Jumat, 11 Maret 2016

Penjahit Jalanan, Peluang Usaha Baru

Persaingan dunia kerja semakin banyak. Butuh ketrampilan dan kemampun tertentu agar bisa masuk ke dunia kerja bersama ratusan bahkan rivuan pekerja lain. Tentu saaj akhirnya menjadi tidak mudah untuk itu.


Manusia di ciptakan dengan rejeki masing-masing. Tak usah patah semangat, asalkan usaha, rejeki akan datang juga. Agaknya kalimat tersebut yang menginsipasi Ali, Tri dan Andi.
Tak patah semangat, ketiga anak muda ini, lebih memilih menciptakan lapangan pekerjaan baru dbandingkan bersaing dengan ribuan pekerja lainnya. Selain ingin memberikan kesempatan kepada anak muda lainnya, mereka juga ingin mencoba pengalaman yang baru.
Mereka  cerdik dan cukup jitu melihat pelaung  usaha yang belum banyak diminati oleh  orang lain,  menjadi penjahit jalanan.  Ya, belum banyak yang mau membuka usaha penjahit jalanan, karena biasanya adanya penjahit rumahan.


Ali (24 tahun), Tri (26 tahun) dan Andi ( 20 tahun), pernah bekerja serabutan selepas sekolah. Ali yang tamatan SD pernah bekerja menjadi tukang batu, mengandalkan jasanya disewa oleh tetangga yang membutuhkan tenaganya saat membangun rumah. Tidak berbekal  ketrampilan khusus, hanya berawal dari ikut-ikutan tetangganya yang tukang batu.  Karena tidak bisa menjadi andalan untuk mencari penghasilan, ia memiih ikut temannya belajar menjahit di Semarang.

Demikian juga dengan Tri yang lulusan SD, tak mempunyai ketrampilan khusus, memilih mengikuti temannya bekarja serabutan dari menjadi penjaga toko, menjadi buruh lepas sampai mengarjakan apa saja yang membutuhkan tenaga kasarnya.
Ali dan Tri, pemuda asal Boyolali ini , dipertemukan saat mencari nafkah di ibukota Propinsi Jawa Tengah. Mereka ikut menjahit temannya.
Meskipun tidak mempunyai ketrampilan khusus menjahit, tetapi dengan tekun  mereka terus belajar. Bukan menjahit di rumah atau konveksi tetapi ikut menjahit di atas trotoar, dipinggir jalan atau biasa disebut dengan penjahit jalanan.
Sementara Andi, lebih berntung dari segi pendidikan, karena remaja asal Sragen ini sampai lulus SMP. Meskipun juga tidak melanjutkan sekolah karena terbentur biaya, ia memilih mencoba-coba bekerja serabutan  dan mengadi nasib dengan tenaga kasarnya. 

Pada akhirnya, Ali memilih berhenti ikut temannya di Semarang dan memilih  kerja mandiri, mengadu nasib di kota Solo. Bekal tabungan dari bekerja selama beberapa tahun ia gunakan untuk membeli mesin jahit bekas dan alat-alat menjahit seperti benang, rit, dlll seharga Rp 800.000. Kemudian ia mengajak Tri dan Andi untuk menjahit bersama. Tak butuh tempat khusus untuk menjajakan jasanya. Mereka memilih menjadi penjahit jalanan, yang menjahit di pinggir jalan, diatas trotoar jalan. Tepatnya di  selatan underpass Makahhaji Sukoharjo , sekitar 200 meter atau  arahnya ke barat   dari jalan  Rajiman Solo.

Jam kerjanya setiap hari,  dari jam 08.00-16.00,tetapi terkadang lebih sore lagi tergantung banyaknya pelanggan. Dalam sehari mereka bisa menjahit puluhan baju. Lebih tepatnya menerima permak berbagai macam baju. Misalnya celana/baju robek, kebesaran, kepanjangan, menisik robekan, memasang ristleting, dll. Semua  jasa tersebut mereka terima. Tak butuh waktu lama, saat tidak banyak tumpukan antrian yang harus dikerjakan, pelanggan bisa menunggu. Mislnya untuk memotong dan mengecilkan rok yang kepanjangan, tinggal menunggu sekitar 15 menit. Tetapi saat tumpukan mengunung , mau tidak mau ya harus ditinggal untuk diambil esak harinya.Ongkosnya juga terjangaku, untuk memotong rok/celana sekitar Rp 5.000, memasang risleting jaket Rp 10.000. yang jelas  bisa terjangkau kantong.

Usaha mereka cukup ramai, karena orang-orang juga ‘memburu’ penjahit jalanan. Dengan alasan lebih cepat, bisa ditunggu, terjangkau ongkosnya dan yang lebih penting tidak usah lama menunggu jadi seperti kalau dijahitkan di penjahit rumahan yang minimal seminggu baru jadi. Jadi urusan permak,perbaikan pakaian lebih efisien di penjahit jalanan.

Agar tidak ribet, mesin jahit dan alat-alat menjahit dititipkan di rumah salah satu penduduk, tepat di sebrang jalan yang mereka gunakan untuk menjahit. Sangat murah, karena mereka hanya memberikan  jasa . Rp 25.000/bulan untuk 1 mesin jahit yang dititipkan. Tidak memberatkan, karena  penghasilan mereka relative lebih besar. Dalam sehari satu orang bisa mendapatkan uang Rp 150.000, sementara kalau di kurangi untuk makan dan rokok, mereka perorang mengantongi penghasilan bersih Rp 80.000. Saat puasa dan lebaran penghasilana mereka berlipat, sampai Rp 300.000/ hari/orang. Bisa dibayangkan betapa usaha yang mereka jalani bisa menjadi andalan untuk hidup.

Begitulah, ketiganya merasa cocok dan bersyukur bisa menciptakan lapangana pekerjaan baru tanpa membebani keluarga dan bisa menambung untuk keluarga mereka kelak.
Kepuasan mereka bertambah saat pelanggan merasa puas dengan  ayunan kaki saat  mengerakkan roda mesin dan ketrampilan tangan menjahit bagain  pakaian yang perlu diperbaiki.
Selalu ada jalan mendapatkan rejeki bagi yang terus mau usaha.***


Tidak ada komentar: