Rabu, 14 Oktober 2015

Jangan Ada Lagi 'Orang Miskin Dilarang Sakit'

Sedia payung sebelum hujan, peribahasa itu tepat untuk masyarakat yang ingin hidupnya lebih nyaman, aman dan tidak panik saat tiba-tiba sakit. Pastilah tidak ada seorangpun  yang ingin sakit, tetapi jika sakit datang, siapa yang bisa menolaknya?
Wes awak loro, isih mikir biayane” (Sudah merasakan sakit, masih harus memikirkan biaya berobat ) keluhan seperti itu biasa saya dengar. Dan saya sendiri juga merasakan hal yang sama. Seperti jatuh masih tertimpa tangga pula. Nasib jelek yang bertumpuk-tumpuk.

Kami sendiri pernah merasakan hal yang sama. Saat anak-anak masih kecil, tiba-tiba sakit dan harus di opname. Kebetulan kami tidak mempunyai asuransi kesehatan, sehingga biaya rumah sakit yang cukup tinggi bagi kami ( tahun 2003 dua anak sakit masuk rumah sakit karena diare, opname 3 hari dengan biaya sekitar Rp 4,5 juta) harus ditebus dengan mengambil tabungan yang kami kumpulkan sedikit demi sedikit selama bertahun –tahun untuk keperluan lain. Rasanya kerja keras bertahun-tahun habis dalam sekejap. Tetapi demi anak, apapun akan kami lakukan.

Selain biaya yang cukup tinggi saat anak-anak masuk rumah sakit, biaya berobat jalan ke dokter juga cukup menguras kantong kami yang hanya  pegawai biasa di salah satu kantor swasta. Beruntung kami jarang sakit, hanya sesekali sakit ringan yang tidak memerlukan opname. Hanya anak kami  yang beberapa kali  sakit.

Premi Terjangkau Bikin Hidup Nyaman
Senang dan lega, itulah perasaan kami, saat tahun 2014, pemerintah mempunyai program Jaminan Kesehatan Nasional yang terkenal dengan BPJS Kesehatan.

Rasanya tak salah lagi, program ini meringankan beban masyarakat seperti kami. Saat asuransi  kesehatan lain tak bisa kami jangkau karena mematok premi tinggi , rata-rata diatasRp 350.000 pernasabah /bulan, dengan ikut BPJS Kesehatan hanya cukup merogoh kantong Rp 59.500/bulan/orang untuk kelas 1. Sementara untuk kelas 2 hanya Rp 42.500/bulan/orang dan kelas 3 denga Rp 25.500/bulan/orang.
Sampai dua bulan pertama sejak diluncurkan, kami mengikuti informasi seputar BPJS Kesehatan. Pernah langsung mau ngurus kepesertaan tetapi urung karena setiap datang ke kantor BPJS Kesehatan selalu penuh orang yang antri. Saya melihat antusias masyarakat cukup tinggi untuik mendaftar.

Akhirnya tanggal 6 Maret 2014, saya datang ke kantor BPJS Kesehatan di kota Solo. Karena baru berjalan di bulan ketiga, antrian panjang mengular. Saya harus sabar untuk dilayani karena lebih dari tiga loket Customer Service (CS) dibuka untuk melayani pendaftar. Sekitar satu jam kemudian saya mendapatkan giliran dilayani para petugas yang ramah dan memberikan penjelasan yang saya butuhkan. Proses berlangsung dengan cepat, sampai saya mendapatkan kartu peserta BPJS kesehatan setelah membayar
premi untuk satu
 bulan.

Hari itu juga, kami sekeluaraga resmi terdaftar sebagai anggota BPJS Kesehatan secara mandiri. Hidup kami rasanya lebih nyaman karena untuk urusan kesehatan sudah tidak terbebani.
Selama setahun lebih kami menjadi peserta, sudah berkali-kali kami menggunakan kartu BPJS untuk berobat ke dokter keluarga. Beberapa kali juga menggunakan rujukan dokter faskes pertama untuk berobat ke rumah sakit. Saat berobat, tidak usah pusing memikirkan biaya. Tinggal membawa kartu dan menunggu antrian. Sementara untuk berobat ke rumah sakit tinggal menyiapkan berkas rujukan dan kartu peserta serta  antri di rumah sakit.

Kami benar-benar merasakan keuntungan menjadi peserta BPJS kesehatan karena:
 Pertama, hidup kami menjadi lebih nyaman karena ada jaminan pengobatan saat keluarga  sakit. Tidak perlu mengeluarkan biaya besar saat berobat apalagi kalau sampai opname. Tidak ada beban lagi jika sewaktu-waktu keluarga ada yang sakit.
Kedua, premi tidak membebani, tergolong murah dan terjangkau. Mana ada asuransi lain yang berani menanggung biaya pengobatan pesertanya dengan premi sekecil itu?
Ketiga, tidak merasakan diskriminasi pelayanan kesehatan. Selama menjadi peserta, kami merasakan pelayanan rekanan BPJS Kesehatan (dokter keluarga/faskes pertama dan rumah sakit) tidak berbeda seperti saat kami bukan peserta BPJS Kesehatan.  Alhamdulillah informasi yang beredar kalau peserta BPJS diperlakukan berbeda dengan peserta umum belum pernah kami alami. Dokter keluarga dan rumah sakit rujukan melayani dengan ramah selayaknya peserta umum lainnya.

 Tak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan BPJS Kesehatan, apalagi dalam usianya baru satu tahun. Meskipun dirasakan manfaatnya tetapi kami berharap BPJS Kesehatan tetap meningkatkan pelayanannya. Berikut beberapa masukan untuk BPJS Kesehatan :
Pertama, pihak BPJS Kesehatan perlu meningkatkan pelayanan terkait informasi kerjasama dengan rumah sakit. Selama ini ada pengalaman pasien yang opname di rumah sakit tetapi tidak bisa mendapatkan ruang perawatan sesuai dengan kelasnya. Pihak rumah sakit mengatakan kalau kelas ybs ( sesuai dengan kelas peserta) sudah habis sehingga mau tidak mau harus mengambil ruang dengan kelas yang lebih tinggi. Sehingga pasien menambah biaya sendiri. Kami sendiri belum pernah opname, sehingga tidak tahu persis. Tetapi banyak informasi seperti itu. Kedepan ada baiknya rumah sakit bisa menambahkan informasi secara terbuka (online) yang bisa dicek sewaktu-waktu ketersediaan ruang perawatan di rumah sakit ybs.
Kedua, rujukan rumah sakit (tipe B, C) dari dokter keluarga/faskes tingkat pertama perlu di pikirkan ulang sehingga tidak terjadi penumpukan di rumah sakit tertentu. Saya mengalami beberapa kali saat berobat ke rumah sakit dengan antrian yang sangat panjang. Untuk diperiksa dan antri mengambil obat tidak cukup dengan 4 jam mengantri. Hal itu membuat pasien merasa tidak nyaman karena lamanya waktu berobat. Karena lama mengantri, saya biasanya pulang dulu baru mengambil obat sore harinya.
Ketiga, hendaknya informasi kerjasama pihak BPJS Kesehatan dengan pihak lain, misalnya saat ada program papsmear gratis di maximalkan. Kedepan hendaknya setiap dokter keluarga/faskes tingkat pertama memberikan informasi bentuk kerjasama tersebut sehingga peserta BPJS Kesehatan bisa memanfaatkannya.

Akhirnya, sebagai masyarakat biasa, saya berharap kelak tidak akan ada lagi sindiran, “orang miskin dilarang sakit”. Kenapa? Karena dengan premi yang terjangkau, seluruh masyarakat Indonesia mestinya bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai,  nyaman, tepat, memuaskan, sesuai dengan kebutuhan.***

_Solo, 28 Agustus 2015_

Tidak ada komentar: