"Kalau semua beli, sayang uangnya," tutur
Ibu A, seorang perempuan dari Desa Rambai, Kecamatan Pangkalan Lampam,
Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan.
Tangannya sibuk memeras singkong yang telah di parut/dihaluskan di atas sehelai kain blacu. Putaran tanganya kuat hingga tetes-tetes air dari singkong tak bersisa lagi. Beberapa kali ia mengupas peluh di dahinya dengan ujung lengan baju.
Bukan pekerjaan yang ringan meskipun saat memarut singkong dibantu dengan mesin. Ya, alat bantu mesin pemarut cukup meringankan beban ibu A. Ia tinggal memeras untuk menghabiskan air dari singkong dan setelah itu menjemurnya.
Proses pembuatannya membutuhkan ketelatenan. Singkong di kupas sampi bersih, kemudian di masukkan air sambil di bersihkan. Setelah singkong dibersihkan kemudian di tiriskan hingga air tidak lagi menetes. Proses berikutnya singkong satu persatu di masukkan ke dalam mesin pemarut singkong. Setelah itu parutan singkong di peras diatas sehelai kain. Proses pemerasan harus sampai kering agar rasa tepung tidak langu(tidak enak). Agar tepung tidka mengumpal, adonan singkong tersebut harus di tekan-tekan di sebuah alas yang berlubang-lubang seperti saringan tetapi besar. Baru kemudian di jemur sampai kering.
Singkong parut di peras sampai airnya kering
Selain membuat tepung singkong, ibu-ibu tersebut biasa membuat kerupuk dari singkong. Proses pembuatan hampir sama, setelah singkong di parut dan airnya di hilangkan, kemudian adonan diuleni/dicampur dengan bumbu-bumbu dan pewarna makanan sesuai selera. Kemudian di masukkan ke dalam kulkas agar adonan lebih mengental sehingga tidak pecah/hancur saat diiris. Biasanya semalaman. Baru keesokan harinya di iris tipis kemudian di jemur.
Kerupuk dari singkong, gurih, enak, halal, dan puas karena buatan sendiri.
Ibu A, tidak sendirian, sebagian besar ibu-ibu di desa Rambai melakukan hal yang sama. Membuat tepung dari singkong. Mereka sudah terbiasa membuatnya, selain irit, higienis juga memanfaatkan singkong tanaman sendiri yang berbuat lebat di kebun. Ibu-ibu meneruskan apa yang dilakukan orangtua mereka, tidak tergantung kepada tepung buatan pabrik. Mereka justru mengandalkan buatan tangan sendiri, produksi mereka sendiri hasil bertanam.
Bukan karena tidak mempunyai cukup uang, mereka toh orang-orang yang mampu. Bahkan ibu A mempunyai berhektar-hektar ladang di hutan yang ditanami karet. Selain itu ia juga hidup berkecukupan. Suaminya mempunyai usaha penjualan kayu, yang lebih dari cukup untuk hidup mereka sekeluarga. Hasil ladang karet juga memadai, setipa harinya mereka menyadap karet dan dijual sehingga tersedia uang tunai. Selain itu, mobil keluaran terbaru juga terparkir di halaman rumah.
Ibu B juga sama, ia hidup cukup dengan membuka usaha toko kelontong di rumahnya. Pekerjaan suami sebagai petani juga cukup memadai, karena anak-anaknya sudah berkeluarga dan hidup mandiri. Tetapi ia juga tidak berpangku tangan, di sela-sela menjaga toko kelontongnya, ia seperti ibu yang lain membuat tepung dari singkong.
Singkong memang ditanam di kebun mereka, dari singkong mereka bisa merebus untuk selingan nasi, mengoreng untuk camilan dan mengolah menjadi tepung dan kerupuk singkong.
Meskipun tidak sederhana cara membuatnya, tetapi mereka senang bisa membuat salah satu kebutuhan sehari-hari dari tangan mereka sendiri.
Sejatinya mereka perempuan mandiri, tanpa kenal lelah menyediakan kebutuhan keluarga. Pagi selepas anak-anak sekolah, mereka biasa membantu suami ke ladang karet untuk menyadap karet. Selebihnya mengurus rumah tangga salah satunya membuat tepung dan kerupuk.
Bertahun-tahun, bahkan mereka mengaku lupa kapan terakhir membeli tepung dan kerupuk, karena mereka selalu membuat kedua jenis makanan tersebut.
Pemanfaatan kebun dengan menanam singkong kemudian di olah menjadi beragam makanan sehari-hari membuat mereka merasa bangga karena bisa menyediakan pangan olahan tangan sendiri, membantu meringankan beban suami karena bisa berhemat dan yang paling penting adalah ikut melestarikan pangan lokal.Murah meriah tetapi tetap bernilai gizi tinggi.
ibu-ibu di Desa Rambai, tekun, rajin melestarikan pangan lokal
_Solo, 26 September 2015_
Tangannya sibuk memeras singkong yang telah di parut/dihaluskan di atas sehelai kain blacu. Putaran tanganya kuat hingga tetes-tetes air dari singkong tak bersisa lagi. Beberapa kali ia mengupas peluh di dahinya dengan ujung lengan baju.
Bukan pekerjaan yang ringan meskipun saat memarut singkong dibantu dengan mesin. Ya, alat bantu mesin pemarut cukup meringankan beban ibu A. Ia tinggal memeras untuk menghabiskan air dari singkong dan setelah itu menjemurnya.
Proses pembuatannya membutuhkan ketelatenan. Singkong di kupas sampi bersih, kemudian di masukkan air sambil di bersihkan. Setelah singkong dibersihkan kemudian di tiriskan hingga air tidak lagi menetes. Proses berikutnya singkong satu persatu di masukkan ke dalam mesin pemarut singkong. Setelah itu parutan singkong di peras diatas sehelai kain. Proses pemerasan harus sampai kering agar rasa tepung tidak langu(tidak enak). Agar tepung tidka mengumpal, adonan singkong tersebut harus di tekan-tekan di sebuah alas yang berlubang-lubang seperti saringan tetapi besar. Baru kemudian di jemur sampai kering.
Singkong parut di peras sampai airnya kering
Selain membuat tepung singkong, ibu-ibu tersebut biasa membuat kerupuk dari singkong. Proses pembuatan hampir sama, setelah singkong di parut dan airnya di hilangkan, kemudian adonan diuleni/dicampur dengan bumbu-bumbu dan pewarna makanan sesuai selera. Kemudian di masukkan ke dalam kulkas agar adonan lebih mengental sehingga tidak pecah/hancur saat diiris. Biasanya semalaman. Baru keesokan harinya di iris tipis kemudian di jemur.
Kerupuk dari singkong, gurih, enak, halal, dan puas karena buatan sendiri.
Ibu A, tidak sendirian, sebagian besar ibu-ibu di desa Rambai melakukan hal yang sama. Membuat tepung dari singkong. Mereka sudah terbiasa membuatnya, selain irit, higienis juga memanfaatkan singkong tanaman sendiri yang berbuat lebat di kebun. Ibu-ibu meneruskan apa yang dilakukan orangtua mereka, tidak tergantung kepada tepung buatan pabrik. Mereka justru mengandalkan buatan tangan sendiri, produksi mereka sendiri hasil bertanam.
Bukan karena tidak mempunyai cukup uang, mereka toh orang-orang yang mampu. Bahkan ibu A mempunyai berhektar-hektar ladang di hutan yang ditanami karet. Selain itu ia juga hidup berkecukupan. Suaminya mempunyai usaha penjualan kayu, yang lebih dari cukup untuk hidup mereka sekeluarga. Hasil ladang karet juga memadai, setipa harinya mereka menyadap karet dan dijual sehingga tersedia uang tunai. Selain itu, mobil keluaran terbaru juga terparkir di halaman rumah.
Ibu B juga sama, ia hidup cukup dengan membuka usaha toko kelontong di rumahnya. Pekerjaan suami sebagai petani juga cukup memadai, karena anak-anaknya sudah berkeluarga dan hidup mandiri. Tetapi ia juga tidak berpangku tangan, di sela-sela menjaga toko kelontongnya, ia seperti ibu yang lain membuat tepung dari singkong.
Singkong memang ditanam di kebun mereka, dari singkong mereka bisa merebus untuk selingan nasi, mengoreng untuk camilan dan mengolah menjadi tepung dan kerupuk singkong.
Meskipun tidak sederhana cara membuatnya, tetapi mereka senang bisa membuat salah satu kebutuhan sehari-hari dari tangan mereka sendiri.
Sejatinya mereka perempuan mandiri, tanpa kenal lelah menyediakan kebutuhan keluarga. Pagi selepas anak-anak sekolah, mereka biasa membantu suami ke ladang karet untuk menyadap karet. Selebihnya mengurus rumah tangga salah satunya membuat tepung dan kerupuk.
Bertahun-tahun, bahkan mereka mengaku lupa kapan terakhir membeli tepung dan kerupuk, karena mereka selalu membuat kedua jenis makanan tersebut.
Pemanfaatan kebun dengan menanam singkong kemudian di olah menjadi beragam makanan sehari-hari membuat mereka merasa bangga karena bisa menyediakan pangan olahan tangan sendiri, membantu meringankan beban suami karena bisa berhemat dan yang paling penting adalah ikut melestarikan pangan lokal.Murah meriah tetapi tetap bernilai gizi tinggi.
ibu-ibu di Desa Rambai, tekun, rajin melestarikan pangan lokal
_Solo, 26 September 2015_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar