Rabu, 14 Oktober 2015

Ibu Kenapa Kakak Berbeda


....setiap anak dilahirkan dengan membawa keunikan dan keistimewaan tertentu, maka syukurilah semua anugrah Tuhan ..


“Ibu, kenapa kakak berbeda?” tanya seorang anak kepada ibunya. Si Ibu hanya memandang anaknya sekilas dan mencoba mengalihkan pembicaraan dengan memberikan gadget kepada anak perempuan berponi tersebut.

Pagi itu, kami sedang menunggu antrian di sebuah rumah sakit. Kebetulan saya menunggu di depan periksa dokter mata. Saya tidak tahu siapa yang di tunggu ibu dan anak perempuan cantik itu. Tetapi saya melihat di sebelah, ada sebuah ruangan tertulis Ruang Okupansi. Saya langsung menebak kalau ibu itu sedang mengantar anaknya periksa di Ruang Okupansi.

“ Bu? Kakak?” tanya anak perempuan itu lagi. Wajah polos anak enam tahun itu terus menunggu, menanti jawaban dari ibunya yang tak kunjung menuntaskan rasa penasarannya.
“Sstttttt…..DIAM ” bentak Si Ibu membuat wajah anak itu mengkeret dan beralih ke layar gadget. Wajah Si Ibu tampak merah dan sesekali melihat kursi kanan dan kiri, ke pengantri lainnya, ia berusaha menyembunyikan rasa malu.
Belum sampai dua menit, Si Ibu meminta anaknya diam, tiba-tiba dari Ruang Okupansi terdengar teriakan-teriakan ribut suara anak kecil dan orang dewasa yang mencoba membujuk.
Dengan cepat, Si Ibu langsung berdiri dan masuk ke ruangan tersebut. Saya tidak tidak apa yang terjadi, tetapi suara ribut anak kecil semakin mengeras dan suara ibu dan seorang suster terus membujuknya untuk tidak rewel.

Tiba-tiba seorang anak laki-laki sekitar sekitar umur 8 tahun berlari keluar ruangan sambil menelengkan kepala, miring-miring dan meracau tidak jelas. Suaranya ah, uh tidak jelas. Si Ibu mengejarnya , membujuk, menarik tangan , tetapi tidak dihiraukan si anak yang berdiri tegak di dekat tembok. Ia cuek saja dengan bujukan ibu. Bahkan ketika ibunya memberikan sebuah HP, dengan cueknya ia ambil dan di otak atik sebentar . Saat suara sebuah lagu anak-anak terdengar, ia senang, mengoyang-goyangkan kaki dan badannya. Ibu itu terus membujuk agar anaknya mau masuk, bahkan dengan ancaman HP akan diambil kalau tidak mau menurut. Lagi-lagi Si Anak cuek saja, asyik dengan musik yang dia dengarkan dari HP.
Kesabaran ibu itu habis, ia membentak dan menarik tangan anaknya dengan kasar, tetapi dibalas dengan suara lengkingan marah dan hentakan kaki Si Anak. Kemudian, lagi-lagi ia asyik lagi dengan HPnya. Saat seorang suster membantu membujuknya, ia tidak tergerak. Bahkan saat adiknya ikut menghampiri dan menarik tangannya , ia tetap tak peduli.

Beberapa orang yang antri mau tidak mau memperhatikan Si Anak laki-laki itu. Saya juga ikut memperhatikan. Semula ingin ikut membujuk tetapi tidak jadi lantaran suster yang membujuk tidak mampu membuat ia tergerak dan akhirnya menyerah, meninggalkan ibu dan Si Anak Laki-laki berdiri di dekat tembok. Si Ibu marah, gelisah, salah tingkah dan berkali-kali melihat ke arah kami dengan wajah masam.
Saya perhatikan, Si Anak tersebut anak berkebutuhan khusus. Kemungkinana anak autis, melihat keterlambatan bicara, keasyikan bermain sendiri, hiperaktif motorik, tertawa sendiri, marah tanpa sebab, asyik dengan dunianya sendiri.

Saya jadi teringat dengan anak tetangga satu komplek perumahan. Sejak kecil ia memang tidak dianugrahi kemampuan fisik yang sama dengan teman lainnya. Ia difabel / different abilities people (orang dengan kemampuan yang berbeda). Tidak bisa berjalan, dan untuk melakukan kegiatan fisik harus dibantu orang lain. Ia anak sulung (saat ini usia 16 tahun) dan mempunyai seorang adik. Hebatnya keluarga tetangga saya ini, sejak kecil ia tidak pernah malu untuk mengenalkan anaknya kepada orang lain. Terhitung ia orang baru, bukan penghuni pertama di komplek perumahan sehingga saat ia pindah , semua tetangga tahu kondisi anaknya. Meskipun kemana-mana menggunakan kursi roda, ibu dan suaminya tidak pernah berusaha menyembunyikan keadaan anaknya. Saat ada acara di RT, ia selalu membawa anaknya dalam kursi roda. Dan hebatnya lagi ia memperlakukan anaknya seperti anak –anak lainnya .
Saya salut melihat anak keduanya/adik Si Sulung juga biasa saja, menerima keadaan kakaknya dan mengajak bermain kakaknya. Terlihat ia tidak terbebani dengan keadaan kakaknya.
Suatu saat saya pernah bertanya, bagaimana ibu bisa mengkondisikan anak kedua sehingga mampu menerima kakaknya yang mempunyai kemampuan berbeda tersebut?
Jawaban ibunya sungguh mengharukan,” Anak itu  amanah Tuhan, seperti apapun keadaanya harus bisa kita terima dengan lapang dada. Masih banyak yang tidak mempunyai keturunan, dan saya dipercaya untuk merawat anak saya. Untuk itu, kami harus bisa menerima dan memperlakukan seperti orang biasa. Adiknya sejak kecil, saat ia mengenal kakaknya ya kami kondisikan keadaan kakaknya. Dan ia bisa menerima itu.”

Memang saat ini sebagian besar masyarakat sudah mulai terbiasa melihat orang difabel, tidak menganggap orang yang ‘aneh’. Meskipun tidak menutup mata, mungkin masih saja ada yang beranggapan aneh dengan orang-orang berkebutuhan khusus. Saat masyarakat mulai terbiasa dan menganggap difabel seperti mereka, sayangnya masih saja ada keluarga yang mempunyai anggota keluarga difabel belum cukup ‘nyaman’ membaurkan anggota keluarga tersebut di tengah masyarakat. Rasa rendah diri, malu, takut dipermalukan, dll  menjadi alasanannya. Yang lebih memprihatinkan saat anggota keluarganya sendiri ‘belum bisa’ menerima kehadiran keluarganya yang lain daripada yang lain itu.

Belajar dari pengalaman tetangga saya, sejak dini sangat penting untuk mengkondisikan keluarga untuk menerima anggota keluarga yang kebetulan difabel. Secepatnya memberikan pengertian dan penjelasan , diharapkan secepat itu pula keluarga bisa memahami dan menerima perbedaan keluarganya. Sehingga keluarga tidak sampai bertanya-tanya tentang perbedaan, tidak malu dan rendah diri. Keluarga adalah kekuatan dan beteng pertahanan utama bagi anggota keluarganya, sehingga semestinya keluargalah yang akan menjadi pelindung saat anak difabel mendapatkan ketidaknyamanan dari lingkungannya.

 Solo, 27 Agustus 2015_

Tidak ada komentar: