Makanan pokok sebagaian masyarakat kita adalah beras.
Beras menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat kita. Meskipun
pemerintah beberapa tahun terakhir ini menghimbau masyarakat untuk
mencoba beralih ke bahan pokok selaian beras, yaitu jagung, ketela
pohon, dll, tetapi masih banyak masyarakat yang tetap ’setia’ dengan
beras. Rasanya nasi belum bisa tergantikan dengan yang lain.
Ribuan butir nasi yang kita makan setiap hari berasal dari gelut
semangat, tenaga dan waktu cukup panjang dari seorang petani. Dari
merekalah butir-butir gabah disemai, di pupuk dan dirawat sehingga
menjadi bulir-bulir padi gemuk yang siap dipanen setelah 3 bulan
lamanya.
Selain petani, puluhan buruh tanilah yang selama ini berperan membantu
memanen padi menjadi butiran gabah dan akhirnya menjadi beras yang siap
kita masak.
Saat ini masa panen di sejumlah daerah, salah satunya di desa-desa yang
masuk wilayah Kecamatan Cawas dan Karangdowo Kabupaten Klaten. Hampir
sepanjang jalan kita bisa melihat para petani sibuk memanen sawahnya,
meskipun masih ada beberapa petak sawah yang padinya sudah menguning
tetapi belum dipanen.
|
Ribuan hektar sawah di Cawas siap panen (dok. Suci) |
Petani dibantu oleh buruh tani yang tidak semuanya berasal dari desa
mereka sendiri. Seperti di Cawas, saat panen raya, petani memetik
padinya hampir dalam waktu bersamaan. Petani mengalami kesulitan mencari
tenaga buruh dari desanya karena biasanya sebagaian tenaga memanen di
sawahnya sendiri atau jika tidak sudah dipakai tenaganya oleh petani
lain. Saat situasi seperti itu, petani akan mengunakan jasa para buruh
tani yang datang dari desa bahkan kecamatan lain. Para buruh tani
tersebut biasa berkeliling menjajakan jasanya sambil membawa peralatan
untuk memanen seperti sabit. Mereka biasa datang berkelompok sekitar
5-10 orang perkelompok. Jasa untuk memotong padi dan merontokkan padi
adalah satu paket. Biasanya petani tinggal menyediakan mesin perontok
padi yang disewa dari beberapa tempat.
|
Petani dan buruh tani memotong padi (dok. Suci) |
Di Cawas, sejak sekitar 5 tahun belakangan ini merontokkan padi
mengunakan mesin perontok padi yang berbahan bakar solar. Mereka sudah
tidak lagi mengunakan mesin tradisional yang biasa di sebut erek.
pengunaan mesin perontok padi lebih efisien waktu dan tenaga,
dibandingkan dengan erek yang membutuhkan tenaga esktra (karena
pengunaannya dengan digenjot seperti naik sepeda) dan memerlukan waktu
yang lama.
Para buruh tani lebih senang mengunakan mesin perontok padi karena lebih
hemat tenaga. Mereka biasa turun ke sawah sejak pagi sekitar pukul 7
atau 8 untuk memotong padi dengan sabit. Mesin pemotong padi yang
dibagikan Presiden Joko Widodo belum sampai ke petani di beberapa desa
di Cawas. Setelah ada tumpukan padi, satu orang memegang kendali untuk
merontokkan padi, satu orang lainnya membantu mengambilkan padi dan
sekitar dua orang yang memindahkan padi dari sawah ke lokasi perontokan
dan sejumlah orang lainnya melanjutkan memotong batang padi.
|
Dengan mesin perontok padi mempercepat penyelesaian proses memanen padi (dok. Suci) |
Tim bekerja secara cepat, rapi dan efisien serta kompak. Mereka hanya
beristirahat saat ‘rolasan’ (istilah untuk jam makan siang di Jawa
Tengah) dan kembali bekerja. Biasanya dalam satu hari sampai jam 4 sore
semua gabah (padi yang sudah dirontokkan) sudah tersimpan rapi di dalam
karung. Upah yang diminta tidak dengan uang tetapi dengan gabah, satu
orang mendapatkan upah 1 karung gabah setara dengan 34 kilogram. Ini
berbeda dengan kebiasaan sekitar tiga tahun yang lalu, mereka diupah
dengan uang sekitar Rp 50-70 rb/ hari (tergantung tawar menawar). Sejak
tiga tahun belakangan ini buruh tani lebih memilih upah gabah. Jika satu
kilo gabah seharga Rp 3.400 maka sehari seorang buruh tani
mengumpulkan uang Rp 115.600 bersih, karena makan siang, sore, jajanan,
rokok sudah disediakan pemilik sawah.
|
Ibu-ibu mencari sisa padi dengan 'ngasak' mengunakan alat tradisional 'ani-ani' (dok. Suci) |
Sisa batang padi satu dua batang menjadi rejeki bagi ibu-ibu yang
mencari sisa panen atau istilah jawanya ‘ngasak’. Dengan alat
tradisional yaitu ani-ani (terbuat dari bambu dan baja tipis dan tajam
di ujungnya/seperti pisau) mereka mencari rejeki dari sawah yang telah
selesai dipanen. Ibu-ibu tersebut dalam sehari bisa pergi ke beberapa
sawah, dan kalau beruntung bisa mendapatkan sekitar 3 kilo gabah basah.
Rejeki dari bisa petani mengalir ke banyak orang dan dinikmati puluhan
bahkan ratusan keluarga.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar