Sejak kecil mereka berempat sdah hidup sebatang kara karena kedua orangtuanya sudah meninggal.
Keempat bersaudara itu
melanjutkan hidup dengan serba pas-pasan karena orangtua mereka tidak meninggalkan harta benda yang
bisa dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ketiga anak laki-laki
bekerja sebagai buruh tani ditanah pertanian tetangga. Sementara Wulan, satu-satunya saudara
perempuan dirumah bertugas membersihkan rumah, mencuci, dan memasak. Sesekali Wulan ke pinggir hutan
untuk mencari kayu bakar dan sayuran
yang bisa dijual sekedar untuk menambah membeli beras dan lauk.
dok suci |
Syahdan, kemarau panjang melanda
desa mereka, tak ada air, semua tanaman kering kerontang. Sawah tak bisa
ditanami lagi, penduduk dilanda kelaparan. Banyak yang mulai meninggalkan desa
untuk mencari sumber makanan di tempat lain.
“Adik, kita tidak bisa seperti ini
terus. Tak mungkin bertahan di desa sini.
Aku akan merantau untuk mencari
pekerjaan,“
Jaya dilanda kesedihan mendalam.
“Kakak mau pergi ke mana? “ tanya
Tama.
“Belum tahu. Entah kemana kaki akan
melangkah, kakak hanya akan berusaha,” jawab Jaya. Sebenarnya dia juga binggung mau pergi ke mana.
“Sepertinya semua desa mengalami
paceklik seperti desa kita. Tak mungkin ke desa terdekat, harus pergi ke kota, Kak,” Karta ikut menimpali.
“Kalau ke kota, kita tak mungkin
bekerja di sawah. Artinya kita harus
bekerja selain menjadi petani,”
sahut Tama.
Jaya
mengangguk setuju dengan penjelasan
Tama. Tak mungkin di kota ada pekerjaan seperti
di desa mereka. “Kira-kira apa yang bisa kakak kerjakan
ya?”
“Engggggggg, Kak, bukankah kakak bisa
main alat musik? Kakak bertiga mahir
sekali meniup seruling, menabuh kendang. Bagaimana kalau kita mencari uang
dengan menghibur? “ Wulan dengan antusias mengingatkan ketiga kakaknya.
“Wahhhhhh, kamu hebat, Dik. Benar katamu, kita
semua punya kemampuan itu. Ditambah suara kamu yang merdu. Di kota pasti akan lebih mudah mencari uang dengan
menghibur penduduk daripada bekerja seperti di desa,” Jaya, Karya dan Tama
nampak senang dengan ide Wulan.
Akhirnya keempat bersaudara tersebut
sepakat untuk pergi bersama ke kota.
Meskipun dengan berat hati, rumah sederhana yang selama ini menyimpan banyak kenangan dan
memberikan tempat bernaung
mereka
tinggalkan.
**
Beberapa hari kemudian keempat
saudara tersebut sudah tiba di sebuah kota
yang ramai penduduknya. Orang –orang
biasa menyebut kota Jamama. Penduduknya lumayan padat dengan berbagai
macam pekerjaan. Dengan berbekal kendang dan suling
mereka berempat mulai bekerja. Dari rumah ke rumah dan dari jalan ke
jalan mereka rajin mengumpulkan uang rupiah demi rupiah. Tak kenal lelah hanya
untuk mengumpulkan uang dan berharap bisa kembali ke desa tanah kelahiran
mereka.
Sebulan dua bulan, dan tak terasa
sudah setahun mereka hidup mengembara dari kota ke kota. Hingga mereka sampai
di sebuah kota besar. Pada saat itu musim penghujan telah tiba. Hampir setiap
hari hujan turun dan banjir melanda di beberapa tempat. Jaya dan ketiga adiknya
harus lebih berhati-hati mencari tempat
tinggal untuk melepas penat. Jembatan dan emperan toko tak begitu aman
jika musim penghujan.
Suatu hari, hujan turun lebat
sekali, Jaya dan ketiga adiknya masih sibuk mengemasi barang-barang mereka yang tidak seberapa.
Mereka bermaksud mengungsi ke tempat lain karena kalau hujan turun dengan lebat kemungkinan
besar sungai akan banjir.
Saat itu tanpa disadari, tiba-tiba air
bah datang dengan gelombang tinggi.
Jaya, Karta dan Tama tak sempat menyelamatkan diri dan terbawa air. Kejadiannya begitu cepat, hanya
Wulan yang saat itu berada di atas jembatan yang tak terbawa air bah. Wulan hanya bisa menangis sejadi-jadinya
melihat ketiga kakaknya hanyut .
“Kakak.....Kak Jaya, Kak Karta, Kak
Tama................................” Dengan histeris dan dilanda kesedihan
yang dalam, Wulan mencari kakaknya. Ke sana kemari Wulan tak pernah lelah
mencari. Setiap saat Wulan meneriakkan nama ketiga kakaknya. Jaya, Karta, Tama
dengan berlinang air mata. Orang-orang yang bersimpati sudah berusaha membantu
mencarikan ketiganya
tetapi hasilnya nihil. Jasad ketiga
kakak beradik itu tak ditemukan.
Berbulan-bulan
tanpa mengenal lelah, Wulan selalu mencari
dengan memanggil nama kakaknya. Lama kelamaan orang-orang semakin
terbiasa dengan kata-kata yang diteriakkan Wulan yaitu, Jaya, Karta dan Tama.
Konon kabarnya, lama kelamaan bertahun-tahun kemudian kota tempat hanyutnya kakak Wulan di
sebut dengan Jayakartatama, singkatan
dari Jaya, Karta dan Tama. Dan sekarang biasa di sebut dengan kota Jakarta.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar