Para pengayuh becak berhenti membuka jas hujan tipis yang biasanya tak
mampu menutupi seluruh tubuhnya, hanya bagian kepala dan badan saja tertutup
plastic tipis yang sebenarnya tak layak digunakan sebagai jas hujan karena
terlalu tipis.
Ku pacu sepeda motorku menembus
rinai hujan, mencoba tak pedulikan hujan. Satu hal yang kusesali, aku lupa
memasukkan kembali jas hujan ke jok motor setelah kemarin kujemur. Hampir setiap
hari hujan turun, jas hujan menjadi sangat bermanfaat. Tetapi kalau sampai lupa
seperti hari ini, ya terpaksa harus rela berhujan-hujanan. Tak mungkin aku
berteduh, sementara ada kegiatan penting
yang harus aku lakukan. Mudah-mudahan jaket kulit yang ku pakai mampu
melindungi tubuhku dari air hujan yang akan menembus pakaianku, doaku sepanjang
perjalanan.
Gambar :https://www.google.co.id/search?q=gambar+rel+kereta+api+kartun&biw=1350&bih=627&tbm |
Kususuri jalan Slamet Riyadi dengan
tetap memacu sepeda motorku dengan kecepatan sedang. Beruntung hujan semakin
reda, sepertinya hujan deras sudah berlalu sehingga tinggal gerimis kecil yang masih tersisa. Meskipun tinggal rintik-rintik, tetapi hari
kelihatan gelap karena mendung tebal masih terlihat bergelantung di
langit. Padahal belum terlalu sore, kulihat jam tanganku baru pukul 15.30.
Motor ku belokkan kearah jalan Sam Ratulangi dan
berbelok menyusuri gang-gang kecil.
Setelah berjalan sekitar 15 menit, kuberhenti tepat di tepi jalan
depan warung kecil. Kulihat Bu
Warni sedang membuka penutup plastik yang digunakan untuk menghalangi air hujan
yang bisa membasahi dagangannya.
“Kehujanan mbak? “ Sapa bu Warni
ramah seperti biasanya.
Setelah memarkir motor dan membuka
helm, ku sisir rambut tebalku yang terlihat tak rapi lagi. Kucir kudaku nyaris sudah tak berbentuk karena melorot. Ku
buka jaket kulitku yang sebagian besar
basah karena menahan hujan, lumayan
kaosku tak sampai basah tertembus hujan, meskipun celana jeansku lumayan lembab.
” Iya bu, lupa nggak bawa jas hujan. Dagangan laris ?”
kuhampiri bu Warni dan menjabat tangannya seperti biasa kalau bertemu.
“Lumayan mbak, musim hujan begini
tak terlalu mengharapkan dagangan laku.
“ujarnya.
Ku lihat masih cukup banyak dagangan di meja kecil.
Ada beberapa toples buah nanas, ager-ager, kolang-kaling, janggelan dan buah
melon yang digunakan untuk es buah. Gorengan tahu, tempe , ubi juga terlihat
masih menumpuk. Mestinya kalau musim hujan Bu Warni menganti jenis dagangan menyesuaikan
musim. Es buah tak bisa diharapkan menjadi menu menarik di musim seperti ini.
“Siti sudah kumpul di markas bu? “
tanyaku ketika kulihat di rumah bu Warni sepi.
“Sudah tu mbak, sejak habis sholat ashar tadi sudah pergi. Ngga tahu ke
markas atau ke rumah Kiki .” jawab bu Warni lagi. Tangannya mengeringkan toples
barisi jajanan anak-anak.
“Gorengan komplit, ya bu,” ku
angsurakan uang Rp 5.000.
Bu
Warni menangguk senang dan tangannya dengan cekatan mengambil tempe, tahu, ubi goreng.
“Nanti tehnya saya antar, ya mbak.”
“Nggak usah, bu. Saya sudah bawa air
putih. “ jawabku singkat sambil menerima plastik kecil berisi gorengan. Sudah
menjadi kebiasaanku untuk membawa sekedar makanan kecil untuk anak-anak. Karena
hujan, aku tergesa-gesa sehingga lupa mampir toko. Untung saja dagangan bu
Warni masih ada.
“Nitip motor bu. Saya jalan dulu,
bu,”
“Yuk mbak..”
Kulihat di markas hanya ada Agus yang sedang asyik
bermain kereta api yang terbuat dari kayu balok yang di di gandeng. Mainan
sederhana yang di hasilkan dari tangan –tangan mugil anak-anak yang tinggal di
bantaran rel Kereta Api.
“Halo, Gus, temannnya yang lain
mana?” ku hampiri Agus yang tersenyum ceria melihat kedatanganku. Tangannya
mengelayut manja sambil mendekapku. Kebiasaan Agus dan teman-temannya kalau
ketemu denganku di markas. Tempat yang biasa di sebut markas oleh anak-anak ini
sebenarnya hanya sebuah gudang bekas
yang disudah lama tak dipergunakan lagi
si empunya, PT Kereta Api.
Dahulu sebelum digunakan untuk tempat bermain dan
belajar anak-anak, markas ini begitu kumuh dan banyak sampah berserakan.
Beberapa pengamen dan pemulung biasa mengunakan untuk berteduh atau sekedar
untuk melepas lelah. Sekitar setahun yang lalu setelah aku ketemu dengan
anak-anak dan setiap seminggu sekali mengumpulkan mereka di tepian rel kereta
api mengajarkan mereka belajar, ketua RT dan bapak-bapak menawarkan gudang
kosong untuk tempat belajar. Rupanya
mereka kasihan melihat anak-anaknya belajar di tepi rel kereta api yang lumayan
bising, terlebih kalau musim hujan kegiatan tak bisa dilakukan lantaran
kehujanan.
Setelah bergotong royong membersihkan gudang, ‘markas’
sudah bisa dipergunakan. Tak ada barang berharga, kecuali hanya beberapa
buku-buku bekas yang ku beli dari pasar buku bekas dan dari sumbangan teman-teman
yang peduli, beberapa set alat tulis dan pensil warna serta mainan dari
barang-barang bekas.
“Belum pada datang mbak, dari siang
hujan sih,” jawab Agus sambil melepaskan dekapan tangan. Agus menarik tanganku
dan memperlihatkan gambar yang dibuat. Sebuah gambar bangunan rumah yang di
depannnya ada beberapa anak-anak.
“Ini sekolah mbak, dan ini Agus sama teman-teman,”
tanpa ku tanya mulut mugilnya sibuk berceloteh sambil menceritakan
imajinasinya. Aku mendengarkan dengan sungguh-sungguh sekaligus trenyuh
mendengar keinginan yang besar dari
Agus.
Rata-rata anak-anak penghuni rumah di bantaran ini
berusia 4-6 tahun dan belum bersekolah.
Ada beberapa anak yang bahkan sudah berusia diatas 7 tahun tetapi belum
disekolahkan. Keterbatasan kondisi ekonomi menjadi salah satu alasan orangtua
mereka yang pekerjaannya menjadi pemulung dan pengamen tak mampu menyekolahkan. Alasan itupula yang mendorongku untuk sekedar
berbagi pengalaman dengan membantu anak-anak belajar dan bermain.
Seminggu dua kali, hari Selasa dan Sabtu sore biasanya
aku menemani mereka untuk sekedar belajar
membaca, menulis, berhitung, mengambar dan bernyanyi. Sesekali aku juga mengajak mereka untuk
membuat mainan sederhana dari
barang-barang bekas yang diperoleh dari orangtua mereka. Mendorong mereka
kreatif dengan memanfaatkan barang yang tak terpakai lagi sehingga mereka mampu
menghargai hasil kerja keras orangtua
dari bekerja mengumpulkan barang
bekas tersebut.
Sekitar 15 menit kemudian, nampak
Lusi, Kiki dan Siti datang. Mereka bertiga
membawa mainan kapal-kapalan dari kertas koran bekas. Rok kumal Kiki basah di
bagaian bawah. Setelah bersalaman, mereka segera bergabung dengan Agus yang
tampak antusias memperlihatkan gambar sekolah impiannnya. Terdengar tawa dari
mulut mereka yang sesekali ditimpali
celoteh riang. Tanpa di minta ketiga anak perempuan tersebut segera mengambil
selembar kertas HVS yang bertumpuk di dalam kardus. Tidak semua kertas itu
baru, sebagian besar kertas bekas yang dimanfaatkan di belakang. Aku segaja
membawakan kertas-kertas bekas yang kuminta dari teman-teman, baik kertas
bekas skripsi yang tidak jadi, maupun tugas kuliah lainnya.
Temanku juga senang tak perlu repot membuang kertas, karena sudah aku ambil
secara rutin.
Dengan pensil yang tak lagi panjang, mereka tampak
asyik mengambar. Pensil-pensil yang
mereka gunakan sebagian besar berasal dari pensil hotel. Ketika mengikuti
seminar atau kegiatan yang
diselenggarakan berbagai lembaga di
hotel, biasanya aku mengumpulkan pensil tersebut. Jarang orang mau mengunakan
pensil hotel yang tidak terlalu tebal dan bagus kualitasnya sehingga aku manfaatkan
untuk anak-anak.
Aku tersenyum mengamati kesibukan mereka . Hari ini
anak anak memang belajar mengambar, ku biarkan mereka menuangkan imajinasinya,
sambil menunggu anak-anak yang lain datang. Biasanya ada sekitar 10 anak yang
ikut belajar di markas.
“Assalamu’aluikum…”
“Waalaikum salam, “jawabku. Kulihat pak RT di depan pintu masih lengkap dengan
payung warna birunya.
“Mbak Sekar…”
“Iya, pak RT?” ku hampiri pak RT. Setelah bersalaman,
terpaksa aku berdiri sambil berbicara. Pak RT tidak mau masuk dan memilih
berdiri, masih di posisi semula, di depan pintu.
“Maaf, ya mbak. Saya terpaksa mengabarkan berita ini…”
pak RT tampak ragu, diam sejenak.
Aku menatap pak RT penuh pertanyaan.
“Sebenarnya saya tidak enak menyampaikan hal ini.
Tetapi sebagai RT yang bertanggungjawab ketertiban dan kenyamanan lingkungan di
sini, saya dengan berat hati mengatakan semua ini.”
“Maksud bapak?” Aku agak tak sabar menunggu penjelasan
pak RT. Tidak biasanya pak RT mengunjungi markas kami, entah mengapa sore ini
saat hujan dia datang.
“Begini, mbak….” Pak RT mengantung kalimatnya.
Aku mengangguk, menyakinkan pak RT bahwa aku siap
menunggu berita yang dia bawa.
“Beberapa hari yang lalu pihak PT KAI datang ke rumah
saya dan menyampaikan berita , eh…maksud saya mereka minta eng……” Pak RT
memandang kearah anak-anak yang masih sibuk dengan gambaran mereka, tak terusik
dengan kedatangan pak RT. “ Mereka akan mengunakan gudang ini kembali. Jadi
mereka…mereka…. minta gudang ini untuk di kosongkan, “pak RT mengakhiri
kalimatnya dengan gugup.
“Maksud bapak, gudang ini tidak boleh digunakan
anak-anak lagi?”tanyaku tanpa bisa mneyembunyikan keterkejutan.
Pak RT hanya mengangguk dengan sungkan.
“Tapi..tapi…pak, bukankah dulu bapak juga tahu kalau
gudang ini kosong dan dimanfaatkan anak-anak untuk belajar?” tanyaku lagi
dengan gusar. Setelah bertahun tahun gudang ini kosong dan kotor, warga
membersihkan dan mengatur ruangan sederhana ini untuk tempat belajar. Anak-anak
memanfaatkan selama setahun lebih dan merasa sudah merasa nyaman dan sangat membutuhkan markas
mereka. Sekarang kenapa seenaknya di
minta kembali?
“Ya, begitulah, mbak. “ jawab pak RT pendek.
“Apakah bapak tidak menjelaskan fungsi gudang ini
sekarang? Apakah bapak tidak minta ijin mereka?” tanyaku bertubi-tubi.
“Saya sudah berusaha mbak. Tapi ya, gimana lagi.
Gudang ini milik mereka, dan anak-anak hanya memakai atau meminjam saja.Lha
kalau diminta yang punya, mau tidak mau ya harus dikembalikan tho?” jawab Pak RT tegas. Kali ini tidak
ada nada gugup dalam kalimatnya. Rupanya pak RT menemukan alasan yang tepat
untuk menyakinkan diriku bahwa tempat ini memang hak mereka.
“Tapi, pak…?”
“Tidak ada tapi-tapian, mbak. Mereka tidak mau
kompromi,”potong pak RT cepat.
Aku memandang anak-anak dengan sedih. Kesenangan
mereka tidak akan bertahan lama lagi. Aku mengeluh dalam hati. Kasian sekali
nasib anak-anak ini.
“Warga sudah tahu hal ini, pak?”
Pak RT menggelengkan kepala,”Tak perlu tahu. Ini urusan
PT KAI . “
“Kapan mereka memberikan waktu?”
“Paling lambat hari Minggu, gudang ini sudah harus di
kosongkan.Mereka akan datang hari Senin membawa tukang dan memperbaiki gudang
ini.” Jawab pak RT. Setelah diam sejenak, pak RT permisi pulang. Tak ada pembicaraan
lagi, tak ada kompromi.
Kenapa pak RT tidak berusaha maximal untuk minta ijin
pengunaan gudang ini? Bukankah pak RT mestinya mengayomi warga dan mestinya
mengajak bicara warga terutama yang dulu bergotong royong membersihkan gudang
ini. Bukankah warga dan anak-anak harus tahu semua ini? Batinku kesal.
Kupandangi lagi anak-anak dari depan pintu, ke mana lagi anak-anak akan
mendapatkan tempat untuk belajar? Saat pemerintah yang seharusnya berkewajiban memberikan kesejahteraan dan
pendidikan yang layak bagi warganya alpa, kemana mereka harus mengadu?
“Mbak Sekar kenapa menangis?” Tak kusadari Siti sudah
di dekatku sambil memeluk pinggangku dengan rasa sayang.
Ku hapus air mataku, ku coba tersenyum.
“Nggak apa-apa, mata mbak hanya kemasukan debu saja,”
jawabku berdusta.
“Ooo, kirain kenapa, mbak. “
“Mbak, gambarku sudah jadi, nich,” kata Agus sambil
berlari dan memamerkan gambarnya.
“Wow, bagus sekali. Kamu memang pintar dan berbakat,
Gus,” kataku tulus.
“Hehehehe….” Jawab Agus pendek. Kemudian berlari dan kembali
menekuni gambarnya.
“Mbak, tolong bantu Kiki, yach,” seru Kiki sambil
melambaikan kertas gambarnya.
Aku tersenyum dan menghampiri Kiki . Tak lama kemudian
anak-anak sudah terbuai dengan cita-cita meraka yang dituangkan dalam selembar
kertas bekas ini. Aku tak kuasa untuk menatap wajah polos mereka. Begitu banyak
harapan yang mereka impikan. Bagaimana aku harus menyampaikan berita buruk
ini? Aku harus menemui warga, setelah
itu terserah bagaimana warga akan mempertahankan tempat ini, tekadku. Yang jelas aku akan membantu Agus dan teman-temannya untuk
mengembangkan impian mereka, bahkan mungkin untuk meraih cita-cita mereka, meskipun
tak ada lagi markas kecil ini. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar