Kamis, 02 Juli 2015

Kembang di Kaki Gunung Kemukus

              Sawitri menghirup kopi kentalnya untuk terakhir kali. Uap panas yang mengepul dari gelas tak dihiraukan lagi. Panasnya kopi tak sepadan dengan panasnya kehidupan yang dia jalani.


Sawitri hanya ingin melupakan semua masalahnya, semua gundah gulana, semua kepedihan dan beban hidup yang selama bertahun-tahun mengelayuti pikirannya. Dengan setengah malas, Sawitri memesan segelas kopi lagi, tak dihiraukan muka masam mbok Sri, pemilik warung kopi langganannya. Sawitri maklum dengan muka tak ramah mbok Sri, sudah beberapa puluh ribu dagangannya dihutang. Dengan modal yang tak terlalu besar, seribu rupiahpun sangat berharga bagi mbok Sri.
            “Ini sudah gelas ketiga Wit, kamu terlalu banyak minum kopi malam ini,” tegur mbok Sri marah, tetapi tetap saja tak tega menolak permintaan  Sawitri.  Perempuan tua itu menatap  Sawitri  pelanggan setianya dengan berbagai pertanyaan dan keprihatinan. 
Sumber gambar:https://www.google.co.id/search?q=gambar%20sebuah%20keluarga&biw=1350&bih=627&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ei=SVOVVeODJM2KuAT405roBA&ved=0CBsQsAQ#tbm=isch&q=gambar+perempuan+dan+laki-laki+kartun&imgrc=d9xbMYyXoFcBLM%3A

Sudah lebih dari seminggu Sawitri belum ada pelanggan, dia hanya menghabiskan waktu semalaman di warungnya.  Otomatis Sawitri tak lagi mempunyai uang, bahkan hanya untuk sekedar membayar kopi-pun tak ada. Sejak seminggu yang lalu, makan dan minum terpaksa harus bon. Teman-teman sawitri sudah tak sabar lagi hanya dengan menunggu, sudah beberapa hari yang lalu mereka meninggalkan kaki bukit dan menuju kota. Menyongsong kepastian yang akan memperpanjang nafas hidup mereka. Tetapi Sawitri tetap saja tak bergeming, menunggu dengan penuh pengharapan di sini.
            “Iya mbok. Saya harus menahan kantuk, menunggu tamu datang,” Sawitri mengeser duduknya, sudah berjam-jam pantatnya lengket di kursi keras yang terbuat dari papan bekas bangunan, kini  terasa panas dan pegal.
 Diliriknya jam tangan yang melingkar di tangan kanannya, jam pemberian dari salah seorang pelanggannya ketika beberapa  kali Sawitri melebih waktu yang telah disepakati bersama. Kamu pakai jam ini agar tak molor ketemu denganku, kata pelanggannya waktu itu. Meskipun dengan memakai jam itupun sawitri tak bisa selalu menepati janji. Bukan karena tidak suka tepat waktu, tetapi karena banyak yang membutuhkan jasanya dan tak bisa selalu di pangkas dengan cepat. Jarum jam menunjukkan angka 11 lebih 20 menit. 
Belum terlalu  malam, masih ada harapan tamu datang, batin Sawitri penuh harapan. Lebih dari sepekan tak ada seorangpun tamu yang datang. Padahal biasanya paling tidak sehari sekali ada tamu yang datang dan membutuhkan jasanya. Jasa yang ditawarkan Sawitri merupakan  sumber penghasilan satu-satunya dari tamu yang datang, tetapi kalau tamu tak ada, Sawitri hanya bisa bersabar dan menahan malu karena  terpaksa berhutang di warung mbok Sri. Untung masih ada pemilik warung yang baik hati dan mau mengerti keadaannya, meskipun pasti dengan terpaksa.
            Gumun aku, seminggu kok ra ono tamu,[1]” gerutu mbok Sri  jengkel. Sama seperti Sawitri, mbok Sri juga mengandalkan pendapatan sehari-hari dari dagangannya. Nasi dan lauk pauk, teh, kopi, panganan ringan, juga  dua bilik kamar ukuran 2x1 meter  yang terbuat dari  dinding bambu sederhana sebagai sekedar penghilang rasa malu bagi tamu yang membutuhkan pelayanan sejenak dari  kupu-kupu malam.
Selain Sawitri, ada Tutik, Endang juga Siti yang biasa mengajak tamu mangkal di warungnya dan sesekali mengunakan bilik kecilnya yang disewa dengan harga murah sekali, hanya Rp 20.000 sekali pakai. Seringkali Sawitri dan teman-temannya melayani tamu di balik bukit di rimbunnya reremputan  sekitar Sendang Ontrowulan dengan hanya beralas tikar tipis. Tamu lebih puas jika mendapatkan pelayanan di tempat ritual yang memang sering dipergunakan untuk mengharapkan terkabulnya  sebuah hajat. Mereka lebih menyakini hajatnya akan cepat tercapai dengan melakukan ritula di sekitar Sendang Ontrowulan di kaki bukit Gunung Kemukus.
            “Iyo mbok, awakku pegel kabeh suwe ra ono tamu,[2]” jawab Sawitri. Bekerja keras  membuat Swaitri lebih segar dan tidak cepat merasa lelah, justru kalau sedang menganggur seperti ini badannya terasa capek semua. Matanya  sesekali melihat jam tangan, seakan menghitung waktu  dan khawatir kalau waktu merambat cepat ke dini hari tanpa ada orang yang akan memberikan rejeki. Apakah malam ini harus berlalu  begitu saja seperti kemarin tanpa ada sedikitpun rejeki? batin Sawitri mangsul.
            Mbok Sri duduk termangu, pikirannya menerawang jauh entah kemana, “Aku nggak tahu masih bisa bertahan sampai kapan, Wit. Uang untuk belanja sudah mulai menipis, simpanan juga sudah mulai diambil dikit-dikit.”
            Sawitri paham dengan arah pembicaraan mbok Sri, cara menegur mbok Sri masih dengan cara halus, tetapi minggu depan mbok Sri akan berkata terus terang tentang keberatan memberi hutangan lagi pada Sawitri.
Ngapunten[3] ya Mbok. Wit juga sudah nggak ada simpanan lagi. Begitu ada tamu, Wit pasti akan membayar hutang. Hanya mbok Sri yang bisa saya mintai tolong. “ Lirih suara Sawitri seakan berbicara dengan diri sendiri dan tak ingin di jawab oleh mbok Sri.
Tidak hanya sekali Sawitri menjawab dengan rasa malu, tetapi tak ada pilihan lain. Sawitri maklum kalau mbok Sri cukup khawatir karena seminggu ini warungnya ikut sepi karena tak ada tamu yang datang. Tetapi Sawitri juga tahu kalau mbok Sri belum sampai hati untuk bersikap keras kepadanya. Bukan hanya sekali ini Sawitri tak kedatangan tamu, beberapa waktu yang lalu kejadian ini juga pernah dialami.
Bahkan sampai 2 pekan, Sawitri pernah tak kedatangan tamu, sampai hutangnya menumpuk tigaratus ribu. Tetapi setelah ada tamu dan Sawitri tak lelah bekerja, semua hutang dilunasi, bahkan mbok Sri mendapatkan tambahan  satu stel pakaian sebagai bonus karena kebaikannya.
            Suara jangkrik bersenandung di timpali kelepak kelelawar dipohon kelapa yang biasanya mampu mengurangi sepinya malam, kali ini tak terdengar. Malam pekat tak nampak bintang satupun, seakan ikut enggan memberikan penerangan di malam ini. Alam tak cukup bersahabat, menolak memberikan sentuhan lembutnya yang biasa menemani kesepian Sawitri dan mbok Sri.
“Kenapa kamu nggak mengikuti jejak Endang, Titik meninggalkan bukit Wit? Rasanya baru bulan depan bukit ini ramai kembali,” suara mbok Sri mengangetkan lamunan Sawitri. Pandangan matanya sayu menyapu perempuan tua yang selalu sabar menghadapi tamu-tamu yang datang.
Sawitri hanya mengelengkan kepala, tak ada jawaban dari mulutnya. Sawitri memang tidak pernah meninggalkan bukit ini sejak datang 2 tahun yang lalu. Dia hanya turun ke kota sekali dalam sebulan untuk  mengirimkan uang kepada anaknya. Kebutuhan lainnya seperti make-up, pakaian, makanan bisa didapatkan dari beberapa penjual yang sering datang langsung ke bukit. Dan Sawitri tak merasa harus turun gunung untuk mendapatkan semua itu.
Sebenarnya Sawitri ingin sesekali ke kota, tak tahan juga bertahun-tahun hidup di kaki bukit. Tetapi ada rasa malu, sungkan, rendah diri dan tak siap jika di kota akan bertemu dengan orang-orang yang dia kenal. Sawitri tetaplah perempuan normal lainnya yang tak nyaman bekerja  melayani tamu dengan tubuhnya. Sedapat mungkin dia akan menjauh dari orang-orang yang mungkin mengenalnya. Dia ingin menyembunyikan dirinnya sejauh mungkin dan bahkan kalau bisa menghilangkan dirinya dari kehidupan keluarga dan teman-temannya.
            “Wit....?”
            “Nggak mbok, saya menunggu di sini saja sampai bulan depan. Mudah-mudahan mbok masih berbaik hati menerima saya,”
            Mbok Sri pada  dasarnya juga tak gampang melupakan kebaikan Sawitri, perempuan paling cantik yang setia membawa tamunya ke warung. Sawitri memang murah hati dan tidak pelit. Kalau banyak melayani tamu, tak segan-segan memberikan tambahan uang untuk modal belanja. Inilah yang di sukai mbok Sri dari kebaikan hati perempuan yang paling cantik tetapi juga paling pendiam.
 Selain itu,  keberadaan Sawitri  sejak dua tahun lalu membawa keberuntungan tersendiri bagi warungnya. Sebagai pendatang baru yang memiliki kecantikan wajah, kemolekan tubuh dan keramahan sikap, Sawitri menjadi bunga di wilayah Gunung Kemukus. Banyak tamu yang penasaran dan ingin berkencan dengan perempuan yang berasal dari salah satu kabupaten tepatnya di sebelah selatan Gunung Kemukus.  
Biasanya sebelum berkencan atau sesudah berkencan Sawitri akan membawa tamunya untuk minum-minum di warungnya.  Rupiah demi rupiah terkumpul menambah pundi simpanan mbok Sri karena kemurahan hati Sawitri. Tak bisa dipungkiri hal itu yang mendorong mbok Sri tak bisa menolak permintaan kasbon jika Sawitri dalam keadaan sepi tamu.     
Sebenarnya tak hanya warung mbok Sri saja yang sepi, saat ini semua warung di deretan bawah bukit Gunung Kemukus memang sepi dan hampir tak ada pelanggan datang. Kabar yang di bawa Warno, tukang ojek yang biasa mengantar tamu, sudah seminggu yang lalu ada razia dari pemerintah kabupaten yang gerah mendengar banyak kabar tentang porstitusi di wilayahnya. Kabar razia itu membuat para tamu tak berani datang, kalaupun ada yang datang hanya tamu yang berpasangan dengan istri resminya saja dan dengan niatan berziarah.   Sementara  pasangan suami istri jarang sekali yang mau mampir ke warung remang-remang  yang berderet di pinggiran bukit. Mereka biasanya lewat jalan resmi, naik ke Gunung Kemukus, berziarah lalu pulang setelah melakukan ritual-ritual yang dinyakini akan memperlancar hajat mereka.

            Sawitri mendesah untuk sekian kalinya. Dilihatnya mbok Sri sudah duduk terkantuk-kantuk  tak bisa menghindari lelah di wajahnya. Dalam keadaan sepi tanpa pembeli, mata memang  tak bisa diajak terjaga meski belum ada jam 12 malam. Tetapi kalau  ramai pembeli sampai dini haripun tak  ada rasa kantuk menyerang. Mbok Sri  telah menyerah pada kantuk yang datang.
Sawitri  maklum, pandangan matanya mengembara jauh tak terhingga menatap kegelapan bukit diatas sana yang sepi mencekam. Menatap kegagahan dan keangkuhan  Gunung Kemukus yang tinggi menjulang. Gunung Kemukus  menjadi termashur karena kepercayaan dari banyak orang yang tersebar dari mulut ke mulut. Di tempat inilah dimakamkan  Pangeran Samudra, konon seorang pangeran yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Ratusan tahun kemudian makam ini  dianggap bertuah oleh ribuan peziarah yang datang dari berbagai daerah. Ada tiga makam yaitu makam pangeran Samudra, ibunya dan abdi setia pangeran Samudra. Kepercayaan yang berkembang turun temurun, jika  seseorang menginginkan kesuksesan, hajatan terpenuhi maka dia wajib ziarah ke makam Pangeran Samudra untuk  melakukan ritual tertentu salah satunya melakukan hubungan badan. Entah apa yang terjadi , lama kelamaan justru praktek porstitusi yang berkembang di sekitar gunung Kemukus. Dan Sawitri menjadi salah satu dari puluhan wanita yang bekerja memanfaatkan mitos yang berkembang dari waktu ke waktu.
            Dalam keadaan sepi tamu, beberapa temannya telah turun ke kota untuk mencari tamu di lain tempat karena tak tahan lagi dengan sepinya bukit. Yang jelas mereka tak bisa melanjutkan hidup dengan hanya mengandalkan hutang dari warung-warung  milik mbok Sri dan teman-temannya. Hanya Sawitri saja yang bertahan hingga saat ini, tetap berharap ada tamu yang akan membantu memperpanjang nafas kehidupannya.
Sebulan lagi, bulan Suro, bulan harapan Sawitri dan teman-temannya untuk mendapatkan rejeki berlimpah. Pasti  Endang dan perempuan pekerja musiman lainnya yang hanya beroperasi di gunung Kemukus  saat bulan Suro akan berbondong-bondong datang. 
            Ingatan  Sawitri tak bisa terbendung lagi  mengembara ke masa dua tahun silam. Saat itu Sawitri mengalami  permasalahan keluarga yang pelik dan membuat hatinya sedih tak terkira.  Suami yang dicintainya telah berkhianat dan pergi meninggalkan  dia dan anak semata wayangnya. Tardi  lebih memilih  mengikuti perempuan selingkuhannya daripada mempertahankan rumah tangga yang sudah di bina selama 5 tahun.
Putus asa tak mempunyai bekal pendidikan yang cukup untuk mencari pekerjaan yang layak, Sawitri  pergi ke kota untuk mengadu nasib. Anaknya yang baru berumur 2 tahun terpaksa dititipkan  kepada orangtuanya.  Minimnya pengalaman  yang dimiliki hanya memberikan kesempatan Sawitri untuk bekerja menjadi pembantu rumah tangga. Tetapi tak sampai setahun, Sawitri harus berpindah  lebih dari 3 majikan karena  majikan perempuan cemburu dan menilai sikapnya  kegenitan. Kecantikan  Sawitri membuat banyak perempuan menaruh iri hati , sehingga membuat Sawitri tak nyaman. Ajakan salah seorang kenalan untuk bekerja di sebuah restoran juga tak berlangsung lama, karena Sawitri membuat pelayan perempuan lainnya  kehilangan pelanggan yang memberikan tips.  Tak ingin bermusuhan dengan banyak orang, terpaksa Sawitri mengikuti  langkah salah seorang kenalan untuk bekerja di  lereng Gunung Kemukus yang terletak di kabupatan Sragen,  lebih dari 200 km dari desa tempat tinggalnya.
 Awalnya Sawitri tak berniat menjajakan diri, tetapi hanya bekerja menjadi pembantu di warung yang berderetan di kaki bukit. Tetapi lama kelamaan Sawitri tak bisa mengelak ikut terjerumus menjajakan diri. Banyak tamu yang tertarik dan tak bisa kelain hati ketika melihat kecantikan dan kesintalan tubuh Sawitri. Tak butuh waktu lama untuk menjadi kembang[4]  Gunung Kemukus, Sawitri berhasil  menundukan banyak pria. Pundi-pundi uang Sawitri mengalir dan mengunung  seiring dengan  kepopuleran namanya.
 Laki-laki yang datang dengan niat  melakukan ritual untuk  memperoleh hajat tertentu tak sungkan mengeluarkan uang lebih hanya untuk berebut mendapatkan  pelayanan Sawitri. Terlebih tamu yang datang di malam 1 Suro saat purnama menjelang, untuk mendapatkan pelayanannya. Tetapi mereka harus kecewa dan menunggu 7 purnama lagi untuk mendapatkan Sawitri karena biasanya perempuan cantik itu  setia dengan tamu yang memakai jasanya saat datang pertama kali.
 Mitos yang berkembang dan dipercaya  para tamu yang mempunyai hajat tertentu, jika ingin hajatnya terkabul selama  7 purnama berturut turut harus melakukan hubungan suami istri dengan perempuan yang sama.
Banyak tamu yang memesan Sawitri  dan rela dilayani meski  hanya sejenak saja setelah Sawitri melayani tamu yang lain. Tetapi seringkali mereka gigit jari karena tamu yang pertama datang berani membayar tarif tinggi agar Sawitri  hanya melayani   satu orang saja.
            Sawitri  tersenyum getir mengingat masa  lalu saat dia datang dan resmi menjadi penjaja cinta, pekerjaan yang bertentangan dengan hati nuraninya tetapi belum dapat dia tinggalkan. Saat jam di tangannya menunjukan angka 1,  Sawitri sudah memupus harapannya. Sudah menjelang dini hari, kali ini tak  ada  semangat lagi untuk meneruskan  menunggu  tamu yang datang.  Waktu telah memaksa Sawitri memangkas harapan yang sempat dia semai. Besok harapan itu akan dia taburkan lagi.
 Jalanan sepi dan gelap seperti hari-hari yang lalu dilalui Sawitri dengan langkah gontai, kehilangan  daya.
Sambil menguap, langkah kakinya menyusuri  pekatnya malam. Angin dingin menerpa seakan ikut menemani kakinya melangkah pulang ke tempat kost di kaki bukit. 
Namun kaki Sawitri mendadak berhenti ketika di persimpangan jalan matanya yang terlatih dalam gelap melihat langkah kaki seseorang.  Binar  mata yang sempat redup kembali dalam sekejap menandakan harapan mengalahkan keheranannya melihat laki-laki  melangkah  menuju bukit di malam menjelang dini hari. Seketika kantuk yang sempat menyapa hilang. Sambil berdiri menunggu tamu yang di nanti tiba dengan cekatan Sawitri merapikan bajunya, blouse  warna merah mencolok dengan belahan dada rendah dan rok warna senada  di atas lutut. Tanganya mengambil  minyak parfum murahan dari dalam tas kecil, mengoleskan ke bagian-bagian tertentu tubuhnya. Bibirnya disapu lipstik merah, rambutnya tersisir rapi.
            Sawitri tersenyum  mengoda setelah batuk-batuk kecilnya mampu menarik perhatian laki-laki yang datang. Dengan senyum manisnya, tangannya menyentuh lembut tangan kekar yang baru dikenalnya. Rupanya laki-laki itu mengerti isyarat yang diberikan Sawitri, dan mengikuti  perempuan yang diyakini cantik berjalan menuju ke arah bukit di samping Sendang Ontrowulan yang berjarak  1 km dari tempatnya berdiri. 
Sambil berangkulan kedua makluk berlainan jenis yang baru bertemu itu  berbisik-bisik. Sawitri  sempat tercekat   sejenak  ketika mendengar suara laki-laki itu menanyakan tarifnya. Seakan Sawitri pernah mengenalnya. Bukankah pelangganku banyak? Pasti diantara mereka yang datang lagi, batin Sawitri. Ketika laki-laki itu mencoleknya, dia hanya  tertawa dan menjawab lirih ketika ditanya kesepakatan tarif. Dalam kondisi terjepit seperti ini berapapun harga yang akan dibayarkan, Sawitri tak peduli lagi. Dia benar-benar butuh uang untuk makan, bayar hutang dan  kalau beruntung mendapatkan tips dari tamunya bisa untuk membayar tunggakan uang kost.
            Ritual berdoa, menyalakan kemenyan, dan bersemedi sejenak sudah beribu kali disaksikan Sawitri dengan rasa muak. Aneh baginya, ada orang yang percaya dengan ritual seperti itu untuk mendapatan kesuksesan dalam pekerjaan, meraih  kekayaan, awet muda, memperoleh jodoh.  Apakah mereka tak percaya lagi dengan kekuatan Tuhan sehingga harus menempuh cara yang seperti itu. Lebih mirisnya lagi ritual diakhiri dengan melakukan hubungan seksual  di tempat yang seperti itu, di alam terbuka diatas bukit yang dingin menusuk tulang. Tak ada rasa malu bagi mereka, terlebih jika melakukan ritual secara massal di malam 1 Suro. Puluhan bahkan ratusan pasangan tak resmi seperti  tak punya rasa sungkan melakukan seks dengan pasangannya  di tempat terbuka. Mereka telah merusak keindahan Gunung Kemukus dan Sendang Ontrowulan di kaki bukit dengan ritual tersebut.  Seandainya saja orang-orang itu memanfaatkan hanya untuk berziarah  dan menikmati keindahan Gunung Kemukus dan Sendang Ontrowulan, pastilah legenda Pangeran Samudra tidak tercoreng praktek porstitusi. 
Gunung Kemukus bisa menjadi alternatif tempat  ziarah dan wisata yang menarik, karena juga  mudah dijangkau dan memiliki sejarah  yang menarik.
            Seperti kontrak tak tertulis, Sawitri   menemani tamunya sampai  selesai melakukan ritual, tugasnya melengkapi ritual terakhir.  Tak ada yang lain dari  biasanya,  Sawitri tak merasakan apapun selain rasa nyeri diulu hatinya ketika melayani tamu.
Sekitar setengah jam kemudian, tamunya selesai melakukan ritual terakhir, duduk sambil menyalakan rokok. Sawitri sedang membereskan bajunya saat tak segaja melihat wajah tamunya yang terlihat diantara  percikan korek api.
Plaaaakkkkk, Sawitri seakan ditampar wajahnya saat melihat laki-laki yang bersamanya dalam waktu bersamaan sedang melihatnya dengan mata  terbelalak seakan melihat hantu disiang hari.
 Bibir  Sawitri bergetar kelu dan badannya langsung lunglai melihat laki-laki di depannya, seketika berkelebat wajah   anak semata wayangnya. Tardi, bisik Sawitri diantara rasa marah, sesal, malu dan terhina.
*****





[1] Heran aku, seminggu tidak ada tamu
[2] Iya bu, badan saya pegal semua lama tidak ada tamu(melayani tamu)
[3] Maaf
[4] bunga

Tidak ada komentar: