Rabu, 20 Mei 2015

Penari Pilihan

Cerpen..cerpen...(tak mudah putus asa demi mengapai impian dan cita-cita)




            Jawi terus mengerakkan kakinya . Maju, mundur, ke kanan dan kiri, berputar, kaki ditekuk, tegak begitu seterusnya. Sumpah, kakinya terasa sakit sekali. Apalagi saat berkali-kali latihan berjinjit, ujung kakinya sebagai tumpuan badan. Gila, beratnya dan sakit banget. Sungguh menyiksa. Meskipun sudah tiga bulan lamanya ia berjibaku untuk  memaksa seluruh otot tubuhnya bergerak gemulai seirama dengan gending jawa, tetapi tetap saja seluruh badannya masih terasa kaku.
            Bukan perjuangan yang mudah berada di tempat latihan tari ini. Seminggu dua kali, Jawi berusaha membuat jadwal baru berada di Sanggar Seni Suryosutejo yang terkenal di Kota Solo. Sampai bulan ketiga, saat tiga lembar kalender dimejanya penuh coretan tinta merah besar sebagai tanda keikutsertaan di sanggar, ia masih terus mengeluh.
            “Sudah, cukup. Hari ini latihan kita cukup sampai gerakan ini. Sampai bertemu  dua hari lagi,” tutup Mbak Witri mengakhiri sesi latihan tari sore ini.
            Jawi bernafas lega. Sungguh beban  yang teramat berat terasa sudah terlampaui. Dua jam memaksa seluruh motorik  halusnya menyeimbangkan otak kanan dan kiri selesai sudah. Tanpa sungkan, ia hempaskan tubuhnya di lantai. Kakinya yang terasa pegal diluruskan, lumayan sedikit mengurangi rasa penat.
            “Capek, Wi?” tanya Mbak Witri sambil duduk di sisi Jawi. Tangannya yang halus menyeka keringat yang tersisa di keningnya.
            “Hehe..” jawab Jawi pendek. Ia menyimpan kekaguman yang besar terhadap pelatih tarinya. Mbak Witri masih muda tetapi sudah menjadi dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Setelah lulus dari ISI, Mbak Witri melamar menjadi dosen dan sampai sekarang mengajar di jurusan seni tari. Ia ikut melatih tari di sanggar Suryosutejo.
            “Perkembangan tari kamu semakin bagus. Mbak yakin kamu pasti mampu menari dengan baik. Hanya butuh ketelatenan dan kesabaran,” tutur Mbak Witri lagi.
            Jawi menenguk air mineral sampai tandas satu botol. Setelah menghela nafas, ia berujar,” Mudah-mudahan ya Mbak. Saya berusaha berlatih keras. Hanya saja badan rasanya mau copot. Susah bener gerakan tarinya.”
            Lagi-lagi perempuan kuning langsat yang rambutnya sepinggul itu tertaawa. Suaranya halus dan empuk. Pembawaannya yang lemah lembut sangat cocok dengan wajahnya yang cantik. Khas putri solo. Jawi tersenyum getir membandingkan dirinya dengan Mbak Witri yang seratus delapan puluh derajat beda.
            “Mbak pulang dulu, ya,” Mbak Witri berpamitan mengikuti teman-teman sanggar yang satu persatu sudah bergegas. Jawi menjawab dengan anggukan.
**

            Bukan hal yang mudah bagi Jawi yang selama hidupnya selalu berpenampilan tomboi, bercelana panjang, berambut pendek  dan selalu bergaul dengan teman laki-laki. Tumpukan baju dilemarinya yang besar hanya berisi tiga potong rok sekolah, lainnya celana panjang dan pendek. Karena terlalu tomboi sejak keci, bahkan ayah, ibu dan kakaknya memanggilnya Si Tom, Si Tomboi maksudnya. Dan Jawi enjoy saja. Semua yang mengenalnya dengan mudah menganggapnya cowok banget. Apalagi selama ini Jawi mengikuti  klub sepakbola di sekolahnya, ikut  pencak silat, balap motor dan suka mendaki gunung. Rasanya tidak ada perempuan yang bisa sekuat dan setangguh Jawi.
            Sikap Jawi berubah total ketika kuliah semester  lima  dan mulai menerima perhatian dari Satrio, teman sefakultasnya yang sejak semester pertama tak bosan memikat hatinya. Celakanya di saat Jawi merasakan getar-getar cinta, ia harus menerima kenyataan kalau ternyata Satrio berasal dari keluarga kraton, berdarah biru yang masih memegang tata karma dan budaya keraton yang tinggi. Tidak hanya tutur katanya yang sangat halus tetapi juga soal  kebiasaan dan kebisaan sebagai  keluarga kraton masih dijunjung tinggi. Satrio bersikap biasa saja dan bisa menerima Jawi apa adanya, tetapi tidak dengan keluarganya. Saat hubungan mereka menginjak tahun kedua, saat Jawi mulai dikenalkan dengan keluarganya, itulah awal dari perubahan dirinya.
            “Tidak! Sekali lagi tidak boleh! Ibu  dan rama tidak akan ijinkan kamu berpacaran dengan perempuan  yang tingkahnya mirip laki-laki. Wong wadon kok rambute cendhak. Perempuan apaan itu, tomboi, nggak bisa masak, nggak bisa nari. Sekali lagi ibu tidak ijinkan! Titik!” seru Raden  Ayu  Moestiyah, ibunda Satrio dengan nada tinggi. 
Pandangan matanya sinis menatap Jawi dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sungguh bertolak belakang dengan sikap lembutnya saat pertama kali dikenalkan setengah jam yang lalu. Awalnya Jawi diterima dengan sangat baik. Tetapi setelah berbincang sebentar dan mendengar jawaban atau tepatnya menginterogasi Jawi, seketika sikapnya berubah. Rasa tidak sukanya ditunjukkan terang-terangan.
            “Tapi Bu?” protes  Satrio sambil menekan suaranya. Matanya melirik Jawi dengan menahan malu. Ada nada sesal karena ibunya tidak menyukai perempuan yang mengisi hari-harinya selama setahun belakangan.
            “Satrio, kamu tahu peraturan di sini. Percuma, perempuan seperti itu tidak akan diterima di keluarga kita,” tekan Raden Ayu  Moestiyah lagi.
            “Ibu…”
            “Sudahlah Satrio. Benar apa yang dikatakan ibumu.  Maaf, saya permisi,” pamit Jawi sambil beranjak. Meskipun sakit hati karena perlakuan tuan rumah, tetapi Jawiu berusaha tetap menjaga sopan santunnya. Ia memang tomboi dan tidak bisa melakukan banyak hal seperti yang ditanya ibunya Satrio, tetapi soal kesopanan ibu selalu mengajarkan sejak kecil. Jawi, nama yang disematkan ayah dan ibu dengan harapan ia tumbuh sebagai perempuan jawa yang halus budi pekerti maupun tutur bahasa.
**
           
Peristiwa setengah tahun yang lalu masih terekam kuat dibenak Jawi. Setelah memutuskan untuk  putus dari Satrio, ia butuh waktu tiga bulan untuk melarikan duka laranya dengan pergi ke gunung, memforsir tenaganya untuk berlatih pencak silat dan sepakbola dan mengikuti kegiatan sosial yang menguras tenaga. Di bulan keempat, ia sudah mampu move on dan memutuskan untuk menekuni kegiatan seni yang sama sekali tidak pernah diliriknya. Tari menjadi pilihan hatinya setelah tertantang dengan sikap Raden Ayu Moestiyah.  Awalnya  Jawi hanya ingin membuktikan kalau ia mampu selayaknya perempuan lainnya yang bisa menari dengan gemulai. Kalau ia memang pantas bersanding dengan Satrio yang keturunan ningrat.
Jawi harus mengurangi kegiatan rutin yang bertahun-tahun ia geluti dan menyisihkan waktu untuk berlatih tari. Perjuangannya tidak mudah. Sejumlah teman merasa protes keras karena kehilangan, dan ia harus rela kakinya keseleo sampai seminggu baru bisa berjalan lancar. Gerakan dasar tari yang belum pernah dicobanya membuatnya benar-benar ekstra  berpeluh dan tabah. Jawi hampir putus asa setelah sebulan pertama latihan merasakan tidak ada kemajuan yang berarti. Gerakannya masih saja kaku, lucu dan sama sekali tidak enak dilihat. Kalau diminta memilih, ia pilih naik gunung Lawu untuk mengantikan latihan tari. Tetapi demi mengingat sikap Raden Ayu Moestiyah, semangatnya berkobar lagi. Kalau perempuan lain bisa menari dengan gemulai, aku pasti juga bisa, tekadnya terus memompa semangatnya sendiri.
**

            Tepuk tangan   memenuhi  pagelaran keraton, tempat  tari bedhaya ketawang disajikan.  Raja dan kerabat keraton Kasunanan tersenyum puas melihat kesembilan penari dengan gemulai  menyelesaikan seluruh rangkaian tari yang sakral.
            Jawi menghela nafas lega, duduk melepas lelah dan gugup yang tadi sempat singgah. Kedelapan temannya duduk sambil berbincang mengucap syukur semua telah dilancarkan. Tidak mudah bagi Jawi untuk terpilih menjadi salah satu penari yang menyajikan kemampuan tarinya dihadapan Raja dan kerabat lainnya. Semua penari diseleksi secara ketat, dipilih perempuan yang masih suci dan sebelum menari harus melakukan puasa. Semua ritual harus dijalankan dengan perasaan nrima dan patuh. Jawi bersyukur karena tanpa terduga menjadi pilihan keraton.
            “Selamat ya, kalian luar biasa. Sungguh luwes dan memukau,” sebuah suara membuat Jawi mendongak. Pandangan matanya terpaku  kepada sesosok wajah yang selama ini selalu terlintas di kepalanya.
            “Terimakasih, Raden Ayu,” jawab teman-teman Jawi serentak.
            Perempuan itu menyalami teman-teman Jawi satu persatu, saat tiba giliran Jawi ia menjadi tertegun dan menatap tidak percaya.
            “Kamu..kamu?”
            “Saya Jawi,  Raden Ayu,” jawab Jawi dengan bahasa  halus sambil tersenyum. Ditekannya rasa jengkel yang  tiba-tiba  muncul kembali.
            “Bagaimana mungkin kamu bisa…”
            “Jawi? Kamu..Wah benar-benar kejutan,” teriak Satrio yang berdiri di belakang ibunya. Sorot matanya menatap penuh kekaguman dan binar-binar cinta masih terlihat di sana. Jawi sangat mengenali sorot mata itu.
            Jawi hanya melempar senyum, mengangguk  tanpa menjawab sepatah katapun.
            Setelah memandang Jawi sejenak, Raden Ayu Moestiyah berlalu. Jawi sempat melihat mata itu menyimpan kekaguman.
            “Jawi, kamu cantik sekali. Dan ..ehm, benar-benar  luar biasa. Selamat ya,” tangan Satrio mengenggam erat saat berjabat tangan. Aliran hangat sempat merambati tangan Jawi membuat wajahnya merona.
            Jawi  dan penari lainnya  berlalu untuk berganti pakaian diiringi tatapan mata penuh kerinduan dari Satrio yang segera bergabung dengan kerabat keraton lainnya.
            Dari jauh Jawi bisa merasakan rasa itu kembali menyapanya. Tatapan mata Satrio menandakan rasa cintanya masih teramat besar. Meskipun dua tahun mereka tidak bersama, tetapi Jawi yakin hati  laki-laki itu telah tertambat dihatinya. Jawi mengulum senyum.  Ia yakin hari ini mata Raden Ayu Moestiyah terbuka. Jawi lega, bukan karena ia ingin masuk menjadi bagian keluarga Satrio, tetapi karena ia mampu membuktikan kalau perempuan tomboi seperti dirinya mampu menjadi penari pilihan keraton. Untuk hati Satrio, ia tidak berharap akan bersatu kembali. Tetapi kalau memang jodoh, kenapa tidak? Entahlah. ***


Tidak ada komentar: