Jumat, 26 Juni 2015

Aku dan Tuanku

Aku tersentak, bangun karena terkejut.
Anjing! Lagi enak-enak tidur mendengkur, dikejutkan suara
hingar bingar tak karuan.  Suara derung knalpot sepeda motor yang dilepas sarangannya meraung-raung dan suara bising truk memekakkkan telaingga seakan hendak memecahkan gendang telingga.
Suara bising itu ditimpali teriakan-teriakan kompak dan bersemangat terdengar gegap gempita meneriakkan yel-yel dan slogan-slogan. Semua gemuruh.

sumber  foto : https://www.google.co.id/search?q=gambar+kartun+perempuan&biw=1346&bih=627&tbm=isch&imgil=4
 
           Diiringi teriakan-teriakan yang tak kalah kerasnya dari orang-orang yang menonton keramaian itu di pinggir jalan. Di tengah teriknya panas itu seakan merasa tak pedulikan. Debu-debu beterbangan, kotor. Jalanan sesak dan akhirnya macet. Justru kemacetan itu memberi kesempatan mereka untuk berhenti dan kembali meneriakkan yel-yel yang riuh. Polisi menjadi kewalahan mengatur jalanan. Akhirnya, para pemakai jalan memilih mengalah dan memberikan kesempatan rombongan massal itu untuk lewat.
          Benar-benar bising! Dasar manusia! Dengusku kesal sambil menguap.
          Kuperhatikan keramaian itu dari pinggir jalan. Mataku membelalak lebar, tetapi kemudian menyipit karena silau melihat lautan warna merah di depan sana. Orang-orang di rombongan itu berkaos merah semua. Setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata di punggung kaos mereka ada gambar kepala banteng. Ikat kepala mereka juga merah. Riuh kulihat penampilan mereka. Berani, merah menyala. Menarik, gumamku.
          Aku menjadi tertarik untuk melihatnya dari dekat. Seketika kantukku menjadi lenyap tak berbebas. Ku coba berjalan mendekati dan menyeruak di antara kaki-kaki ribuan manusia yang berdiri berdesakan di pinggir jalan. Tapi sial, aku tidak bisa menguak kerumuan itu. Tetapi kucoba nekad untuk berdekan maju.
          “Enyah kau anjing kurap,” ada kaki angkuh menyepak tubuhku.
          Kaing ... kaing, teriakku kesakitan.            
          Ku tatap orang yang menyepak tubuhku tadi, tetapi ternyata orang itu juga sedang menatapku dengan mata menakutkan. Sorot matanya mengancam. Ku lihat kakinya sedang bersiap lagi untuk menyepakku lagi, agaknya.
          Bah, geramku marah. Tapi segera aku angkat kaki meninggalkan manusia angkuh itu. Bukannya takut, tapi karena aku memang tak mau membuat keributan. Saat ini aku tidak bernafsu memancing pertengkaran dengan manusia.
          Kuseret kakiku meninggalkan kerumunan lautan manusia itu. Kupikir, memang tak ada gunanya andai aku ikut kerumunan di situ karena paling-paling arakan massal itu tak dapat terlihat olehku. Dan barisan orang-orang itu tak bakalan memberiku tempat, tak sudi bersisihan denganku, dan tak rela bila aku ikut menonton keramaian itu. Buktinya, tadi sudah ada manusia yang memaki dan menyakiti tubuhku.
          Maka aku segera berlari menjauh. Di bawah semak-semak yang cukup teduh kurebahkan tubuhku yang mulai terasa kepanasan dan keringatan. Di mana-mana ku lihat suasana ramai. Dan jauh di sana lamat-lamat kudengar lagi suara teriakan yel-yel yang semakin membuatku tertarik. Aku memutar otak dan kubiarkan mataku berputar-putar mencari tempat strategis agar bisa ikut menyaksikan keramaian. Beruntung aku menemukan drum tempat-minyak tanah di depan toko babah Liong. Ide cemerlang tiba-tiba muncul di otakku membuat bibirku tersenyun. Setengah berlari aku menuju ke drum di depan toko. Ku lihat tidak ada orang yang memperhatikan aku karena begitu asyiknya melihat keramaian di sana. Tetapi lagi-lagi aku sial. Drum itu terlalu tinggi untuk kupanjat, Apalagi kulihat tidak ada sesuatu yang bisa aku gunakan untuk meloncat. Aku.menghela nafas putus asa. Akhirnya dengan langkah gontai aku berteduh di bawah sebatang pohon waru di dekat drum. Oh, mungkin memang sudah nasib, hanya mendengar keramaian itu tanpa ikut melihatnya.
          Lama kelamaan suara arak-arakan itu sudah semakin tak terdengar karena sudah semakin menjauh. Orang-orang mulai membubarkan diri. Aku bangun dan duduk menyaksikan mereka dengan sikap waspada untuk bersiap-siap menghindari orang-orang yang tak ramah padaku.
          Buk ! sebuah batu sebesar kepalan tangan menimpuk kepalaku.
          "Kaing!” aku tarlonjak kaget, melompat dan mataku mencari orang yang kurangajar itu. Kulihat serombongan pemuda tertawa-tawa melihat aku kesakitan. Benar-benar tak tahu adat!
          "Hayo..hayo..hush..hush.. minggat sana" hardik seorang pemuda berambut panjang sambil mengacungkan kepalan tangannya yang diiringi derai tawa teman-temanya.
          Aku mendengus. Ternyata tak ada tempat yang aman di jalan ini. Kuputuskan untuk pulang saja. Ku langkahkan kaki mennju rumah. Tentu lebih enak berbaring di bawah kursi ruang tamu atau berbaring di halaman depan meneruskan tidur yang tertunda tadi, pikirku.
          Tapi aku lupa, ternyata pintu rumah masih tertutup. Tuanku tentu belum pulang.
          Sambil menunggu tuanku pulang, aku berbaring di halaman.
          Tak lama kemudian, kulihat Poni pacarku datang menghampiriku, lalu ikut berbaring di sebelahku. Peluh bercucuran di keningnya, wajahnya memerah karena kepanasan, tetapi justru menambah kacantikannya.
          "Coki, kau tadi lihat nggak ada keramaian di jalan besar sana," kata Poni ,mata bagusnya menatapku.
          "Ya, aku tadi lihat. Orang-orang hingar bingar, berteriak-teriak ramai sekali. Entah ada atraksi apa." Jawabku.
          Poni tertawa, membuatku heran.
          "Itu.bukan atraksi, tapi kam-pa-ye ," Poni mengeja kalimat terakhir yang dia ucapkan secara perlahan-lahan.
          Kudongakkan telingaku mendengar kalimat asing itu.
          “Apa, kamanye ...?”
          “Kam-pa-ye, bukan kamanye”
          “Kau tahu dari mana kalau itu tadi kam-pa-ye?”
          “Ya aku tadi dengar orang-orang ramai mengatakan. Mereka bilang ini kampanye menjelang pemilu,” jelas Poni menyakinkan dan ku lihat dia bangga dengan apa yang dia ketahui.
          Aku hanya bisa mengangguk-angguk mendengarkan. Diam-diam aku merasa kagum pada Poni pacarku ini. Dia memang cerdas.
          Tuanku datang memakai kaos merah menyala seperti yang aku lihat di jalanan tadi. Kepalanya diikat kain merah pula. Wah, gagah sekali mas Faris siang ini. Aku bangkit dari tidurku, dan seperti biasanya kuhampiri mas Faris. Dia langsung menyambutnya. Kulihat wajah mas Faris berseri-seri, nampak senang.
          Melihatku, mas Faris hanya melirik sedikit, tak membelaiku sepeti biasanya, membuatku heran. Dia malah memandang Poni dan. tersenyum. Aku semakin mendongkol kesal. Tapi itu tidak lama, karena sesaat kemudian mas Faris jongkok mengusap-usap tengkukku.
          "Ha..ha..ha.. aku hanya mau menggodamu Coki. Sini-sini. Tahu nggak Coki aku tadi kampanye di jalan sana bersama kawan-kawan. Wah, sambutan masyarakat benar-benar luar biasa. Aku senang." kata mas Faris sambil membelaiku.
          Aku hanya mendengus-denguskan hidungku mendengarkan cerita mas Faris yang bersemanggat. Tangan mas Faris kujilati, pertanda aku mengerti dengan apa yang dia maksudkan.
          "Sudah sana, tuh Poni menunggumu, "Mas Faris masuk ke dalam.
          Aku tersenyum, kemudian kembali ke halaman dan berbaring di sebelah Poni lagi.
          "SSttt..Coki, mas Faris gagah yach siang ini," kata Poni.
          Aku cemberut mendengar pujian Poni. Cemburu rasanya karena pacarku memuji laki-laki lain di depanku.  
          "Tentunya dia tadi juga ikut kampanye. E iya tadi memang mas Faris kudengar ngomong begitu yach," tambah Poni.
          Aku jadi membayangkan mas Faris berada di tengah-tengah rombongan massal tadi.
          "Ramai sekali yach kalau mulai ada kampanye-kampanye. Kita akan sering saksikan lautan merah, lautan hijau dan lautan kuning, lautan biru dan banyak lagi…" kata Poni.
          Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya  tidak gatal. Angin siang berhembus sejuk nembawa kantuk. Tapi aku justru tak merasa mengantuk karena tertarik dengan penjelasan Poni.
          "Lho, memangnya akan ada  kampanye  lainnya?" aku mulai lancar mengucapkan ka1imat kampanye.
          "Aku dengar memang begitu."
          "Tapi Pon, tahun yang lalu kalau tidak salah sudah ada lautan kuning" kataku ketika teringat setahun yang lalu dimana-mana warna kuning menyolok mata, ada di mana-mana. Hanya kuning, tak ada yang merah ataupun hijau. tembok rumah kuning, pagar kuning.
          "Yach itulah karena kecurangan salah satu kelompok tertentu untuk memenangkan pemilu hingga membuat kecurangan dengan kampanye terselubung. Itulah politik. Itu sih kata mbak Sonia yang sering aku dengar dari diskusi-diskusi dengan kawan-kawannya," jawabnya sambil tersenyum.
          "Kamu kok pinter dan wasis gitu tho, Pon ?"
          "Mbak Sonia khan sering diskusi sama kawan-kawannya. Kadang dengan mas Faris lho kalau pas ke sana. Jadi aku sering mendengarkan dan jadinya tahu, “jawabnya bangga.
          Mas Faris memang sering ke rumah mbak Sonia, pacarnya yang cantik itu.
          “Coki, mosok mas Faris nggak diskusi kalau di rumah,” tanya Poni sambil menatapku.
          Aku diam tak menjawab. Sebenarnya mas Faris sering diskusi dengan kawan-kawannya. Saking seringnya sampai nggak kenal waktu. Nggak siang, nggak malam, mereka diskusi. Malah sering dari malam sampai pagi mereka tak tidur karena diskusi yang belum selesai. Tetapi selama ini aku selalu malas untuk ikut mendengarkan.
          "Coki, bagaimana pendapatmu tentang kampanye terselubung itu?”
          Aku malu karena tak bisa menjawabnya, karena tak tahu apa yang mesti aku jawab. Aku menyesal karena selama ini tidak pernah belajar dari mas Faris. Dan sekarang Poni pacarku ini mengajak diskusi tapi aku tak bisa nyambung dan tak bisa meresponnya.
          "Eh Coki...."
          "Sori Pon, aku tidak tahu banyak. Kalau menurut pendapat kau gimana?" tanyaku menutupi rasa malu.
          "Yach kalau menurut aku, tidak benar. Masak rakyat ditipu dan dimanfaatkan dengan kampanye terselubung itu. Itu provokasi yang nggak benar dan nggak pada tempatnya."
          Telingaku terasa ganjil mendengar istilah asing yang diucapkan Poni.
          "Provokasi itu mempengaruhi "lanjut Poni seperti tahu apa yang sedang aku pikirkan.
          Aku semakin kagum kepada Poni yang rasanya semakin hari semakin cerdas dan pengetahuannya semakin luas. Sementara perutku terasa kroncongan, aku ingat tadi pagi lupa menyentuh sarapan yang disediakan mas Faris. Kerongkonganku juga terasa kering karena haus.
          "Coki... Coki...."
          Dari dalam rumah ku dehgar suara khas milik mas Faris memanggilku. Ku lihat mas Faris sudah sudah berdiri di teras rumah dan matanya memandangku yang terbaring di bawah pohon. Melihat mas Faris, aku bangkit.
          "Poni, aku masuk dulu yach. Mas Faris memanggilku," kataku pamitan pada Poni.
          Poni bangkit dari tidurnya.
          " Ya, Coki, aku juga mau pamit pulang. Kasihan kalau mbak Sonia nanti mencariku."
          "Nanti ketemu lagi yach, Pon," pintaku.berharap.
          Poni menganggukan kepalanya dan berjalan pulang.
*-*

          Tiga hari menjelang pemilihan umum, mas Faris pulang ke Aceh.
Ia ingin menggunakan hak pilihnya di kota asalnya sana, sekalian bermaksud mengurus surat-surat ijin pernikahannya dengan mbak Sonia. Seminggu yang lalu bapak mengirimkan telegram agar mas Faris segera pulang untuk mengurus pernikahannya. Aku ikut merasa bahagia karena pada akhirnya mas Faris berhasil menundukkan hati kedua orangtua mbak Sonia untuk merestui rencana pernikahan mereka. Pada mulanya kedua orang tua mbak Sonia tidak mengijinkan karena menginginkan mbak Sonia menyelesaikan terlebih dahulu kuliahnya di program S2, dan menginginkan mas Faris wisuda dulu. Tetapi dengan perjuangan yang tak kenal lelah,  mereka berhasil menyakinkan hati orang tua mbak Sonia.
          Karena mas Faris nggak mungkin membawaku pulang,  aku dititipkan rumahnya mbak Sonia. Tentu saja aku sangat bahagia dan merasa beruntung karena aku akan selalu dekat dengan Poni. Tentu menyenangkan sekali kalau tiap hari bisa berkumpul dengan Poni yang cantik, dan akupun juga nyakin kalu Poni juga akan merasa senang.
          Mas Faris meninggalkan aku dengan pesan-pesan yang cukup banyak.
          "Coki, selama mas Faris nggak ada, kamu nggak boleh nakal. Jangan ngeluyur terus, Nggak boleh masuk rumah dengan tubuh kotor. Kamu harus bantu Poni jaga rumah, dan kalau dimandikan jangan nakal, nggak boleh bandel kalau mandi."
          Aku cemberut dan memaki dalam hati di katakan suka ngeluyur dan bandel kalau dimandikan. Mas Faris nggak mau menjaga perasaanku, masak dia ngomong seperti itu di depan Poni dan mbak Sonia, wah bisa ngurangin pointku di mata mereka tentu saja.
          Poni hanya meringis dan meleletkan lidahnya mengejek, membuatku malu.
          “Iya tuh, si Poni kadang rewel juga kalau dimandikan. Mungkin ntar kalau mandi bareng-bareng Poni nggak rewel lagi." kata mbak Sonia
          He..he..he kujulurkan lidahku, gantian mengejek Poni. Satu-satu, kataku, yang disambut Poni dengan tersipu malu.
          Mas Faris masih sibuk dengan pesan-pesannya padaku.
          Cerewet, gerutuku malas. Dasar manusia, banyak peraturan.
          "O ya Nia, setelah aku selesai mengurus persyaratan pernikahan kita aku akan segera kirim khabar ke Yogya," kata mas Faris.
          Syukur, batinku lega karena mas Faris sudah selesai memberiku 'wejangan‘.
          "Faris jadi di rumah satu minggu?" tanya mbak Sonia.
          "Ya minimal satu minggu. Tapi kalau belum selesai urusannya, yach mungkin bisa lebih lama di rumah.” jelas mas Faris sambil tangannya mengambil kedua tangan mbak Sonia, membawa ke pangkuannya dan mengusap-usapnya dengan penuh kasih sayang.
          Aku menjadi iri dengan kemesraan mereka. Ku lirik Poni yang duduk di bawah kaki mbak Sonia. Aku ingin tahu apa reaksi Poni melihat tuannya bermesraan, Tetapi agaknya aku harus kecewa, karena kulihat Poni cuek saja dan sama sekali tidak mau melihatku. Huh, pura-pura nggak lihat, gerutuku jengkel melihat Poni yang menurutku sok.
          "Nggak apa-apa kalau memang di rumah harus lama. Yang panting jangan lupa kirim khabar dan cepat kembali kalau sudah selesai. Masih bayak yang harus kita kerjakan di sini. Kita masih sibuk dengan kerja-kerja setelah pemilu berakhir, dan resources kita masih terbatas."
          Aku paham dengan pembicaraan mereka. Kudengar memang untuk pemantauan pemilu yang selama ini ada  kecurangan, mas Faris dan kawan-kawannya membentuk komisi independen untuk pemantauan pemilu yang disebut mbak Sonia tadi. Senang rasanya ikut menyaksikan kesibukan kerja-kerja manusia manusia itu.
-*-

          Seminggu setelah pemilu berakhir, mas Faris baru tiba di Yogya. Masih membawa tas ranselnya yang cukup besar, mas Faris ke rumah mbak Sonia. Mungkin dari terminal, dia langsung ke sini. Wajah mas Faris keruh dan murung. Tubuh jangkungnya loyo dan nampak lelah sekali. Langkahnya nggak bersemangat, tidak beperti biasanya. Entah ada persoalan apa, aku belum tahu.
          Mbak Sonia manatap heran kepada kekasihnya itu. Mata bagus yang sarat kerinduan itu menatap tak mengerti dengan sejuta tanya.
          Mas Faris menjatuhkan ranselnya lalu duduk dengan sikap pasrah kukira. Setelah menghela napas panjang, dia berkata lirih.
          "Nia, aku sudah urus semua persyaratan pernikahan kita. Tapi .... " mas Faris mengantung kata-katanya menbuat mbak Sonia penasaran.
          Aku dan Poni juga merasa penasaran dan diam-diam kami memasang telinga.
          "Benar-benar anjing mereka!" serapah mas Faris keras.
          Hah, mas Faris memaki. Aku yang tidak tahu apa-apa menjadi korbannya.
          "Asas LUBER JURDIL  yang dijadikan dasar pemilu ternyata hanya omong kosong belaka. Shit! 1uber..luber, pembual mereka! Tahu nggak kau Sonia, aku di persulit waktu mengurus surat-surat pernikahan dengan alasan karena aku tak memilih seperti apa yang mereka inginkan. Apa-apaan itu, mana kebebasanku, mana hak pilihku, apa bukti asas luber jurdil  di pakai? Anjing mereka semua !"
          Lagi-lagi aku menjadi korban kemarahannya.
          "Jadi, kau nggak berhasil?" tanya mbak Sonia sambil memandang Mas Faris dengan tatapan cemas.
          "Iya Nia, aku gagal .Maafkan aku.”
          Mereka terdiam, kamipun hanya bisa diam.
          "Faris, ..... kupikir ini masukan yang berarti bagi lembaga kita. Pengalamanmu bisa menjadi salah satu bukti kecurangan mereka."
          Mas Faris mengangguk mengiyakan.
          "Nggak apa-apa pernikahan kita tertunda," hibur mbak Sonia tabah.
          Aku terhenyak mendengar pengalaman mas Faris tadi.
Kenapa selalu saja ada ketidakberesan dan kecurangan pada manusia-manusia itu. Aku menjadi sangsi, apakah seperti itu yang di namakan manusia bermoral?! Manusia yang menghalalkan segala cara untuk kepentingannya, manusia yang suka menjegal, yang suka merugikan rakyat, yang merugikan orang lain?
Bah! pasti rakyat kecillah yang selalu manjadi korban. Ku pikir betapa susahnya menjadi rakyat kecil yang selalu di jadikan obyek bagi kepuasan dan kerakusan penindas, orang-orang yang berkuasa.
          Untung saja aku bukan mereka. Untung saja aku tidak suka menjadi penindas, aku tidak suka menjegal sesama, aku tidak suka merugikan sesama, aku tidak suka menghalalkan segala cara untuk kepentinganku sendiri.
          Pusing rasanya memikirkan manusia yang penuh nafsu angkara.
          Dasar manusia !!! *****

Tidak ada komentar: