Hus..hus..hus….
Kucing hitam itu hanya memandang tak berkedip, seperti tak terusik sama sekali. Ia tetap duduk dengan posisi semula.
Hus..hus… Buk!
Meong!
Dayat
mengusir kucing itu dengan jengkel. Kali ini sebuah tepukan kasar dari
sapu ijuk mendarat di punggung kucing hitam yang mengaduh sambil
memelototi Si Empunya Sapu. Pandangan matanya galak, menantang. Tubuhnya
berdiri tegak dengan ekor menjulang, bersiap untuk menerjang. Sesekali
taringnya yang tajam diperlihatkan.
Jerih juga Dayat di pandang
kucing yang kalap itu. Ada sebersit penyesalan mengelayuti hatinya,
tetapi cepat dibuangnya jauh-jauh. Huh, itu hanya seekor kucing kampung
yang menjengkelkan, katanya sambil membanting pintu. Lega. Ia terhindar
dari mata tajam itu, setidaknya untuk beberapa saat.
**
Sudah
seminggu ini kucing hitam itu terus duduk di teras rumah Dayat. Tenang,
tak bergeming tetapi kelihatan waspada. Meskipun kucing itu tidak masuk
rumah dan tidak mencuri makanan, tetapi ia tak nyaman juga.
Berulangkali ia mencoba mengusir tetapi kucing itu hanya pergi sebentar
dan kemudian entah dari mana datangnya makluk berbulu itu kembali duduk
tenang di teras. Sepertinya kucing itu sengaja duduk di teras rumahnya
untuk menterornya. Jelas itu. Dayat yakin karena melihat mata kucing itu
menyiratkan kebencian sangat padanya. Ia jelas sengaja membuat hidupnya
tidak tentram. Dan kucing sialan itu berhasil. Ya sangat berhasil
membuatnya tidurnya tidak nyenyak lagi.
Dayat tinggal
sendirian, menyewa sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Tidak
terlalu jauh dari tempat kerjanya, hanya butuh waktu 30 menit untuk
mencapai kantornya yang berada di pusat kota. Meskipun sederhan, tetapi
Dayat cukup puas karena lingkungan rumahnya masih asri. Perumahan lama
tetapi masih banyak tanah kosong yang belum dibangun. Udaranya sejuk
karena banyak pohon rindang di tepi jalan sepanjang perumahan. Sudah
hampir setahun lebih Dayat tinggal di situ dan ia meresa betah.
Oahem….
Berulang kali ia menguap, kantuk sudah sedari tadi menghampirinya
tetapi matanya tak juga terpejam. Ingatan pada kucing hitam itu
membuatnya terus dilanda kekhawatiran. Dayat mencoba mengingat-ingat
maklum berkumis itu. Kenapa ia senang duduk di teras rumah? Sepertinya
sedang mengawasi sesuatu, atau menunggu sesuatu? Ach entahlah.
Meong…meong…meong….
Suara
itu terdengar sayup-sayup tetapi perlahan jelas sekali tertangkap
telingganya. Terdengar mirip jeritan ditingkahi kesedihan yang memilukan
. Dayat bergidik, seluruh kuduknya berdiri. Perlahan tetapi pasti suara
kucing itu mengiris hati, kesakitan dan berlumuran derita.
Dayat…Dayat….Dayat….
Bisikan
itu terdengar perlahan mirip desahan angin, tetapi terus berdeging di
telingga Dayat. Amat jelas sehingga membuatnya terus berjaga.
Berkali-kali ia dilanda keresahan, menutup telingganya dengan bantal
berharap suara itu menghilang. Tetapi tetap saja rintih kucing itu
terdengar jelas.
Beberapa lamanya ia berkutat dengan bantal,
sampai kemudian ia memutuskan untuk mengusir kucing hitam itu. Dengan
marah Dayat memegang sapu dan menyalakan lampu teras.
Byar! Tak ada
siapa-siapa. Tak ada sosok kucing hitam itu. Hanya desau angin yang
terdengar lembut berayun membuat dinginnya malam semakin terasa.
Dayat beranjak dengan kesal, kembali ke kamar dan berusaha untuk tidur.
**
Kring…kring….
“Ya, halo..”
“Sudah
mau berangkat kerja, Mas?” suara Ndari dari seberang sana terdengar
begitu jernih. Sejak setahun yang lalu ia hidup terpisah, karena bekerja
di luar kota. Dua minggu sekali Dayat pulang untuk menemui istrinya
yang masih tinggal bersama mertuanya. Rencananya kalau Ndari sudah
melahirkan, ia akan memboyong istri dan anaknya ke sini.
“Iya, sudah siap-siap.”jawab Dayat sambil mengikat tali sepatunya.
“Sudah minum teh, Mas?”
“Belum
sempat, bangun kesiangan. Nanti sekalian saja sarapan,” jelas Dayat.
Menjelang dini hari matanya baru bisa terpejam setelah berusaha
menghilangkan suara kucing dari telingganya. Ia bangun kesiangan dan
tidak sempat membuat teh. Selama di kontrakan, setiap pagi ia hanya
minum teh panas untuk penghangat perut, baru sarapan di warung dekat
kantornya.
“Gimana anakku? Sehat saja, Dik?” tanya Dayat antusias. Ia
selalu senang mendengarkan perkembangan janin yang lima bulan lagi akan
lahir.
“Iya, baik, sehat. Mas hati-hati di jalan ya. Jangan ngebut. Ingat jangan sampai menabrak kucing,” pesan Ndari serius.
Deg. Hati Dayat bergetar. Kucing? Kenapa Ndari bicara soal kucing?
“Mas?”
“Eh,
iya, iya. Mas berangkat dulu ya. Kamu juga harus hati-hati. Jaga anak
kita ya, Dik,” pesan Dayat sambil mengucapkan kecupan untuk istri dan
anaknya.
“Daggg.”
**
“Wajahmu kok burem
gitu, Yat. Matamu merah lagi,” tegur Anton, teman sekantor Dayat tak
berpaling dari papan laptopnya. Tangannya menari-nari dengan lincah.
“Iya,
aku kurang tidur,” jawab Dayat tanpa semangat. Seharian ia sudah
bersusah payah menahan kantuk dengan berbagai cara. Minum kopi,
menghisap rokok, bolak balik ke kamar mandi untuk mencuci muka, tetapi
berkali-kali mulutnya toh tetap menguap . Meskipun tidak sampai satu jam
lagi waktunya pulang, tetapi Dayat sudah tidak sabar lagi. Matanya
sudah ingin di pejamkan rapat-rapat. Bayangan kasur empuk menari-nari di
pelupuk matanya. Tidur, hanya itu yang ia harapkan.
“Nglembur?”
Dayat mengeleng.
“Mikirin apa sampai kurang tidur?” Kali ini Anton menatapnya. Menghentikan gerakan jemarinya.
“Nggak
bisa tidur. Semalam ada suara kucing berisik. “ sungut Dayat kesal.
Sekali lagi ia menutup mulutnya saat tak bisa menahan diri untuk
menguap.
“Hahahaha, ya usir saja, suruh pergi,” kata Anton enteng.
“Masalahnya
kucing itu nggak mau pergi. “ Dayat sengaja berbohong tidak mengatakan
kalau sebenarnya tidak ada kucing semalam saat ia mencarinya di teras.
Ia khawatir Anton mentertawakannya.
“Ya, usir dengan saja. Tapi jangan kasar. Kasihan,” tambah Anton lagi.
Hoahemm..
Dayat membenahi kertas kerja dan laptopnya.
Syukurlah,
batinnya lega saat jam menunjukkan pukul 17.00. Ia bisa segera pulang
dan bebas membayar tidur yang belum terpuaskan tadi malam.
“Aku pulang dulu, Ton. Sudah tidak tahan ngantuk,” teriaknya sambil keluar dari kantor.
“Iya, hati-hati. Jangan ngebut, kamu ngantuk. “
“Sip,” jawab Dayat sambil mengacungkan jempolnya.
“Eh, Yat. Jangan sampai nabrak kucing ya. Ingat pamali,” teriak Anton saat tinggal melihat punggung temannya.
“Oke,” balasnya sambil bergegas. Kucing lagi..kucing lagi, rutuknya sebal. Kenapa seharian kucing menjadi pembicaraan penting?
Dayat menjalankan motornya dengan cepat.
***
Citttttttttttttttttttt!
Brak!
Meong…meong…
Kucing
hitam itu mengeong pelan dua kali. Matanya melotot ke arah Dayat.
Setelah bergerak-gerak tak karuan beberapa kali, ia mengeong lemah
menahan sakit kemudian diam tidak bergerak.
Dayat memucat, menahan
jerih. Meskipun ia tidak suka dengan kucing tetapi melihat kucing mati
dengan usus terburai membuat perutnya mulas.
Setelah memastikan tidak
ada yang melihatnya, ia bergegas memacu sepeda motornya. Itu bukan
salahnya, kucing itu menyeberang dengan sembarangan. Tidak melihat motor
melintas dan Dayat tidak sempat menghindarinya.
Sepanjang
perjalanan hati Dayat terus berkecamuk. Ia mengutuk sifat pengecutnya,
tidak berani mengambil kucing itu dan menguburnya dengan baik. Kenapa ia
membiarkan kucing itu tergeletak begitu saja? Seharusnya kucing itu
dirawatnya dengan layak. Tapi itu bukan kesalahnnya. Kucing itu yang
salah. Ach, itu hanya kucing, pasti tidak ada yang kehilangan, seru sisi
hatinya yang lain.
***
“Awas… ada kereta .” Terdengar teriakan panjang dan keras dari beberapa orang.
Dayat
terbeliak, moncong kereta sudah mendekatinya. Ia lupa kalau melewati
palang kereta api tanpa penjaga. Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk
menahan laju motornya, tetapi kesadarannya terlambat datang.
BRAK!
DUAR!
Tubuhnya
terpental jatuh tepat di depan moncong kereta, berlawanan dengan
motornya yang terpental di seberang rel. Dayat menjerit ngeri saat roda
besi itu beberapa centi di depannya , siap melumat habis tubuhnya. Saat
itu ia mendengar lamat-lamat bunyi kucing mengeong persis di
telingganya. Bayangan kucing hitam berkelebat dengan cepat sebelum ia
menutup mata.***
_Solo, 8 September 2015_
gambar:www.kaskus.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar