Kamis, 02 Juli 2015

Merajut Impian di Sudut Rel Kereta Api

             Gerimis turun dengan rintik air hujan yang semakin lama  membesar. Beberapa penguna sepeda motor yang awalnya tak menghiraukan hujan yang membasahi tubuh mereka mulai menepi, mencaro emperan toko. Sebagian berteduh dibawah pohon untuk memakai jas hujan.


Para pengayuh becak berhenti membuka jas hujan tipis yang biasanya tak mampu menutupi seluruh tubuhnya, hanya bagian kepala dan badan saja tertutup plastic tipis yang sebenarnya tak layak digunakan sebagai jas hujan karena terlalu tipis.
            Ku pacu sepeda motorku menembus rinai hujan, mencoba tak pedulikan hujan. Satu hal yang kusesali, aku lupa memasukkan kembali jas hujan ke jok motor setelah kemarin kujemur. Hampir setiap hari hujan turun, jas hujan menjadi sangat bermanfaat. Tetapi kalau sampai lupa seperti hari ini, ya terpaksa harus rela berhujan-hujanan. Tak mungkin aku berteduh, sementara  ada kegiatan penting yang harus aku lakukan. Mudah-mudahan jaket kulit yang ku pakai mampu melindungi tubuhku dari air hujan yang akan menembus pakaianku, doaku sepanjang perjalanan.
Gambar :https://www.google.co.id/search?q=gambar+rel+kereta+api+kartun&biw=1350&bih=627&tbm

            Kususuri jalan Slamet Riyadi dengan tetap memacu sepeda motorku dengan kecepatan sedang. Beruntung hujan semakin reda, sepertinya hujan deras sudah berlalu sehingga tinggal gerimis  kecil yang masih tersisa. Meskipun  tinggal rintik-rintik, tetapi  hari   kelihatan gelap karena mendung tebal masih terlihat bergelantung di langit. Padahal belum terlalu sore, kulihat jam tanganku baru pukul 15.30.
Motor ku belokkan kearah jalan Sam Ratulangi dan berbelok menyusuri  gang-gang kecil. Setelah berjalan sekitar 15 menit, kuberhenti tepat di  tepi jalan  depan warung  kecil. Kulihat Bu Warni sedang membuka penutup plastik yang digunakan untuk menghalangi air hujan yang bisa  membasahi dagangannya.
            “Kehujanan mbak? “ Sapa bu Warni ramah seperti biasanya.
            Setelah memarkir motor dan membuka helm, ku sisir  rambut tebalku  yang terlihat tak rapi lagi. Kucir kudaku  nyaris sudah tak berbentuk karena melorot. Ku buka jaket kulitku  yang sebagian besar basah karena  menahan hujan, lumayan kaosku tak sampai basah tertembus hujan, meskipun celana jeansku lumayan lembab.
” Iya bu, lupa nggak bawa jas hujan. Dagangan laris ?” kuhampiri bu Warni dan menjabat tangannya seperti biasa kalau bertemu.
            “Lumayan mbak, musim hujan begini tak terlalu mengharapkan  dagangan laku. “ujarnya.
Ku lihat masih cukup banyak dagangan di meja kecil. Ada beberapa toples buah nanas, ager-ager, kolang-kaling, janggelan dan buah melon yang digunakan untuk es buah. Gorengan tahu, tempe , ubi juga terlihat masih menumpuk. Mestinya kalau musim hujan Bu Warni menganti jenis dagangan menyesuaikan musim. Es buah tak bisa diharapkan menjadi menu menarik di musim seperti ini.
            “Siti sudah kumpul di markas bu? “ tanyaku ketika kulihat di rumah bu Warni sepi.
            “Sudah tu mbak, sejak habis  sholat ashar tadi sudah pergi. Ngga tahu ke markas atau ke rumah Kiki .” jawab bu Warni lagi. Tangannya mengeringkan toples barisi jajanan anak-anak.
            “Gorengan komplit, ya bu,” ku angsurakan uang Rp 5.000.
Bu Warni menangguk senang dan tangannya dengan cekatan mengambil  tempe, tahu, ubi goreng.
            “Nanti tehnya saya antar, ya mbak.”
            “Nggak usah, bu. Saya sudah bawa air putih. “ jawabku singkat sambil menerima plastik kecil berisi gorengan. Sudah menjadi kebiasaanku untuk membawa sekedar makanan kecil untuk anak-anak. Karena hujan, aku tergesa-gesa sehingga lupa mampir toko. Untung saja dagangan bu Warni masih ada.
            “Nitip motor bu. Saya jalan dulu, bu,”
            “Yuk mbak..”

Kulihat di markas hanya ada Agus yang sedang asyik bermain kereta api yang terbuat dari kayu balok yang di di gandeng. Mainan sederhana yang di hasilkan dari tangan –tangan mugil anak-anak yang tinggal di bantaran rel  Kereta Api.
            “Halo, Gus, temannnya yang lain mana?” ku hampiri Agus yang tersenyum ceria melihat kedatanganku. Tangannya mengelayut manja sambil mendekapku. Kebiasaan Agus dan teman-temannya kalau ketemu denganku di markas. Tempat yang biasa di sebut markas oleh anak-anak ini sebenarnya hanya  sebuah gudang bekas yang disudah lama tak dipergunakan  lagi si empunya, PT Kereta Api.
Dahulu sebelum digunakan untuk tempat bermain dan belajar anak-anak, markas ini begitu kumuh dan banyak sampah berserakan. Beberapa pengamen dan pemulung biasa mengunakan untuk berteduh atau sekedar untuk melepas lelah. Sekitar setahun yang lalu setelah aku ketemu dengan anak-anak dan setiap seminggu sekali mengumpulkan mereka di tepian rel kereta api mengajarkan mereka belajar, ketua RT dan bapak-bapak menawarkan gudang kosong untuk tempat belajar.  Rupanya mereka kasihan melihat anak-anaknya belajar di tepi rel kereta api yang lumayan bising, terlebih kalau musim hujan kegiatan tak bisa dilakukan lantaran kehujanan.
Setelah bergotong royong membersihkan gudang, ‘markas’ sudah bisa dipergunakan. Tak ada barang berharga, kecuali hanya beberapa buku-buku bekas yang ku beli dari pasar buku bekas dan dari sumbangan teman-teman yang peduli, beberapa set alat tulis dan pensil warna serta mainan dari barang-barang bekas.
            “Belum pada datang mbak, dari siang hujan sih,” jawab Agus sambil melepaskan dekapan tangan. Agus menarik tanganku dan memperlihatkan gambar yang dibuat. Sebuah gambar bangunan rumah yang di depannnya ada beberapa anak-anak.
“Ini sekolah mbak, dan ini Agus sama teman-teman,” tanpa ku tanya mulut mugilnya sibuk berceloteh sambil menceritakan imajinasinya. Aku mendengarkan dengan sungguh-sungguh sekaligus trenyuh mendengar keinginan  yang besar dari Agus.
Rata-rata anak-anak penghuni rumah di bantaran ini berusia 4-6 tahun dan belum  bersekolah. Ada beberapa anak yang bahkan sudah berusia diatas 7 tahun tetapi belum disekolahkan. Keterbatasan kondisi ekonomi menjadi salah satu alasan orangtua mereka yang pekerjaannya menjadi pemulung dan pengamen tak mampu menyekolahkan.  Alasan itupula yang mendorongku untuk sekedar berbagi pengalaman dengan membantu anak-anak belajar dan bermain.
Seminggu dua kali, hari Selasa dan Sabtu sore biasanya aku menemani mereka untuk sekedar belajar  membaca, menulis, berhitung, mengambar dan bernyanyi.  Sesekali aku juga mengajak mereka untuk membuat mainan sederhana  dari barang-barang bekas yang diperoleh dari orangtua mereka. Mendorong mereka kreatif dengan memanfaatkan barang yang tak terpakai lagi sehingga mereka mampu menghargai hasil kerja keras orangtua  dari bekerja  mengumpulkan barang bekas tersebut.
            Sekitar 15 menit kemudian, nampak Lusi, Kiki dan  Siti datang. Mereka bertiga membawa mainan kapal-kapalan dari kertas koran bekas. Rok kumal Kiki basah di bagaian bawah. Setelah bersalaman, mereka segera bergabung dengan Agus yang tampak antusias memperlihatkan gambar sekolah impiannnya. Terdengar tawa dari mulut mereka  yang sesekali ditimpali celoteh riang. Tanpa di minta ketiga anak perempuan tersebut segera mengambil selembar kertas HVS yang bertumpuk di dalam kardus. Tidak semua kertas itu baru, sebagian besar kertas bekas yang dimanfaatkan di belakang. Aku segaja membawakan kertas-kertas bekas yang kuminta dari teman-teman, baik kertas bekas  skripsi  yang tidak jadi, maupun tugas kuliah lainnya. Temanku juga senang tak perlu repot membuang kertas, karena sudah aku ambil secara rutin.
Dengan pensil yang tak lagi panjang, mereka tampak asyik mengambar.  Pensil-pensil yang mereka gunakan sebagian besar berasal dari pensil hotel. Ketika mengikuti seminar atau kegiatan  yang diselenggarakan berbagai lembaga  di hotel, biasanya aku mengumpulkan pensil tersebut. Jarang orang mau mengunakan pensil hotel yang tidak terlalu tebal  dan bagus kualitasnya sehingga aku manfaatkan untuk anak-anak.
Aku tersenyum mengamati kesibukan mereka . Hari ini anak anak memang belajar mengambar, ku biarkan mereka menuangkan imajinasinya, sambil menunggu anak-anak yang lain datang. Biasanya ada sekitar 10 anak yang ikut belajar di markas.
“Assalamu’aluikum…”
“Waalaikum salam, “jawabku. Kulihat  pak RT di depan pintu masih lengkap dengan payung warna birunya.
“Mbak Sekar…”
“Iya, pak RT?” ku hampiri pak RT. Setelah bersalaman, terpaksa aku berdiri sambil berbicara. Pak RT tidak mau masuk dan memilih berdiri, masih di posisi semula, di depan pintu.
“Maaf, ya mbak. Saya terpaksa mengabarkan berita ini…” pak RT tampak ragu, diam sejenak.
Aku menatap pak RT penuh pertanyaan.
“Sebenarnya saya tidak enak menyampaikan hal ini. Tetapi sebagai RT yang bertanggungjawab ketertiban dan kenyamanan lingkungan di sini, saya dengan berat hati mengatakan semua ini.”
“Maksud bapak?” Aku agak tak sabar menunggu penjelasan pak RT. Tidak biasanya pak RT mengunjungi markas kami, entah mengapa sore ini saat hujan dia datang.
“Begini, mbak….” Pak RT mengantung kalimatnya.
Aku mengangguk, menyakinkan pak RT bahwa aku siap menunggu berita yang dia bawa.
“Beberapa hari yang lalu pihak PT KAI datang ke rumah saya dan menyampaikan berita , eh…maksud saya mereka minta eng……” Pak RT memandang kearah anak-anak yang masih sibuk dengan gambaran mereka, tak terusik dengan kedatangan pak RT. “ Mereka akan mengunakan gudang ini kembali. Jadi mereka…mereka…. minta gudang ini untuk di kosongkan, “pak RT mengakhiri kalimatnya dengan gugup.
“Maksud bapak, gudang ini tidak boleh digunakan anak-anak lagi?”tanyaku tanpa bisa mneyembunyikan keterkejutan.
Pak RT hanya mengangguk dengan sungkan.
“Tapi..tapi…pak, bukankah dulu bapak juga tahu kalau gudang ini kosong dan dimanfaatkan anak-anak untuk belajar?” tanyaku lagi dengan gusar. Setelah bertahun tahun gudang ini kosong dan kotor, warga membersihkan dan mengatur ruangan sederhana ini untuk tempat belajar. Anak-anak memanfaatkan selama setahun lebih dan merasa sudah  merasa nyaman dan sangat membutuhkan markas mereka. Sekarang kenapa seenaknya  di minta kembali?
“Ya, begitulah, mbak. “ jawab pak RT pendek.
“Apakah bapak tidak menjelaskan fungsi gudang ini sekarang? Apakah bapak tidak minta ijin mereka?” tanyaku bertubi-tubi.
“Saya sudah berusaha mbak. Tapi ya, gimana lagi. Gudang ini milik mereka, dan anak-anak hanya memakai atau meminjam saja.Lha kalau diminta yang punya, mau tidak mau ya harus dikembalikan tho?” jawab Pak RT tegas. Kali ini tidak ada nada gugup dalam kalimatnya. Rupanya pak RT menemukan alasan yang tepat untuk menyakinkan diriku bahwa tempat ini memang hak mereka.
“Tapi, pak…?”
“Tidak ada tapi-tapian, mbak. Mereka tidak mau kompromi,”potong pak RT cepat.
Aku memandang anak-anak dengan sedih. Kesenangan mereka tidak akan bertahan lama lagi. Aku mengeluh dalam hati. Kasian sekali nasib anak-anak ini.
“Warga sudah tahu hal ini, pak?”
Pak RT menggelengkan kepala,”Tak perlu tahu. Ini urusan PT KAI . “
“Kapan mereka memberikan waktu?”
“Paling lambat hari Minggu, gudang ini sudah harus di kosongkan.Mereka akan datang hari Senin membawa tukang dan memperbaiki gudang ini.” Jawab pak RT. Setelah diam sejenak, pak RT permisi pulang. Tak ada pembicaraan lagi, tak ada kompromi.
Kenapa pak RT tidak berusaha maximal untuk minta ijin pengunaan gudang ini? Bukankah pak RT mestinya mengayomi warga dan mestinya mengajak bicara warga terutama yang dulu bergotong royong membersihkan gudang ini. Bukankah warga dan anak-anak harus tahu semua ini? Batinku kesal.
Kupandangi lagi anak-anak dari  depan pintu, ke mana lagi anak-anak akan mendapatkan tempat untuk belajar? Saat pemerintah  yang seharusnya  berkewajiban memberikan kesejahteraan dan pendidikan yang layak bagi warganya alpa, kemana mereka harus mengadu?
“Mbak Sekar kenapa menangis?” Tak kusadari Siti sudah di dekatku sambil memeluk pinggangku dengan rasa sayang.
Ku hapus air mataku, ku coba tersenyum.
“Nggak apa-apa, mata mbak hanya kemasukan debu saja,” jawabku berdusta.
“Ooo, kirain kenapa, mbak. “
“Mbak, gambarku sudah jadi, nich,” kata Agus sambil berlari  dan memamerkan gambarnya.
“Wow, bagus sekali. Kamu memang pintar dan berbakat, Gus,” kataku tulus.
“Hehehehe….” Jawab Agus pendek. Kemudian berlari dan kembali menekuni gambarnya.
“Mbak, tolong bantu Kiki, yach,” seru Kiki sambil melambaikan kertas gambarnya.
Aku tersenyum dan menghampiri Kiki . Tak lama kemudian anak-anak sudah terbuai dengan cita-cita meraka yang dituangkan dalam selembar kertas bekas ini. Aku tak kuasa untuk menatap wajah polos mereka. Begitu banyak harapan yang mereka impikan. Bagaimana aku harus menyampaikan berita buruk ini?  Aku harus menemui warga, setelah itu terserah bagaimana warga akan mempertahankan tempat ini, tekadku.  Yang jelas aku  akan membantu Agus dan teman-temannya untuk mengembangkan impian mereka, bahkan mungkin untuk meraih cita-cita mereka, meskipun tak ada lagi markas kecil ini. ***

Tidak ada komentar: