Kamis, 02 Juli 2015

Batas Kesabaran Seorang Istri

               Untuk kesekian kalinya Karjo menelan ludah dan membuang nafas dengan dengusan keras. Diseretnya kaki tanpa semangat sama sekali, seakan tulang belulangnya patah semua.


Badannya terasa sangat lelah dan ngilu semua. Sekujur tubuhnya pegal karena beberapa malam duduk dalam posisi yang tak nyaman. Dia hanya akan merubah posisi duduknya kalo ke belakang dan perutnya terasa lapar. Sejak malam tadi sampai subuh berlalu dan menjelang matahari bersinar dari timur dia baru bangkit dari duduknya. Matanya sayu, merah dan terlihat kuyu karena kurang tidur. Rambutnya acak-acakan tak tersisir. Bajunya kumal dan nampak kotor sekali.
          Dipalingkan pandangan mata kedepan dan sekali lagi dengan dengusan keras dibuanglah nafasnya dengan lemas.
          Rumah mungil yang telah dia kontrak selama dua tahun berdiri gagah dengan senyum mengejek menunggu kedatangananya. Bunga-bunga di pagar yang sebagian besar layu malah banyak yang telah kering dan mati bergoyang terkena angin seakan membuang muka melihat kedatangarmya. Sebentar lagi Karjo akan bertemu dengan Murni, istrinya dan Satrio, anak semata wayangnya. Karjo menahan sesak di dadanya yang semakin terasa menghimpit.
sumber gambar :https://www.google.co.id/search?q=gambar sebuah keluarga&biw=1350&bih=627&tbm

          Begitu sampai di rumah, Karjo segera merebahkan tubuhnya yang lunglai ke kursi panjang di ruang tamu. Terdengar suara istrinya sedang memandikan Satrio di belakang. Dipejamkannya matanya mencoba untuk tidur, tetapi pikirannya terasa tidak mau berhenti.
          “Lho mas, kok baru pulang ? Nggak dengar suaranya.” Kata Murni sambil tangannya sibuk mengeringkan tubuh mungil Satrio dengan handuk.
          “Ibu dua hari yang lalu ke sini, kangen sama Satrio. Menginap satu malam, terus kemarin pulang. Nunggu mas Karjo nggak pulang-pulang sich, nanya aku ya aku jawab nggak tau pasti.” 
          Karjo tak pedulikan cerita istrinya.

          “Kemarin bu Pardiyo juga kesini lagi mas, menanyakan apa kita jadi memperpanjang kontrakan atau tidak. Kalau nggak jadi,pasti sebulan lagi setelah kontrakan kita habis, kita harus segera angkat kaki dari sini.” Murni terus berbicara tanpa memperdulikan Karjo, tanganya sibuk memakaikan baju untuk Satrio.
          “Coba tho, seandainya mas Karjo nggak selalu pulang malam terus, pergi terus pasti bisa cari tambahan lain untuk memperpanjang kontrakan rumah ini, ”Cerocos Murni lagi.
          Karjo tidak memperdulikan kata-kata Mumi, rnatanya terus terpejam, tetapi telinganya mendengarkan ucapan-ucapan Murni. Kepalanya berdenyut-denyut tak karuan dan terasa semakin berat. Kebutuhan-kebutuhan hidup yang antri di kepalanya terasa mau meledakkan kepalanya. Darahnya naik perlahan, tapi dia coba untuk menahannya.
          Tiba-tiba terdengar rengekan Satrio meminta duit ibunya untuk jajan yang semakin membuat darahnya mendidih dan tak tertahankan.
          Dengan hentakan keras Karjo bangkit. Matanya melotot merah, giginya menyeringai ,tangannya terkepal.
          “Diam ! Duit lagi, duit lagi. Heh.. tuyul kecil, jangan teriak-teriak, apa kamu tidak tahu bapakmu mau tidur.”  Karjo mengumpat marah.
          Di bentak begitu Satrio menangis keras.
          Mendengar lengkingan tangis anaknya, Karjo tidak malah iba, tetapi justru marahnya semakin menjadi-jadi. Diambilnya asbak di meja dan dilempar ke arah pintu. Prang, asbak pecah berkeping-keping
          Satrio menjerit keras dan menghambur ke pelukan ibunya. Murni segera memeluk anaknya berusaha meredakan tangisannya. Murni tahu suarninya sangat berubah sikapnya, dan tak ada gunanya meladeni kemarahan Karjo dengan kemarahan karena Karjo pasti akan semakin kalap seperti biasanya. Dielus-elus punggung Satrio untuk meredakan tangisnya agar kemarahan Karjo tidak bertambah.
          Bocah berusia 3 tahun itu terisak-isak di pelukan ibunya. Hati polosnya bertanya-tanya mengenai perubahan sikap bapaknya akhir-akhir ini yang sangat keras dan kasar kepada dirinya maupun kepada ibunya. Di pelukan dan elusan ibunya yang penuh kelembutan, tangis Satrio mulai mereda. Setelah tangis Satrio mereda Murni segera membisikkan sesuatu ke telingga Satrio, dan tak lama kemudian bocah kecil itu melangkah keluar rumah dengan mata berbinar-binar. Murni menyuruh Satrio untuk bermain keluar, menghindari kemarahan bapaknya.
          “Mas Karjo, berapa kali aku katakan ,apapun yang terjadi dengan diri mas jangan sekali-sekali Satrio menjadi sasaran kemarahan terus. Kasihan dia mas…” Kata Murni sambil tanganya sibuk memunguti pecahan-pecahan asbak di depan pintu.
          “Perempuan lancang, kamu saja yang tak becus mengurus anak. Apa kerjaanmu seharian sementara suaminya bekerja keras membanting tulang mencari uang heh ? Dasar perempuan tak tahu diri,”  umpat Karjo.
          Murni ketakutan, tangannya gemetar.
          “Mas, kamu lelah. Sebaiknya mas Karjo istirahat saja di dalam, aku akan siapkan sarapan dan kopi untuk mas,” Murni berusaha tidak memperdulikan kemarahan suaminya.
          “Mur, mana uang dari ibumu kemarin, sini aku butuh.”
          Mumi tak pedulikan pertanyaan suaminya, dengan bersikap biasa dia melangkah ke belakang.“ Aku akan siapkan sarapan dulu mas,”
          Merasa tak diacuhkan istrinya Karjo menjadi murka, tiba-tiba tangannya terulur dan Murni tak sempat menghindarinya Plak, plak, plak.
          Untuk kesekian kalinya hati Murni terasa teriris-iris pedih. Pipinya terasa panas dan sakit tetapi hatinya lebih  sakit. Pagi ini sudah puluhan kali seperti pagi yang sama dirinya dihina oleh Karjo. Betapa sakit hatinya selama beberapa bulan ini, sampai mata Murni tak kuasa lagi menitikkan air mata. Airmatanya seakan telah kering karena terlalu banyaknya dia mengeluarkankannya, menyesali nasib yang menimpa pada dirinya, pada ke1uarganya.
          Penderitaan demi penderitaan yang menimpanya karena ulah suaminya sudah tak terhitung lagi.
          Karjo berdiri dari kursinya, dengan menyeret langkah dia keluar rumah dan meninggalkan rumahnya tanpa berkata sepatah katapun. Murni memandangnya kosong tanpa bertanya dan mencegah kepergian Karjo.
***


          Karjo meyeret kakinya ke jalan raya. Ketika ada angkuta yang melintas di depannya Karjo menyetop dan naik ke dalamya. Dihempaskan pantatnya, selintas timbul penyesalan di dalam hatinya telah memperlakukan istrinya sekasar itu.
          Dulu selama hampir dua tahun yang lalu dia menjalin kasih asmara dengan Murni yang menjadi kembang di kampusnya dengan penuh keceriaan. Setelah pacaran selama dua tahun mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan menjadi ikatan suci dalam perkawinan. Biduk rumah tangga Karjo bersama Murni istrinya penuh kebahagiaan. Dengan beristrikan Mumi yang cantik jelita lagi molek tubuhnya Karjo merasa sebagai laki-laki yang paling beruntung di dunia ini
          Karjo bekerja pada sebuah perusahaan yang cukup bonafid di kotanya, dan mempunyai jabatan yang cukup tinggi. Murni atas kehendak Karjo tidak bekerja dan mengurus rumah tangga saja. Dari segi ekonomi mereka kecukupan. Walaupun masih tinggal di rumah kontrakan mereka tetap berbahagia Karena Mumi menolak mempunyai rumah di perumahan, Karjo menyisihkan sebagian penghasilannya untuk mempersiapkan membeli rumah yang cukup layak di kota. Malah pelan tapi pasti Karjo mampu membeli sebuah mobil bekas yang masih lumayan baik.
          Kebahagian yang mereka rasakan bertambah ketika Mumi hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki. Terasa sempurnalah kebahagiaan Karjo. Dia tambah giat bekerja demi untuk membahagiakan istri dan anaknya.
          Tahun demi tahun berlalu, ketika karier Karjo dalam perusahaannya mulai menanjak, ketika perkawinan mereka menginjak tahun keempat, ketika Satrio berumur tiga tahun malapetaka mulai mengoncang rumah tangganya. Rupanya hati manusia kadang tidak kuat dan tidak kuasa menerima hal-hal yang di luar jangkaunya. Iman Karjo mulai tergoda untuk melakukan hal-hal yang sebelunmya tidak pernah dia lakukan. Pergaulan dengan mitra kerjanya yang beraneka ragam, mengodanya untuk mengikuti arus teman-temannya. Karjo mulai mengenal minuman keras, obat-obatan, sampai perjudian.
          Cukup lama Karjo bisa menutupi kelakuan buruknya dari Murni dan keluarganya. Cukup lama Karjo tenggelam pada dunianya. Rupanya hal itu berpengaruh pada pekerjaan Karjo yang berakibat banyak pekerjaan dan tanggung jawab tidak selesai. Berbulan-bulan hal itu terjadi sampai suatu ketika dia mendapat teguran keras dari perusahaarmya dan jabatannya di perusahaan diturunkan.
          Kejadian itu tidak membuat Karjo intropeksi diri dan menghentikan perbuatannya, justru kebiasaan buruk Karjo semakin menjadi. Karjo biasa tidak pulang berhari-hari. Kekalahan demi kekalahan di meja judi semakin membuat dirinya semakin ketagihan, penasaran dan tertantang untuk mengeluti perjudian itu. Sedikit demi sedikit uang tabungannya, hartanya tergadai dan terjual untuk memenuhi modal judinya.
          Hal itu sangat berpengaruh pada perilaku Karjo. Terhadap istri dan anaknya sikapnya mulai berubah. Kelembutan dan kasih sayang yang dulu selalu ada di dirinya hilang berganti rnenjadi sikap kasar, kejam dan Karjo juga mulai ringan tangan terhadap istrinya. Hampir setiap pulang kerumah dan bertemu dengan istri dan anaknya Karjo memperlakukan istrinya dengan kasar.
          Puluhan kali pipi putih dan mulus Murni yang dulu dia kagumi yang dulu sering dia ciumi dengan penuh nafsu, ternoda kena tamparan tangannya. Di mata Karjo istrinya yang cantik, putih dan sexy itu tak lagi menarik dan tak lagi menggairahkan kelelakian Karjo lagi. Yang ada di otak, dan mata Karjo istri dan anaknya adalah penghalang kesenangannya dan keinginan Karjo.
          Mendapat perlakuan suaminya, Mumi yang terbiasa sejak kecil dididik untuk selalu bersikap lembut, penurut dan pengalah tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa berdoa dan mengharap suaminya akan kembali seperti dulu lagi. Mumi tetap bersikap biasa dan membesarkan Satrio anaknya dengan tanggungjawab seorang ibu. Kepasrahan dan ketulusan dengan menerima semua perlakuan suaminya justru menambah Karjo semakin jauh darinya.
          “ Mas, turun mana ?”
          Tiba-tiba terdengar suara kernet mernbuyarkan lamunan panjang Karjo.
          Karjo tergagap, dia menghela napas panjang, di rogohmya saku celana dan diambilnya selembar uang seribuan kemudian diberikan kepada kernet yang tangannya terulur menunggu ongkos dari Karjo.
          “Turun terminal sana mas.” Jawab Karjo asal-asalan.
          Karjo kembali termangu-mangu, dia binggung mau kemana. Ketempat teman-temannya jelas tidak mungkin. Hutangnya sudah menumpuk dan tak mungkin lagi teman-temannya akan memberi pinjaman uang lagi. Pikirannya berputar-putar mencari akal untuk tetap bisa memenuhi keinginannya bersenang-senang. Tiba-tiba Karjo teringat kalau di runah masih ada perhiasan istrinya yang dulu untuk seserahan yang dia berikan waktu meminang Mumi.
          “Stop pak, saya turun di sini,” kata Karjo cepat ke sopir. Tanpa memperdulikan umpatan sopir yang kaget dengan permintaan Karjo yang mendadak dan gerutuan-gerutuan penumpang yang kaget karena sopir mengerem mendadak angkutannya, Karjo melompat turun dan segera menyeberang jalan dan menghentikan angkuta yang lewat untuk pulang.
***

          Memasuki rumahnya, Karjo merasakan kesepian menghayuti seisi rumahnya. Murni dan Satrio anaknya tak nampak entah di mana. Karjo malah merasa beruntung kalau istrinya tidak di rumah.
          Dipandanginya seluruh mangan tamu, matanya terpaku pada sofa tempat dia dulu setiap sore selalu bercengkrama dengan anak dan istrinya menanti adzan magrib memanggil lalu melakukan sholat berjamaah.
          Sebelum pikirannya hanyut pada kenangan indah masa lalu, cepat-cepat Karjo meninggalkan kamar tamu dan menuju ke kamar tidur.
          Karjo menghampiri lemari pakaian yang terletak di pojok kamar, dibukanya dan tangannya mencari-cari kotak perhiasan diantara tumpukan pakaian Pojok demi pojok lemari di telusuri dengan teliti mencari barang yang dia cari, tetapi tetap tidak ada.
          Ketika Karjo bermaksud menyalakan lampu kamar, tiba-tiba lampu kamar menyala dan entah dari mana asalnya Murni telah berdiri di dekat pintu, tangan kirinya mengacungkan kotak kecil yang dari tadi di cari Karjo, sedang tangan kanannya di belakang tubuhnya.
          “Kamu mencari ini ?! “ tanya Murni dingin dan tanpa ekspresi.
          Karjo melihat keganjilan di wajah istrinya. Wajah istrinya yang berdiri di depannya ini sama sekali tidak dia kenal. Wajah lembut, sabar, penuh kasih sayang yang selama ini terpanjar dan menghiasi wajah cantiknya berubah menjadi tatapan kaku, dingin, keras, dengan kilatan mata tajam menusuk. Karjo tercekat melihat keganjilan wajah istrinya. Hatinya berdesir, tanpa bisa dia tahan, muncul perasaan ngeri dan takut di hatinya. Untuk sesaat Karjo terdiam tak mampu bicara sepatah katapun.
          “Kamu mencari ini ? “ terdengar kembali suara Mumi tajam mengiris ulu hati Karjo.
          “Dasar perempuan tak tahu diri. Bawa sini kotak itu,” perintah Karjo marah.
          Ajaib, wajah Murni yang biasanya ketakutan melihat kemarahan Karjo, kali ini tak menunjukkan ekspresi apa-apa, tetap dingin. Murni diam dan tak bergeming dari tempatnya berdiri.
          Karjo tambah marah, tangannya terangkat bermaksud menampar pipi istrinya. Tetapi tanpa dia duga, terlihat kilatan sinar berkelebat dan Karjo tak sempat menghindar ketika perutnya terasa mau pecah. Karjo ambruk ke lantai dengan genangan darah disekitarnya. Sesaat sebelun ajal menjemputnya, Karjo masih sempat melihat Murni istrinya menitikkan air mata yang telah sekian lama tidak dia lihat.*****



2 komentar:

Unknown mengatakan...

Endingnya... ga bisa ngomong apa-apa..bagus banget Mbak . Bacanya bikin emosi naik turun...Kasih jempol aja ya, soalnya kalo kasih nastar kan puasa, dan lebaran masih lama hihihi...
Teruskan berkarya ya Mbak Suci

suci suci mengatakan...

TErimakasih mbak Liez. Senang dikomentari sekaliber mbak. Salam