Jumat, 26 Juni 2015

Pak Guru Oh Pak Guru

"Berangkat Pak Guru?" tanya tetangga sebelah saat melihat Pak Mulyo yang biasa di sapa pak guru. Sejak puluhan tahun yang lalu, Pak Guru mengajar di SDN, satu-satunya sekolah dasar milik pemerintah yang terletak di sudut dusun pinggir persawahan.
gambar : www.google.co.id/search?q=gamba+pak+guru+kartun&biw=1346&bih=627&tbm


"Iya. Mau berangkat ke sawah pak?" tanya Pak Guru balas menyapa.

"Hehe.."
 "Yuk, pak. Jangan lupa nanti malam ada pertemuan di rumah."

Pak Guru mengingatkan sambil mengayuh sepeda kumbangnya meniti jalan ditengah sawah yang menghubungkan dusun tempat tinggalnya dengan sekolah. Sesekali pandangan matanya ditebarkan ke rimbunnya batang padi yang mulai menguning. Hidungnya membaui bulir padi yang tak lama lagi siap di panen. Matanya berbinar riang melihat lautan kuning dengan rimbunnya mulai menunduk, sarat bulir padi gemuk.

Meskipun ia mendengar sudah sejak dua tahun lalu ada penghargaan lebih untuk pengabdian guru dengan mendapatkan sertifikasi, tetapi ia dan teman-temannya yang tinggal jauh di pelosok negri hanya menikmati kesenangan rekan guru lainnya yang tinggal di kota besar.

Entah, ia sama sekali tidak mengerti atau lebih tepatnya tidak mau mengerti kenapa ia dan rekannya belum juga mendapatkan hak sertifikasi itu. Soal jam mengajar, mereka yang mengajar di tempat terpencil jauh melebih jam mengajar yang disyaratkan pemerintah. Bagaimana tidak, satu sekolah rata-rata hanya mempunyai 2-3 guru, mau tidak mau harus bisa mengajar bergantian untuk enam kelas. Sejak puluhan tahun yang lalu sekolah tempatnya mengajar memang sulit mendapatkan guru yang betah mengajar lama. Guru datang silih berganti dari kota tetapi tidak ada yang bertahan lama. Terpaksa ia dan 2 guru lainnya yang berasal dari dusun terdekat berjibaku mengemban tugas negara. **


"Pak Mul, saya mau minta ijin beberapa hari tidak masuk," kata Pak Andi sambil memberesi meja kerjanya.

Pak Guru memandang rekannya dengan pandangan bertanya," Ada perlu apa Pak?"

"Saya ingin mengurus sertifikasi. Semua berkas sudah lama dikirim ke kota tetapi tidak ada kabarnya. Saya ingin mengurus sendiri."

"Nggak bisa ditunda, Pak?"

 "Sepertinya sudah terlalu lama. Saya mendengar tunjangan sertifikasi cukup besar untuk ukuran orang seperti kita. Kalau tidak diurus takutnya tidak cair. Uang itu bisa saya pergunakan untuk biaya sekoah anak-anak dan menambah keperluan lainnya," kata Pak Andi panjang lebar.

Pak Guru mengerutkan keningnya. Setahunya tunjangan itu untuk peningkatan kapasitas diri bukan untuk keperluan rumah tangga lain.

“Berapa hari, Pak?” tanya Bu Sri dengan pandangan khawatir. Mengajar tiga orang saja nyaris membuat mereka tidak bisa istrirahat. Bagaimana hanya dengan dua orang? Keluhnya.

“Ya paling tidak seminggu, Bu. Saya berencana mampir ke rumah saudara barang dua hari. Kalau urusan sertifikasi lancar, seminggu baru sampai dirumah.” Jelas pak Andi. Kali ini semua mejanya sudah rapi, buku paket bertumpuk disudut meja.

Pak Guru membuang pandangan ke luar jendela. Angin semilir membuat pohon-pohon dihalaman sekolah bergoyang. Halaman sekolah sudah sepi, anak-anak sudah pulang sejak beberapa waktu yang lalu. Hanya terlihat pak Bon sedang menutup semua jendela kelas.

 Tak ada gunanya menahan Pak Andi. Ia sangat maklum kalau rekannya bersikeras. Ia dan rekan-rekannya belum menerima kabar pemberkasan sertifikasi yang sudah ama mereka kumpulkan. Bukannya Pak Guru tidak mau mengurus, tetapi kalau harus meninggalkan sekolah, siapa yang akan mengajar anak-anak? Bukan pekerjaan mudah. Semua tenaga yang ada harus tota untuk anak-anak. Bahkan diusinya yang menginjak kepala tujuh, ia yang mestinya pensiun sejak imabelas tahun yang lalu masih harus mengemban tugas.

Pak Guru hanya hanya bisa menganggukkan kepala saat pak Andi pamit dan disusul Bu Sri. Pak Andi memang berhak untuk mendapatkan itu. Tidak ada alasan baginya untuk menghalangi. Kapan ia menyusul ke kota mengurus berkas-berkas itu? Batinnya kecut. Diusirnya jauh-jauh keinginan yang sempat tersirat dibenaknya. Anak-anak lebih membutuhkannya. Biarkan sertifikasi itu tertunda, entah sampai kapan. Ia tidak mau tahu. Benar-benar tidak mau tahu. Biarlah waktunya habis untuk mendidik anak-anak. Bayangan sertifikasi itu memudar. *****

Tidak ada komentar: