"Yuk, ikut di mobilku,"
Aku mengelengkan kepala.
“Nggak usahlah. Kau bawa mobil, paling-paling nanti main
dulu."
Liani, temanku itu hanya tersenyum, lalu menghilang dengan
mobilnya entah kemana setelah melambaikan tangan.
Aku berjalan pelan-pelan menyusuri jalan Ahmad Yani yang
mulai gelap. Angin malam bertiup cukup kencang dan terasa dingin sekali.
Kurapatkan rompiku mengusir hawa dingin. Langit gelap. Sepertinya hujan
sebentar lagi akan turun. Maka ku percepat jalanku agar segera sampai di halte
bis.
Tetapi agaknya nasibku lagi tak baik, belum sampai di halte
bis hujan turun. Walaupun tidak begitu deras tetapi bila kuteruskan berjalan
sampai halte, tentu baju dan tubuhku basah semua.
sumber gb:www.google.co.id/search?q=gambar+kartun+perempuan&biw=1346&bih |
Aku berteduh di sembarang tempat yang ku temukam di depan
toko yang sudah tutup. Tempat terdekat yang kupilih. Tas aku taruh di belakang
punggung supaya tidak terkena percikan air hujan. Tidak kusayangkan bila
tubuhku terkena air hujan dan masuk angin, tetapi lebih sayang tustelku kalau
kehujanan, karena akan celaka, tak bisa
cari duit. Jadi biarlah tubuhku menjadi korban, kalau masuk angin obatnya hanya
tinggal di kerok dan di pijit saja.
Setelah mengatur pernafasan, ku biarkan mataku mengembara
kesana kemari.
Di sebelah kiriku ada penjual buah-buahan. Lalu di
sebelahnya ada perempuan penjual sate yang sedang duduk sambil memandangi baki
di depannya dengan termangu-mangu. Satenya masih banyak. Api lampu minyaknya
bergerak-gerak tertiup angin.
Sebelah kananku ada perempuan cantik, Dandanannya ... Waah, luar biasa. Make up tebal. Bau tubuhnya
harum. Dari bau parfumnya kelihatan kalau parfum yang dipakainya mahal. Tas
kulit merk Gucy KW di pundak kirinya. Warnanya serasi dengan roknya yang
berwarna merah apel. Perempuan itu memandangku.
Beberapa saat lamanya mataku bertatapan dengan matanya yang
bagus.
“Jam berapa mbak?" tanyanya ramah.
Aku kaget. karena perempuan cantik di sebelahku ini
suaranya tegas, dan dibuat agak genit.
"Jam sembilan seperempat,” jawabku ramah.
Kulihat di pergelangan tangannya melingkar jam, tetapi
kenapa masih tanya kepadaku. Entah kalau dia bertanya hanya untuk basa-basi saja, aku tidak tahu.
“Jamku mati kok mbak, sejak tadi siang ..... " tawanya
lebar, sepertinya dia tahu dengan apa yang ku pikirkan.
“Rumahnya mana mbak ?” tanyanya ramah. Ehm, aku tahu,
meskipun pakaian perempuan dan memakai make-up, tetapi agaknya dia...
“Palur," jawabku pendek.
“Kok sendirian saja ?”
“Biasa… pekerjaanku yach seperti ini, sering pergi
sendiri," jawabku sambil tersenyum.
“Ah, jangan nyindir lho mbak. Sama-sama perempuan jangan
menusuk perasaan orang lain," katanya tajam dan kulihat wajahnya cemberut.
Aku baru menyadari kalau jawabanku tadi telah menyinggung
perasaannya.
“Sori, aku nggak bermaksud menyindir kamu. Betul! Aku ini
khan wartawan, jadi pekerjaanku yach pergi sendirian seperti ini. Lha kalau aku
pergi sama suamiku.,. ya nggak jadi kerja nanti.”
“Oh,.gitu tho mbak. Wartawan mana?"
Ku buka tas, ku ambi1 dompet dan ku kasihkan selernber
kartu namaku.
Dia membaca sekilas
kartu nama yang kuberikan. Sebentar kemudian dia masukkan ke dalarn tasnya.
“Suaminya nggak cemburu kalau mbak pergi sendirian?”
Aku tertawa.
“Cemburu? Wah ya nggak jadi dapat uang. Yang penting
sama-sama percaya, jujur, nggak bakalan ada apa-apa. Kalau ingin rumah tangga
tentram ya nggak usah macam-macam..... "
Perempuan cantik itu memandangku dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Entah apa maksudnya, aku tidak tahu. Yang jelas aku menjadi risih. Andai saja yang memandangku itu seorang
laki-laki, hatiku pasti bergetar. Tapi malam ini yang di sebelahku seorang
perempuan, kaumku sendiri. Jadi pandangannya tak begitu aku perhatikan.
Lama dia memandangiku, ku biarkan saja. Tetapi lama
kelamaan membuatku semakin risih. Tidak nyaman dipandangi begitu rupa. Gantian aku
memandangnya, dan ketika mata kami saling menatap, bibirnya yang berlipstik
tebal itu membentuk senyuman lebar.
“Mbak .... Wid, ..... "
“Widya," sahutku cepat.
Dia tertawa.
‘Sori lupa. Enak yach mbak jadi wartawan bisa kemana-rnana
dan bisa nulis berita macam-macam,"
Ganti aku yang tertawa.
“Ya ada enaknya, tapi ada nggak enaknya juga lho. Berat kok
jadi wartawan itu. Harus gesit dan tak gampang menyerah,” jawabku menerangkan.
“Kayaknya tipe seperti mbak ini cocok kok jadi wartawan.
Orangnya gesit dan nggak pantang menyerah. Enak ya mbak, punya kehidupan yang
teratur dan menyenangkan. Nggak seperti saya ini yang hidup di dunia yang
gelap. Dunia hitam yang tersisihkan. Jarang orang mau menerima saya dan kaum
saya lho mbak."
Dia berhenti bicara. Matanya menerawang jauh menembus
kegelapan malam yang dipenuhi butiran-butiran air hujan. Terlihat wajahnya
tersaput mendung duka. Ada beban yang dia sembunyikan ku rasa.
Aku mulai mengerti apa profesi dia yang sesungguhnya.
“O..ya, sus , namamu siapa ?" tanyaku mencoba mengalihkan
pembicaraan.
“Tessy mbak, mudah diingat khan?" jawabnya genit,
mengingatkan aku kepada perempuan malam yang kerja di Pub Intan yang aku
wawancarai kemarin.
“Sus Tessy tinggal di mana?" tanyaku sewajar mungkin
untuk menghindari kesan bahwa aku sedang mendapat ‘mangsa' untuk tulisanku.
Entah mengapa aku menjadi begitu tertarik dengan perempuan satu ini, mungkin
karena naluri wartawanku yang bicara.
“Tessy mbak. Nggak usah pakai sus. Kost di belakang salon
Andi, mbak. Biasalah sambil kerja bantu-bantu di salon kalau siang hari. Habis
nggak ada pekerjaan lain yang bisa saya kerjakan.”
Tessy terdiam. Akupun tak berucap apa-apa. Sesaat suasana
menjadi hening. Hanya tetes-tetes air hujan yang menimbulkan irama ritme
beraturan terdengar.
“Mbak Widya, tolong bantu kami agar bisa diterima di
masyarakat. Semua ini khan bukan mutlak kesalahan kami, juga bukan salah bunda
mengandung. Pekerjaan yang halal susah sekali kami cari, banyak penganngguran.
Padahal kami masih tetap ingin hidup. Akhirnya nasib kami memang seperti ini,
walaupun sebenarnya tidak kami inginkan. Tapi mengapa masyarakat tidak mau
menerima kami?" katanya dengan nada tinggi.
Aku terdiam mendengar ceritanya. Timbul rasa iba dan
simpatiku kepada Tessy dan kaumku yang bekerja seperti dia. Ya memang selama
ini masyarakat masih sulit menerima Tessy dan teman-temannya. Mereka dianggap
menjijikkan dan sampah masyarakat. Padahal aku tahu persis bahwa sebenarnya
merekapun tak menghendaki hal itu. Muncul tekadku untuk membantu Tessy
semampuku sebagai seorang wartawan.
“Mbak bisa membantu kami untuk mengusulkan ke pak Walikota
tentang nasib kami khan?" katanya dengan binar-binar mata penuh harapan.
“Baiklah, aku akan coba bantu semampuku sus Tessy…ehm,
Tessy,"
Mata bagus itu mengerjap bahagia mendengar janjiku.
“ Tessy, aku pergi dulu yach," kataku minta diri
setelah melihat hujan yang turun mulai mereda, tinggal titik-titik air kecil
satu dua yang masih turun.”
Tessy menatapku dengan wajah kecewa, sepertinya enggan
berpisah dengan aku, kawan barunya yang mulai akrab.
Tanpa ku tunggu jawabannya, aku panggil becak yang
kebetulan melintas, dan tanpa menawar terlebih dahuiu aku langsung naik setelah
menyebutkan sebuah nama bengkel motor, yach aku harus mengambil motorku yang aku
masukkan bengkel tadi pagi.
“Sampai ketemu lagi mbak," seru Tessy sambil
melambaikan tangannya.
“Yuk," aku melambaikan tangan membalasnya.
**
Setelah motor kuambil, segera ku larikan dengan kecepatan
tinggi menyusuri jalan Slamet Riyadi yang malam itu agak sepi. Hujan sepertinya
membuat orang-orang enggan untuk keluar rumah. Mungkin saat-saat seperti ini
lebih enak di dalam rumah yang hangat.
Aku tersenyum kecut, membayangkan mas Is suamiku sedang
duduk menikmati siaran TV swasta sambil merokok. Kalau hujan-hujan seperti ini,
biasanya di rumah, aku dan mas Is akan bersama-sama menonton TV dan sesekali
ramai berdebat tentang acara yang kami tonton, tentu saja tak ketinggalan di
depan kami ada dua cangkir kopi panas dan sepiring pisang goreng yang masih
hangat. Membayangkan itu, segera ku tambah kecepatan lari motorku.
Tapi sial, memasuki jalan Kolonel Sutarto hujan turun lagi
cukup deras.
Terpaksa aku berteduh, kali ini di depan sebuah dealer
mobil di perempatan jalan. Beberapa orang nampak juga sedang berteduh. Motor ku
parkir dekat beberapa motor lainnya yang pemiliknya sedang berteduh juga.
Iniliah resikonya kalau lupa tidak membawa
jas hujan, sesal hatiku.
Ku kibaskan rambutku mengurangi ribuan butir-butir air
hujan yang tadi sempat membasahi rambut dan bajuku.
Brrrrttttt, tubuhku mengingil tersambar angin yang cukup
keras bertiup.
Beberapa saat kemudian tampak dua orang perempuan berlari-lari
kecil dan berteduh. Meraka berdiri di sebelah kananku. Dua-duanya masih muda.
Ku taksir umur mereka duapuluhan taun, mungkin masih
mahasiswa. Diam-diam ku perhatikan mereka.
Perempuan yang berambut sebahu, memakai rok pendek
bervvarna hijau terang jauh di atas lutut dan berkaos motif garis-garis horisontal
ketat memperlihatkan lekuk tubuhnya. Kulitnya hitam manis, tapi padat berisi
dan seksi. Di pundaknya tergantung tas kecil warna hitam, serasi dengan
sepatunya yang berhak tinggi. Ku lihat dandanannya cukup berani untuk ukuran
seorang mahasiswa.
Yang satunya lagi, berambut panjang dengan poni tipis di dahinya.
Lipstik warna orange yang menyala terpoles di bibirnya yang tipis, pas dengan
hidungnya yang mancung. Kulimya yaang putih terlihat serasi di balut gaun
pendek ketat warna ungu. Leher gaun yang rendah, memperlihatkan sedikit lekuk
payudaranya menambah seksi penampilannya yang cukup menyolok.
“Wah Len, kalau begini terus nggak bakalan dapat duit kita
malam ini," kata si baju hijau sambil menyisir rambutnya yang sedikit
basah.
“Iya, padahai aku udah janjian sama om Leo. Wah kayaknya
nggak ada order malam ini gara-gara hujan," jawab si gadis berponi
termangu-mangu, nampak wajahnya tak bisa menyembunyikan kekesalan hatinya.
Aku menjadi tertarik dengan percakapan mereka dan diam-diam
aku pasang telingga. Kulirik jam tanganku, sudah jam 23.40 menit.
“Yus ..... atau kita telpon dulu ke pub... ehm tapi
sepertinya nanti kita malahan di marahi yach. Atau kita panggil taxi saja. Ada taxi
nggak sih?”
Perempuan yang dipanggil Yus mengedarkan pandangan matanya,
kemudian mengangguk mengiyakan kata-kata temannya. Mereka terdiam.
“Kalau hujan begini, gimana dengan kerjanya dik?“ tanyaku
tiba-tiba memecah kesunyian.
Kedua perempuan muda itu reflek memandangku dengan sorot
mata curiga, tetapi beberapa saat kemudian kulihat wajah mereka tersirat
kelegaan setelah melihat senyumku yang ramah.
“Ya sepi mbak, nggak bisa ngobyek," jawab perempuan
yang dipanggil Leni.
“Apa nggak keganggu kuliahnya dik, kalau tiap malam kerja?”
Kedua perempuan itu tertawa, ku perhatikan si baju ungu
punya lesung pipit di kedua pipinya menambah pesona di wajahnya.
“Wah, kalau kita ini sudah terbiasa kerja malam mbak, jadi
nggak merasa terganggu. Yach daripada di kost saja, bosan. Lebih balk keluar
bisa senang-senang, dapat duit lagi. Lumayan bisa mencukupi kebutuhan
sehari-hari, khan nggak nyusahin orang tua lagi mbak," jawab si baju ungu
diplomatis.
Aku tersenyum. Tapi hatiku mengeluh dan menyesalkan sikap
kedua perempuan di sebelahku ini. Ternyata mereka menjual diri hanya untuk
kesenangan, iseng-iseng dan pengisi waktu luang saja. Tingginya pendidikan
mereka, justru menyesatkan pergaulan dan moral mereka. Berbeda dengan Tessy
yang terpaksa bekerja seperti itu karena demi tuntutan ekonomi. Rendahnya
tingkat pendidikan Tessy membuat dia tak mampu menghindar dari profesinya, dan
mau tak mau dia harus melakoni pekerjaan yang bertentangan dengan nuraninya
itu.
Memang sekarang ini banyak mahasiswa yang mempunyai ‘kerja
sambilan' untuk kesenangan belaka. Sungguh memprihatinkan, keluhku.
**
Dari arah timur meluncur pelan-pelan sebuah mobil Livina
warna merah darah .
Dengan gesit si baju hijau melambaikan tangan dengan
ibujari diacungkan di sela-sela jarinya.
Jorok, umpatku dalam hati. Tapi itu memang kode khusus
mereka untuk mencari ’mangsa'.
Perlahan-lahan mobil merah darah itu menepi dan dari balik
kaca mobil yang diturunkan, aku melihat seorang laki-laki setengah baya
berjidat licin dan berkepala setengah botak tersenyum atau tepatnya menyeringai
menurutku, memperlihatkan gigi-giginya yang kuning keooklatan karena timbunan
nikotin rokok.
Secara demonstratif kedua perempuan di sebelahku mengumbar
senyum manis mereka.
“Om, boleh ngikut dong, kita kemalaman di sini," pinta
Si gadis baju hijau genit sambil mengedipkan matanya.
“Kita lagi nganggur nich, om“' sambung si baju Ungu
mengerling manja.
Si om yang merasa beruntung malam ini, matanya
berbinar-binar bagaikan melihat kucing manis yang tersesat di jalan.
“Ayolah naik, biar nggak kedinginan," ajak si om
bersemangat sambil membukakan pintu mobilnya.
Tanpa banyak komentar mereka berjalan genit menghampiri
mobil dan masuk ke dalarnnya.
Sebelum mobil berjalan, kaca mobil dl jok belakang dibuka.
Seraut wajah milik si poni tersembul.
“Mari mbak, sampai ketemu lagi," katanya sambil
tertawa.
Aku hanya tersenyum membalasnya.
Lagi-lagi aku hanya bisa mengeluh dalam hati.
**
Hujan mulai berhenti. Bahkan kulihat rembulan mulai
menampakkan sinarnya. Beberapa orang yang tadi berteduh, segera bergegas
meninggalkan depan dealer ini, mungkin khawatir hujan yang reda akan turun
lagi.
Akupun segera bergegas mengambil motorku dan meninggalkan
tempat itu. Dinginnya angin malam basah yang bertiup tak kuhiraukan lagi. Yang
kuinginkan saat ini hanyalah satu yaitu segera sampai di rumah, mendiskusikan
pengalamanku malam ini dengan mas Is dan mulai menekan tuts-tuts laptopku untuk membuat tulisan tentang suatu dunia yang
sama tetapi mempunyai sisi yang berbeda. Tapi kurasa kali ini bukan naluri
wartawanku yang bicara, tetapi naluri perempuanku menuntutku untuk menguak
permasalahan pokok apa yang menciptakan kondisi seperti itu.
Ku percepat laju motorku.
Naluriku menuntutku untuk segera memenuhi janjiku pada
Tessy. Benar-benar sepenggal malam yang berarti bagiku****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar