Senin, 06 Juli 2015

Permainan terakhir

                Hamparan tanah luas yang terletak di pinggir desa itu tampak ramai, tak seperti hari-hari sebelumnya. Sudah beberapa hari ini ada beberapa truk keluar masuk desa mengangkut bahan-bahan bangunan. Mondar- mandir kleuar masuk menurunkan pasir, semen, batubata, batu kali, kerikil, besi dan bahan bangunan lainnya.


            Debu mengepul dari roda truk pengangkut yang berasal dari kota. Suara roda truk ribut membelah keheningan desa. Kambing, sapi, kerbau yang biasa  merumput di tepi jalan, tampak panik dan menepi. Kehadiran  truk itu pasti menganggu ketenangan mereka.  Beberapa orang desa tampak terheran-heran, sebagian besar dengan penasaran mengikuti  kemana truk itu berhenti. Anak-anak pengembala ternak nampak tertarik dengan kesibukan truk, ada rasa senang melihat keramaian. Maklum di desa mereka sangat jarang  mobil, truk lewat. Dengan muka senang anak-anak mengejar truk tanpa menghiraukan debu yang beterbangan terhirup hidung.
            Truk berhenti di hamparan tanah luas yang sudah bertahun-tahun tak dirawat oleh pemiliknya. Tanah  seluas 3 hektar tersebut   kabarnya milik seseorang yang tinggal di kota besar. 
               Beberapa tahun yang lalu tanah di beli dari penduduk desa, tetapi kemudian tidak dipergunakan untuk apapun. Anak-anak memanfaatkan tanah kosong itu untuk bermain sepak bola dan permainan lainnya dan sebagian untuk merumput sapi, kerbau dan kambing. Sungguh beruntung, karena di desa tidak ada lapangan sepakbola.   
Anak-anak riang bermain (dok. Suci)

            Beberapa orang nampak sibuk menurun kan barang-barang  dari dalam truk. Sebagian lagi memasukan semen, besi ke dalam rumah yang terbuat dari triplek dan kayu. Rupanya rumah yang dibuat mendadak itu  semacam gudang yang dipergunakan untuk menyimpan bahan bangunan.  Puluhan orang lainnya nampak sibuk dengan beragam kegiatan, ada yang membuat galian di tanah, mengaduk semen dan pasir, membuat pondasi dari batu dan semen. Selain truk,  ada sebuah mobil  bagus parkir di bawah pohon jati. Tampak seorang laki-laki berpakaian bagus, bersih  memberikan perintah sana sini kepada sekumpulan laki-laki yang menurunkan barang dari truk. Tangannya menunjuk sana sini sambil sesekali berkacak pinggang.
            Sekar termangu memandang semua keramaian yang tak pernah dia lihat sebelumnya. 
            Di Desa Banyu Bening, tempat tinggal Sekar, jarang sekali ada truk yang datang dari kota membawa barang-barang seperti yang dia lihat. Desa Banyu Bening terletak di pelosok kabupaten, sekitar 5 km dari kota kecamatan dan 25 km dari kota kabupaten. 
             Untuk menuju desa kecil yang masih asri tersebut harus ditempuh dengan kendaraan pribadi atau ojek yang biasa mangkal di desa sebelah. Tak ada angkutan umum yang melintas desa, sehingga jasa ojek menjadi pilihan warga desa. Meski harus membayar uang ojek yang mahal tetapi warga yang tidak mau kecapekan sampai di rumah mengunakan jasa ojek. Bagi warga yang hidup pas-pasan terpaksa harus jalan kaki menembus jalanan berbatu atau mengunakan sepeda.
            Suara keras laki-laki berpakaian bagus itu saat menegur pekerjanya mengangetkan Sekar. Tas sekolahnya hampir terlepas dari bahunya. Dengan  hati-hati Sekar beringsut  agak menjauh dari kesibukan orang-orang kota. Sekar tidak tahu persis orang-orang itu mau mengerjakan apa, tetapi yang jelas seperti sedang membuat  sebuah bangunan. Sekar bergegas pulang ketika mendengar adzan dhudhur berkumandang. Berarti sudah hampir 1 jam Sekar berada di tempat itu, mestinya Sekar sudah di rumah. Setengah berlari Sekar membelah siang dengan menutupi kepalanya dengan tas sekolahnya. Mudah-mudahan ibu tidak marah karena Sekar pulang terlambat, doa Sekar dalam hati.
**
            Setiap sore hari setelah sholat ashar, bapak dan ibu biasa duduk-duduk  diteras rumah sambil melepas lelah setelah bekerja seharian di sawah. Mereka terbiasa membicarakan berbagai hal yang terjadi hari itu sembari menunggu adzan magrib berkumandang. Sekar dan Satrio adiknya tak mau ketinggalan, terkadang ikut duduk-duduk, tetapi tak jarang Satrio asyik bermain mobil-mobilan sendirian.
            Bapak tampak asyik mengisap rokok tengwe, tampak asap tebal bergulung  dari  rokok yang biasa di hisap warga desa. Tak perlu membeli rokok ke warung, bapak dan sebagian warga desa lainnya sudah terbiasa meracik rokok sendiri, rokok tengwe. Hanya butuh tembakau, klobot pembungkus dari lapisan jagung, dan sedikit cengkeh.  Tak perlu keahlian khusus untuk membuatnya, Sekar pun bisa membuat rokok tengwe, hanya butuh tembakau  yang  ditaburi sedikit cengkeh kemudian di gulung dengan klobot.
            Ibu duduk di kursi panjang sambil membersihkan beras, ada beberapa kerikil yang tercampur dengan beras. Kalau ibu tak sempat memilah kerikil, sesekali kerikil bisa ikut dalam suapan karena bercampur dengan nasi yang sudah di masak.
            “Pak, tanah di pojok desa itu mau dibangun apa ya?” Sekar duduk mendekati bapak, tangannya menutup hidung karena tak  tahan dengan bau tembakau yang cukup mneyengat. Meskipun Sekar sudah beberapa kali mengingatkan bapak untuk mengurangi merokok, tetapi Sekar tetap senang membantu melintingkan rokok buat bapaknya.
            “Memang kenapa?”tanya bapak heran dengan pertanyaan Sekar. Setelah terbatuk-batuk sebentar, bapak menyelesaikan hisapan terakhir rokok tengwe-nya. Rokok yang tersisa di matikan dengan menyentuhkan pada kursi , kemudian di lempar ke halaman. Satu kebiasan yang tak disukai Sekar, tetapi tetap saaja dilakukan bapak. Dengan bersungut-sungut Sekar memungut puntung rokok dan di buang ke tempat sampah di dekat teras.
            “Sekar melihat banyak truk datang membawa bahan bangunan. Ada juga yang mulai membuat lobang, membuat bangunan dari triplek . Pokoknya banyak keramaian di sana pak,”
            “Kabarnya memang mau dibangun tempat untuk penginapan. “ jawab bapak datar.
            Sekar mengerutkan keningnya, tak begitu paham dengan penjelasan bapak. “Buat apa dibangun penginapan pak? Memang siapa yang akan menyewa? “
            Bapak tak segera menjawab, tangannya meraih gelas berisi segelas kopi kental di meja. Sekali teguk setengah kopi kental panas sudah tandas. Nampak kepuasan di wajah bapak setelah rokok dan kopi ludes  dalam waktu yang cepat.
            “Pak...?” Sekar terus mendesak penjelasan bapak. Satu kebiasaan Sekar yang terkadang membuat bapak tak mampu menjawabnya. Meskipun Sekar baru kelas V tetapi rasa ingin tahunya sedemikian besar. Banyak hal yang sering ditanyakan ke bapak dan ibu, tetapi kadang-kadang  kedua orangtuanya tak mampu untuk memberi penjelasan yang memuaskan. Meskipun hanya bekerja sebagai petani , bapak cukup pintar dan punya banyak pengalaman. Tetapi untuk menjawab semua rasa ingin tahu anak sulungnya, kemampuan bapak tak cukup memadai. “ Ya bapak belum tahu banyak. Coba kapan-kapan bapak tanyakan ke pak Lurah kalau ketemu ya.” Jawaban bapak cukup memuaskan Sekar, karena dia tahu bapaknya biasa menghadiri pertemuan pengurus  RW yang terkadang di hadiri pak Lurah. Sekar berharap pak Lurah akan memberikan penjelasan yang dia butuhkan.
**

            Sekar asyik bermain air dengan Satrio dan teman-temannya di sungai pojok desa. Sungai itu dialiri air yang jernih, dan melimpah. Selain dipergunakan untuk mandi, berendam, mencuci baju  juga sebagai arena permaian anak-anak. Meskipun cukup dalam, tetapi batu-batu besar dan kecil  terlihat dengan jelas dari permukaan sungai. Di bagian pinggir ibu-ibu biasa mencuci baju, sedangkan ditengah dipergunakan untuk permainan arum jeram, mengunakan ban bekas. Arus yang cukup deras dengan terjalan batu membuat permainan arum jeram mengasyikkan. Hampir semua anak di desa  sudah pernah merasakan permainan yang tak membutuhkan biaya serupiahpun.
            Sekar tertawa melihat teman-temannya menjerit kesenangan karena ban yang di naiki terbalik. Bagi mereka, permainan itu asyik dan sangat berharga. Untuk ukuran warga desa, tak mudah menikmati permainan, sehingga bermain di sungai itu menjadi satu-satunya hiburan yang dapat dinikmati anak-anak.
            Pandangan Sekar terpaku pada kesibukan para pekerja di lahan pojok desa. Pandangan matanya sesekali berhenti pada keasyikan teman-temannya di sungai. Jarak bangunan dan sungai  tak lebih dari 100 meter, sehingga semua nampak jelas dari sungai. Sudah sekitar 3 bulan, puluhan pekerja tak henti menyelesaikan berbagai bangunan yang sekarang sudah nampak bentuknya. Puluhan kamar-kamar, bangunan besar seperti  rumah makan, ruang pertemuan dalam proses penyelesaian.   
               Bapak belum menjawab pertanyaan Sekar tempo hari, karena belum dijawab juga oleh pak Lurah. Kata bapak, pak Lurah belum bisa memberikan kepastian. Hanya saja bangunan itu milik orang kota yang telah membeli lahan pekarangan dari pemilik sebelumnya. Tetapi Sekar sebenarnya sudah mengetahui semua bangunan itu dari para pekerja bangunan. Rasa penasaran Sekar yang dalam mendorongnya mencari informasi  sendiri. Dan Sekar tahu kalau bangunan itu akan dijadikan penginapan  dengan berbagai fasilitas lainnya seperti rumah makan dan ruang pertemuan. Pemilik penginapan  itu akan mendorong sungai yang biasa dipergunakan warga  menjadi tempat wisata arum jeram.   Kabarnya  akan dilengkapi sarana permainan lainnya seperti flying fox, tempat outbond, dll. Penginapan dan restouran untuk mendukung tempat wisata tersebut. Yang membuat Sekar terkejut karena sungai dan lahan disekitarnya sudah dibeli oleh orang kota itu.
            Sekar termangu untuk sekian kalinya. Kalau semua ini sudah dibeli, berarti tak akan ada lagi tempat permaianan gratis yang selama ini dipergunakan anak-anak desa. Kemana lagi Sekar dan teman-temannya akan bermain? Sekar tergagap oleh teriakan Sri, temannya yang mengajak Sekar segera turun ke sungai. Rupanya Sekar melamun cukup lama. Tak ingin mnegecewakan Sri, Sekar segera menyusul Sri naik ke ban yang segera meluncur. Sekar tertawa-tawa mengiringi tawa riang teman-temannya. Tinggal menghitung hari mereka semua masih bisa menikmati permainana itu, batin Sekar sedih.***
           

Tidak ada komentar: