karangdowo Kabupaten Klaten. Hampir sepanjang jalan kita bisa melihat para petani sibuk memanen sawahnya, meskipun masih ada beberapa petak sawah yang padinya sudah menguning tetapi belum dipanen.

Ribuan hektar sawah di Cawas siap panen (dok. Suci)
Petani dibantu oleh buruh tani yang tidak semuanya berasal dari desa mereka sendiri. Seperti di Cawas, saat panen raya, petani memetik padinya hampir dalam waktu bersamaan. Petani mengalami kesulitan mencari tenaga buruh dari desanya karena biasanya sebagaian tenaga memanen di sawahnya sendiri atau jika tidak sudah dipakai tenaganya oleh petani lain. Saat situasi seperti itu, petani akan mengunakan jasa para buruh tani yang datang dari desa bahkan kecamatan lain. Para buruh tani tersebut biasa berkeliling menjajakan jasanya sambil membawa peralatan untuk memanen seperti sabit.  Mereka biasa datang berkelompok sekitar 5-10 orang perkelompok. Jasa untuk memotong padi dan merontokkan padi adalah satu paket. Biasanya petani tinggal menyediakan mesin perontok padi yang disewa dari beberapa tempat.

Petani dan buruh tani memotong padi (dok. Suci)
Di Cawas, sejak sekitar 5 tahun belakangan ini merontokkan padi mengunakan mesin perontok padi yang berbahan bakar solar. Mereka sudah tidak lagi mengunakan mesin tradisional yang biasa di sebut erek. pengunaan mesin perontok padi lebih efisien waktu dan tenaga, dibandingkan dengan erek yang membutuhkan tenaga esktra (karena pengunaannya dengan digenjot seperti naik sepeda) dan memerlukan waktu yang lama.
Para buruh tani lebih senang mengunakan mesin perontok padi karena lebih hemat tenaga. Mereka biasa turun ke sawah sejak pagi sekitar pukul 7 atau 8 untuk memotong padi dengan sabit. Mesin pemotong padi yang dibagikan Presiden Joko Widodo belum sampai ke petani di beberapa desa di Cawas. Setelah ada tumpukan padi, satu orang memegang kendali untuk merontokkan padi, satu orang lainnya membantu mengambilkan padi dan sekitar dua orang yang memindahkan padi dari sawah ke lokasi perontokan dan sejumlah orang lainnya melanjutkan memotong batang padi.

Dengan mesin perontok padi mempercepat penyelesaian proses memanen padi (dok. Suci)
Tim bekerja secara cepat, rapi dan efisien serta kompak. Mereka hanya beristirahat saat ‘rolasan’ (istilah untuk jam makan siang di Jawa Tengah) dan kembali bekerja. Biasanya dalam satu hari sampai jam 4 sore semua gabah (padi yang sudah dirontokkan) sudah tersimpan rapi di dalam karung. Upah yang diminta tidak dengan uang tetapi dengan gabah, satu orang mendapatkan upah 1 karung gabah setara dengan 34 kilogram. Ini berbeda dengan kebiasaan sekitar tiga tahun yang lalu, mereka diupah dengan uang sekitar Rp 50-70 rb/ hari (tergantung tawar menawar). Sejak tiga tahun belakangan ini buruh tani lebih memilih upah gabah. Jika satu kilo gabah seharga Rp 3.400 maka sehari seorang  buruh tani mengumpulkan uang Rp 115.600 bersih, karena makan siang, sore, jajanan, rokok sudah disediakan pemilik sawah.

Ibu-ibu mencari sisa padi dengan 'ngasak' mengunakan alat tradisional 'ani-ani' (dok. Suci)
 Sisa batang padi satu dua batang menjadi rejeki bagi ibu-ibu yang mencari sisa panen atau istilah jawanya ‘ngasak’. Dengan alat tradisional yaitu ani-ani (terbuat dari bambu dan baja tipis dan tajam di ujungnya/seperti pisau) mereka mencari rejeki dari sawah yang telah selesai dipanen. Ibu-ibu tersebut dalam sehari bisa pergi ke beberapa sawah, dan kalau beruntung bisa mendapatkan sekitar 3 kilo gabah basah. Rejeki dari  bisa petani mengalir ke banyak orang dan dinikmati puluhan bahkan ratusan keluarga.***

Tidak ada komentar: