Kenapa?
Menurut beberapa orang, dinding dengan baru bata lebih terasa nyaman, adem, mengurangi hawa panas, rapat, lebih teruji kekuatannya dan lebih mudah dalam mencarinya.
Di desa tempat tinggal orangtua saya, saat musim kemarau
tiba, ada beberapa warga yang membuat
batu bata. Membuatnya di halaman rumah
sendiri, pinggir jalan besar, dan mencetaknya di areal persawahan juga di
pinggiran sungai yang mengering. Maka tidak mengherankan, jika saat musim
kemarau, banyak batu bata yang tercetak di areal persawahan.
Biasanya, warga di desa saya, mencetak batubata untuk
digunakan sendiri. Terkadang, di saat tidak lagi mengurus sawah, karena belum
masanya panen, ada banyak waktu yang tersisa sehingga warga memanfaatkannya
untuk membuat batu bata. Mereka suka
menyimpan batu bata yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk keperluan membangun
rumah. Atau sesekali juga di jual jika ada tetangga yang membutuhkan.
Mencetak batu bata
Saya sendiri sewaktu kecil senang melihat-lihat tetangga
mencetak batu bata. Sesekali saya juga pernah mencoba untuk ikut mencetak,
merasakan lembutnya lempung (tanah liat)
yang terlebih dahulu di haluskan dan dicetak ke dalam cetakan batu bata.
Tanah liat yang digunakan juga tidak sembarang, karena di pilih tanah liat yang
bagus, biasanya warga mengambil dari sawah yang digali. Warga biasanya mengali dan mengumpulkan tanah liat yang
diambil disawah dan menumpuknya di rumah(kalau mencetak batu bata di rumah).
Tetapi kalau mencetak batu bata di sawah, tinggal mengumpulkan gumpalan tanah
liat di pinggir sawah.
Proses membuatnya terbilang sederhana meskipun butuh tenaga
besar. Tanah liat pertama-tama di haluskan dengan air secukupnya sampai membentuk adonan tanah yang bisa dicetak dengan mudah.
Kemudian cetakan dari kayu dengan ukuran
23x17x5 terlebih dahulu direndam dalam air. Dalam keadaan basah, cetakan di letakkan di
tanah yang permukaanya sudah diratakan.
Hal ini dimaksudkan agar hasil cetakan
batubata menjadi rata dan halus. Tanah liat yang lembut kemudian di cetak ke dalam cetakan
batu bata. Saat meletakkan tanah liat sambil di padatkan, setelah itu cetakan
baru diangkat. Setiap kali mencetak batu bata, cetakan harus di celupkan air
terlebih dahulu agar tanah liat tidak melekat lengket di cetakan.
Proses selanjutnya menunggu sampai batu bata menjadi kering.
Dalam cuaca yang panas, dalam dua hari, batu bata sudah hampir kering dan bisa di ambil dan diratakan
pinggir-pinggirnya dengan pisau. Setelah
itu di tata dengan di susun sekaligus
dijemur sampai benar-benar kering sampai
siap untuk dibakar (ngobong boto).
Sunduk Lombok melengkapi pembakaran batu bata
Saat membakar batu bata, tumpukan batu bata disusun
sedemikian rupa agar api tetap menjangkau semua batu bata.kemudian di bagiab
luar akan di lapisi/ditutup dengan
lumpur. Pembakaran batu bata membutuhkan
waktu yang lama, paling tidak sehari semalam dengan nyala api yang terus
menerus. Untuk menghemat kayu bakar,
biasanya warga membakar batu bata saat sudah terkumpul banyak, paling tidak
sampai sepuluh ribuan biji.
Uniknya, sebelum
proses pembakaran batu bata,
warga biasanya mengadakan ‘upacara’ khusus yaitu dengan menyajikan nasi tumpeng dengan sajian lauk beraneka
macam dan mengelar berdoa agar diberikan kelancaran dalam pembakaran batu
bata. Tak lupa ada sajian sundut Lombok, mirip sesajen yaitu cabe besar dan bawang merah yang di tusuk lidi, di susun memanjang dan
ditancapkan di empat pinggiran susunan bata bata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar