Sawitri hanya ingin melupakan semua masalahnya, semua
gundah gulana, semua kepedihan dan beban hidup yang selama bertahun-tahun mengelayuti
pikirannya. Dengan setengah malas, Sawitri memesan segelas kopi lagi, tak
dihiraukan muka masam mbok Sri, pemilik warung kopi langganannya. Sawitri
maklum dengan muka tak ramah mbok Sri, sudah beberapa puluh ribu dagangannya
dihutang. Dengan modal yang tak terlalu besar, seribu rupiahpun sangat berharga
bagi mbok Sri.
“Ini sudah gelas ketiga Wit, kamu
terlalu banyak minum kopi malam ini,” tegur mbok Sri marah, tetapi tetap saja
tak tega menolak permintaan
Sawitri. Perempuan tua itu
menatap Sawitri pelanggan setianya dengan berbagai pertanyaan
dan keprihatinan.
Sudah lebih dari seminggu Sawitri belum ada pelanggan,
dia hanya menghabiskan waktu semalaman di warungnya. Otomatis Sawitri tak lagi mempunyai uang,
bahkan hanya untuk sekedar membayar kopi-pun tak ada. Sejak seminggu yang lalu,
makan dan minum terpaksa harus bon. Teman-teman sawitri sudah tak sabar lagi
hanya dengan menunggu, sudah beberapa hari yang lalu mereka meninggalkan kaki
bukit dan menuju kota. Menyongsong kepastian yang akan memperpanjang nafas
hidup mereka. Tetapi Sawitri tetap saja tak bergeming, menunggu dengan penuh
pengharapan di sini.
“Iya mbok. Saya harus menahan
kantuk, menunggu tamu datang,” Sawitri mengeser duduknya, sudah berjam-jam
pantatnya lengket di kursi keras yang terbuat dari papan bekas bangunan,
kini terasa panas dan pegal.
Diliriknya jam
tangan yang melingkar di tangan kanannya, jam pemberian dari salah seorang
pelanggannya ketika beberapa kali
Sawitri melebih waktu yang telah disepakati bersama. Kamu pakai jam ini agar
tak molor ketemu denganku, kata pelanggannya waktu itu. Meskipun dengan memakai
jam itupun sawitri tak bisa selalu menepati janji. Bukan karena tidak suka
tepat waktu, tetapi karena banyak yang membutuhkan jasanya dan tak bisa selalu
di pangkas dengan cepat. Jarum jam menunjukkan angka 11 lebih 20 menit.
Belum terlalu
malam, masih ada harapan tamu datang, batin Sawitri penuh harapan. Lebih
dari sepekan tak ada seorangpun tamu yang datang. Padahal biasanya paling tidak
sehari sekali ada tamu yang datang dan membutuhkan jasanya. Jasa yang
ditawarkan Sawitri merupakan sumber
penghasilan satu-satunya dari tamu yang datang, tetapi kalau tamu tak ada,
Sawitri hanya bisa bersabar dan menahan malu karena terpaksa berhutang di warung mbok Sri. Untung
masih ada pemilik warung yang baik hati dan mau mengerti keadaannya, meskipun
pasti dengan terpaksa.
“Gumun
aku, seminggu kok ra ono tamu,[1]”
gerutu mbok Sri jengkel. Sama seperti
Sawitri, mbok Sri juga mengandalkan pendapatan sehari-hari dari dagangannya.
Nasi dan lauk pauk, teh, kopi, panganan ringan, juga dua bilik kamar ukuran 2x1 meter yang terbuat dari dinding bambu sederhana sebagai sekedar
penghilang rasa malu bagi tamu yang membutuhkan pelayanan sejenak dari kupu-kupu malam.
Selain Sawitri, ada Tutik, Endang juga Siti yang biasa
mengajak tamu mangkal di warungnya dan sesekali mengunakan bilik kecilnya yang
disewa dengan harga murah sekali, hanya Rp 20.000 sekali pakai. Seringkali
Sawitri dan teman-temannya melayani tamu di balik bukit di rimbunnya
reremputan sekitar Sendang Ontrowulan
dengan hanya beralas tikar tipis. Tamu lebih puas jika mendapatkan pelayanan di
tempat ritual yang memang sering dipergunakan untuk mengharapkan terkabulnya sebuah hajat. Mereka lebih menyakini hajatnya
akan cepat tercapai dengan melakukan ritula di sekitar Sendang Ontrowulan di
kaki bukit Gunung Kemukus.
“Iyo
mbok, awakku pegel kabeh suwe ra ono tamu,[2]”
jawab Sawitri. Bekerja keras membuat
Swaitri lebih segar dan tidak cepat merasa lelah, justru kalau sedang
menganggur seperti ini badannya terasa capek semua. Matanya sesekali melihat jam tangan, seakan
menghitung waktu dan khawatir kalau
waktu merambat cepat ke dini hari tanpa ada orang yang akan memberikan rejeki.
Apakah malam ini harus berlalu begitu
saja seperti kemarin tanpa ada sedikitpun rejeki? batin Sawitri mangsul.
Mbok Sri duduk termangu, pikirannya
menerawang jauh entah kemana, “Aku nggak tahu masih bisa bertahan sampai kapan,
Wit. Uang untuk belanja sudah mulai menipis, simpanan juga sudah mulai diambil
dikit-dikit.”
Sawitri paham dengan arah
pembicaraan mbok Sri, cara menegur mbok Sri masih dengan cara halus, tetapi
minggu depan mbok Sri akan berkata terus terang tentang keberatan memberi
hutangan lagi pada Sawitri.
” Ngapunten[3]
ya Mbok. Wit juga sudah nggak ada simpanan lagi. Begitu ada tamu, Wit pasti
akan membayar hutang. Hanya mbok Sri yang bisa saya mintai tolong. “ Lirih
suara Sawitri seakan berbicara dengan diri sendiri dan tak ingin di jawab oleh
mbok Sri.
Tidak hanya sekali Sawitri menjawab dengan rasa malu,
tetapi tak ada pilihan lain. Sawitri maklum kalau mbok Sri cukup khawatir
karena seminggu ini warungnya ikut sepi karena tak ada tamu yang datang. Tetapi
Sawitri juga tahu kalau mbok Sri belum sampai hati untuk bersikap keras
kepadanya. Bukan hanya sekali ini Sawitri tak kedatangan tamu, beberapa waktu
yang lalu kejadian ini juga pernah dialami.
Bahkan sampai 2 pekan, Sawitri pernah tak kedatangan
tamu, sampai hutangnya menumpuk tigaratus ribu. Tetapi setelah ada tamu dan Sawitri
tak lelah bekerja, semua hutang dilunasi, bahkan mbok Sri mendapatkan
tambahan satu stel pakaian sebagai bonus
karena kebaikannya.
Suara jangkrik bersenandung di
timpali kelepak kelelawar dipohon kelapa yang biasanya mampu mengurangi sepinya
malam, kali ini tak terdengar. Malam pekat tak nampak bintang satupun, seakan
ikut enggan memberikan penerangan di malam ini. Alam tak cukup bersahabat,
menolak memberikan sentuhan lembutnya yang biasa menemani kesepian Sawitri dan
mbok Sri.
“Kenapa kamu nggak mengikuti jejak Endang, Titik
meninggalkan bukit Wit? Rasanya baru bulan depan bukit ini ramai kembali,”
suara mbok Sri mengangetkan lamunan Sawitri. Pandangan matanya sayu menyapu
perempuan tua yang selalu sabar menghadapi tamu-tamu yang datang.
Sawitri hanya mengelengkan kepala, tak ada jawaban
dari mulutnya. Sawitri memang tidak pernah meninggalkan bukit ini sejak datang
2 tahun yang lalu. Dia hanya turun ke kota sekali dalam sebulan untuk mengirimkan uang kepada anaknya. Kebutuhan
lainnya seperti make-up, pakaian, makanan bisa didapatkan dari beberapa penjual
yang sering datang langsung ke bukit. Dan Sawitri tak merasa harus turun gunung
untuk mendapatkan semua itu.
Sebenarnya Sawitri ingin sesekali ke kota, tak tahan
juga bertahun-tahun hidup di kaki bukit. Tetapi ada rasa malu, sungkan, rendah
diri dan tak siap jika di kota akan bertemu dengan orang-orang yang dia kenal.
Sawitri tetaplah perempuan normal lainnya yang tak nyaman bekerja melayani tamu dengan tubuhnya. Sedapat
mungkin dia akan menjauh dari orang-orang yang mungkin mengenalnya. Dia ingin
menyembunyikan dirinnya sejauh mungkin dan bahkan kalau bisa menghilangkan
dirinya dari kehidupan keluarga dan teman-temannya.
“Wit....?”
“Nggak mbok, saya menunggu di sini
saja sampai bulan depan. Mudah-mudahan mbok masih berbaik hati menerima saya,”
Mbok Sri pada dasarnya juga tak gampang melupakan kebaikan
Sawitri, perempuan paling cantik yang setia membawa tamunya ke warung. Sawitri
memang murah hati dan tidak pelit. Kalau banyak melayani tamu, tak segan-segan
memberikan tambahan uang untuk modal belanja. Inilah yang di sukai mbok Sri
dari kebaikan hati perempuan yang paling cantik tetapi juga paling pendiam.
Selain
itu, keberadaan Sawitri sejak dua tahun lalu membawa keberuntungan
tersendiri bagi warungnya. Sebagai pendatang baru yang memiliki kecantikan
wajah, kemolekan tubuh dan keramahan sikap, Sawitri menjadi bunga di wilayah
Gunung Kemukus. Banyak tamu yang penasaran dan ingin berkencan dengan perempuan
yang berasal dari salah satu kabupaten tepatnya di sebelah selatan Gunung
Kemukus.
Biasanya sebelum berkencan atau sesudah berkencan
Sawitri akan membawa tamunya untuk minum-minum di warungnya. Rupiah demi rupiah terkumpul menambah pundi
simpanan mbok Sri karena kemurahan hati Sawitri. Tak bisa dipungkiri hal itu
yang mendorong mbok Sri tak bisa menolak permintaan kasbon jika Sawitri dalam
keadaan sepi tamu.
Sebenarnya tak hanya warung mbok Sri saja yang sepi,
saat ini semua warung di deretan bawah bukit Gunung Kemukus memang sepi dan hampir
tak ada pelanggan datang. Kabar yang di bawa Warno, tukang ojek yang biasa
mengantar tamu, sudah seminggu yang lalu ada razia dari pemerintah kabupaten
yang gerah mendengar banyak kabar tentang porstitusi di wilayahnya. Kabar razia
itu membuat para tamu tak berani datang, kalaupun ada yang datang hanya tamu
yang berpasangan dengan istri resminya saja dan dengan niatan berziarah. Sementara
pasangan suami istri jarang sekali yang mau mampir ke warung
remang-remang yang berderet di pinggiran
bukit. Mereka biasanya lewat jalan resmi, naik ke Gunung Kemukus, berziarah
lalu pulang setelah melakukan ritual-ritual yang dinyakini akan memperlancar
hajat mereka.
Sawitri mendesah untuk sekian
kalinya. Dilihatnya mbok Sri sudah duduk terkantuk-kantuk tak bisa menghindari lelah di wajahnya. Dalam
keadaan sepi tanpa pembeli, mata memang
tak bisa diajak terjaga meski belum ada jam 12 malam. Tetapi kalau ramai pembeli sampai dini haripun tak ada rasa kantuk menyerang. Mbok Sri telah menyerah pada kantuk yang datang.
Sawitri maklum,
pandangan matanya mengembara jauh tak terhingga menatap kegelapan bukit diatas
sana yang sepi mencekam. Menatap kegagahan dan keangkuhan Gunung Kemukus yang tinggi menjulang. Gunung
Kemukus menjadi termashur karena
kepercayaan dari banyak orang yang tersebar dari mulut ke mulut. Di tempat
inilah dimakamkan Pangeran Samudra,
konon seorang pangeran yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Ratusan tahun
kemudian makam ini dianggap bertuah oleh
ribuan peziarah yang datang dari berbagai daerah. Ada tiga makam yaitu makam
pangeran Samudra, ibunya dan abdi setia pangeran Samudra. Kepercayaan yang
berkembang turun temurun, jika seseorang
menginginkan kesuksesan, hajatan terpenuhi maka dia wajib ziarah ke makam
Pangeran Samudra untuk melakukan ritual
tertentu salah satunya melakukan hubungan badan. Entah apa yang terjadi , lama
kelamaan justru praktek porstitusi yang berkembang di sekitar gunung Kemukus.
Dan Sawitri menjadi salah satu dari puluhan wanita yang bekerja memanfaatkan
mitos yang berkembang dari waktu ke waktu.
Dalam keadaan sepi tamu, beberapa
temannya telah turun ke kota untuk mencari tamu di lain tempat karena tak tahan
lagi dengan sepinya bukit. Yang jelas mereka tak bisa melanjutkan hidup dengan
hanya mengandalkan hutang dari warung-warung
milik mbok Sri dan teman-temannya. Hanya Sawitri saja yang bertahan
hingga saat ini, tetap berharap ada tamu yang akan membantu memperpanjang nafas
kehidupannya.
Sebulan lagi, bulan Suro, bulan harapan Sawitri dan
teman-temannya untuk mendapatkan rejeki berlimpah. Pasti Endang dan perempuan pekerja musiman lainnya
yang hanya beroperasi di gunung Kemukus
saat bulan Suro akan berbondong-bondong datang.
Ingatan Sawitri tak bisa terbendung lagi mengembara ke masa dua tahun silam. Saat itu
Sawitri mengalami permasalahan keluarga
yang pelik dan membuat hatinya sedih tak terkira. Suami yang dicintainya telah berkhianat dan
pergi meninggalkan dia dan anak semata
wayangnya. Tardi lebih memilih mengikuti perempuan selingkuhannya daripada mempertahankan
rumah tangga yang sudah di bina selama 5 tahun.
Putus asa tak mempunyai bekal pendidikan yang cukup
untuk mencari pekerjaan yang layak, Sawitri
pergi ke kota untuk mengadu nasib. Anaknya yang baru berumur 2 tahun
terpaksa dititipkan kepada
orangtuanya. Minimnya pengalaman yang dimiliki hanya memberikan kesempatan
Sawitri untuk bekerja menjadi pembantu rumah tangga. Tetapi tak sampai setahun,
Sawitri harus berpindah lebih dari 3
majikan karena majikan perempuan cemburu
dan menilai sikapnya kegenitan.
Kecantikan Sawitri membuat banyak
perempuan menaruh iri hati , sehingga membuat Sawitri tak nyaman. Ajakan salah
seorang kenalan untuk bekerja di sebuah restoran juga tak berlangsung lama,
karena Sawitri membuat pelayan perempuan lainnya kehilangan pelanggan yang memberikan
tips. Tak ingin bermusuhan dengan banyak
orang, terpaksa Sawitri mengikuti
langkah salah seorang kenalan untuk bekerja di lereng Gunung Kemukus yang terletak di
kabupatan Sragen, lebih dari 200 km dari
desa tempat tinggalnya.
Awalnya Sawitri
tak berniat menjajakan diri, tetapi hanya bekerja menjadi pembantu di warung
yang berderetan di kaki bukit. Tetapi lama kelamaan Sawitri tak bisa mengelak
ikut terjerumus menjajakan diri. Banyak tamu yang tertarik dan tak bisa kelain
hati ketika melihat kecantikan dan kesintalan tubuh Sawitri. Tak butuh waktu
lama untuk menjadi kembang[4] Gunung Kemukus, Sawitri berhasil menundukan banyak pria. Pundi-pundi uang
Sawitri mengalir dan mengunung seiring
dengan kepopuleran namanya.
Laki-laki yang
datang dengan niat melakukan ritual
untuk memperoleh hajat tertentu tak
sungkan mengeluarkan uang lebih hanya untuk berebut mendapatkan pelayanan Sawitri. Terlebih tamu yang datang
di malam 1 Suro saat purnama menjelang, untuk mendapatkan pelayanannya. Tetapi
mereka harus kecewa dan menunggu 7 purnama lagi untuk mendapatkan Sawitri
karena biasanya perempuan cantik itu
setia dengan tamu yang memakai jasanya saat datang pertama kali.
Mitos yang
berkembang dan dipercaya para tamu yang
mempunyai hajat tertentu, jika ingin hajatnya terkabul selama 7 purnama berturut turut harus melakukan
hubungan suami istri dengan perempuan yang sama.
Banyak tamu yang memesan Sawitri dan rela dilayani meski hanya sejenak saja setelah Sawitri melayani tamu
yang lain. Tetapi seringkali mereka gigit jari karena tamu yang pertama datang
berani membayar tarif tinggi agar Sawitri
hanya melayani satu orang saja.
Sawitri tersenyum getir mengingat masa lalu saat dia datang dan resmi menjadi
penjaja cinta, pekerjaan yang bertentangan dengan hati nuraninya tetapi belum
dapat dia tinggalkan. Saat jam di tangannya menunjukan angka 1, Sawitri sudah memupus harapannya. Sudah
menjelang dini hari, kali ini tak
ada semangat lagi untuk
meneruskan menunggu tamu yang datang. Waktu telah memaksa Sawitri memangkas harapan
yang sempat dia semai. Besok harapan itu akan dia taburkan lagi.
Jalanan sepi
dan gelap seperti hari-hari yang lalu dilalui Sawitri dengan langkah gontai,
kehilangan daya.
Sambil menguap, langkah kakinya menyusuri pekatnya malam. Angin dingin menerpa seakan
ikut menemani kakinya melangkah pulang ke tempat kost di kaki bukit.
Namun kaki Sawitri mendadak berhenti ketika di
persimpangan jalan matanya yang terlatih dalam gelap melihat langkah kaki
seseorang. Binar mata yang sempat redup kembali dalam sekejap
menandakan harapan mengalahkan keheranannya melihat laki-laki melangkah
menuju bukit di malam menjelang dini hari. Seketika kantuk yang sempat
menyapa hilang. Sambil berdiri menunggu tamu yang di nanti tiba dengan cekatan
Sawitri merapikan bajunya, blouse warna
merah mencolok dengan belahan dada rendah dan rok warna senada di atas lutut. Tanganya mengambil minyak parfum murahan dari dalam tas kecil,
mengoleskan ke bagian-bagian tertentu tubuhnya. Bibirnya disapu lipstik merah,
rambutnya tersisir rapi.
Sawitri tersenyum mengoda setelah batuk-batuk kecilnya mampu
menarik perhatian laki-laki yang datang. Dengan senyum manisnya, tangannya
menyentuh lembut tangan kekar yang baru dikenalnya. Rupanya laki-laki itu
mengerti isyarat yang diberikan Sawitri, dan mengikuti perempuan yang diyakini cantik berjalan
menuju ke arah bukit di samping Sendang Ontrowulan yang berjarak 1 km dari tempatnya berdiri.
Sambil berangkulan kedua makluk berlainan jenis yang
baru bertemu itu berbisik-bisik.
Sawitri sempat tercekat sejenak
ketika mendengar suara laki-laki itu menanyakan tarifnya. Seakan Sawitri
pernah mengenalnya. Bukankah pelangganku banyak? Pasti diantara mereka yang
datang lagi, batin Sawitri. Ketika laki-laki itu mencoleknya, dia hanya tertawa dan menjawab lirih ketika ditanya
kesepakatan tarif. Dalam kondisi terjepit seperti ini berapapun harga yang akan
dibayarkan, Sawitri tak peduli lagi. Dia benar-benar butuh uang untuk makan,
bayar hutang dan kalau beruntung
mendapatkan tips dari tamunya bisa untuk membayar tunggakan uang kost.
Ritual berdoa, menyalakan kemenyan,
dan bersemedi sejenak sudah beribu kali disaksikan Sawitri dengan rasa muak.
Aneh baginya, ada orang yang percaya dengan ritual seperti itu untuk mendapatan
kesuksesan dalam pekerjaan, meraih
kekayaan, awet muda, memperoleh jodoh.
Apakah mereka tak percaya lagi dengan kekuatan Tuhan sehingga harus
menempuh cara yang seperti itu. Lebih mirisnya lagi ritual diakhiri dengan melakukan
hubungan seksual di tempat yang seperti
itu, di alam terbuka diatas bukit yang dingin menusuk tulang. Tak ada rasa malu
bagi mereka, terlebih jika melakukan ritual secara massal di malam 1 Suro.
Puluhan bahkan ratusan pasangan tak resmi seperti tak punya rasa sungkan melakukan seks dengan
pasangannya di tempat terbuka. Mereka
telah merusak keindahan Gunung Kemukus dan Sendang Ontrowulan di kaki bukit
dengan ritual tersebut. Seandainya saja
orang-orang itu memanfaatkan hanya untuk berziarah dan menikmati keindahan Gunung Kemukus dan
Sendang Ontrowulan, pastilah legenda Pangeran Samudra tidak tercoreng praktek
porstitusi.
Gunung Kemukus bisa menjadi alternatif tempat ziarah dan wisata yang menarik, karena
juga mudah dijangkau dan memiliki sejarah yang menarik.
Seperti kontrak tak tertulis,
Sawitri menemani tamunya sampai selesai melakukan ritual, tugasnya melengkapi
ritual terakhir. Tak ada yang lain
dari biasanya, Sawitri tak merasakan apapun selain rasa
nyeri diulu hatinya ketika melayani tamu.
Sekitar setengah jam kemudian, tamunya selesai
melakukan ritual terakhir, duduk sambil menyalakan rokok. Sawitri sedang
membereskan bajunya saat tak segaja melihat wajah tamunya yang terlihat
diantara percikan korek api.
Plaaaakkkkk, Sawitri seakan ditampar wajahnya saat
melihat laki-laki yang bersamanya dalam waktu bersamaan sedang melihatnya
dengan mata terbelalak seakan melihat
hantu disiang hari.
Bibir Sawitri bergetar kelu dan badannya langsung
lunglai melihat laki-laki di depannya, seketika berkelebat wajah anak semata wayangnya. Tardi, bisik Sawitri
diantara rasa marah, sesal, malu dan terhina.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar