Yang terbaru, Rustam Effendi, Wali Kota Jakarta Utara, Selasa (26/4) mengirimkan surat kepada Badan Kepegawaian Daerah (BKD yang menyatakan pengunduran dirinya.
Bukan tanpa sebab, meskipun yang bersangkutan tidak menyatakan alasan secara
jelas, tetapi pengundurkan dirinya tentu saja dengan mudah dikaitkan dengan
‘perseteruannya’ dengan sang gubernur beberapa hari sebelumnya.
Diawali dengan
tudingan Ahok yang mengatakan bahwa Rustam bersekongkol dengan Yusril
Ihza Mahendra, salah satu balon gubernur DKI Jakarta. Karena tidak tahan
menahan rasa, Rustam di Facebook tentang
gaya kepemimpinan Ahok. Menurutnya, tudingan atasannya tersebut menyakitkan dan
tidak diharapkan keluar dari pimpinannya.
Seperti diketahui, sebelum Wali Kota Rustam Effendi mundur, Haris Pindratno yang menjabat sebagai
sebagai Kepala Dinas Perindustrian dan Energi DKI dan Tri Djoko Sri
Margianto Kepala Dinas Tata Air DKI juga
mengundurkan diri. Keduanya pejabat eselo
Mundurnya pejabat eselon II tersebut kalau dicermati karena
tidak tahan banting dan tidak tahan kritikan Ahok.
Rustam sebelum dituding bersekutu dengan Yusril, ia sudah
mendapatkan teguran karena lamban
dalam menertibkan pemukiman ilegal yang
berada di sepanjang kolong Tol Ancol, Pademangan Jakarta Utara . Karena
kelambanan penertiban tentunya bisa
berdampak pada banjir di kawasan Ancol.
Setali tiga uang, mundurnya Haris Pindratno juga karena
sering kena tegur Ahok, salah satunya
sebagai kepala Dinas Perindustrian dan Energi, ia tidak mengganti lampu
penerangan jalan umum (PJU) dengan LED.
Kemudian Tri Djoko Sri Margianto
mengajukan pension dini karena mengaku
acapkali terjadi perbedaan pendapat dengan Ahok,
terutama berkaitan dengan
penanganan banjir. Tri menilai Ahok melihat permasalahan banjir sebagai sesuatu
yang mudah, padahal penyelesaiannya tidak semudah itu.
Ahok Tidak Peduli dengan Pencitraan
Tinggal beberapa bulan kedepan, Ahok akan bertarung untuk
mempertahankan kursinya. Saat ini calon penantangnya sudah mempersiapkan diri
dari segala hal. Meskipun penantang Ahok belum resmi di dukung oleh parpol
tetapi langkah massif untuk mendekati parpol dan mendulang suara sudah tidak
terelakan lagi.
Dalam Pilgub nanti,
yang menentukan siapa gubernur terpilih adalah
suara rakyat. Meskipun banyak didukung parpol atau banyak duit,
tetapi kalau warga Jakarta tidak memberikan suaranya, percuma saja. Sehingga
menarik simpati warga adalah upaya untuk
mengaet dukungan dan memastikan suaranya tidak beralih ke pesaingnya. Untuk
itu, tidak salah kalau semua bakal calon gubernur DKI Jakarta sudah berupaya
untuk mencari simpati
sebanyak-banyaknya. Untuk itu, setiap
tindakan, kata-kata yang terlontar dari
mulut bakal calon gubernur akan mudah
dijadikan catatan dan direkam dalam benak warga Jakarta.
Terkait dengan Ahok, sejak semula, warga sudah mengenal
karakter dan gaya kepemimpinannya yang ceplas ceplos, apa adanya, cepat,
tangkas, tidak pandang bulu bahkan ada
yang menilai cenderung kasar. Menjelang Pigub, Ahok tidak berusaha merubah
karakter dan gaya uniknya tersebut. Ia sepertinya tidak peduli dan terus
bekerja dengan tipikal-nya yang tidak
bisa diterima semua orang.
Kemungkinan besar, rasa percaya diri Ahok sangat besar dan
ia tidak gentar sehingga apa yang selama ini ia lakukan terus dipertahankan. Ia
seperti bilang, “inilah gue , jangan harap gue berubah hanya demi terpilih
menjadi gubernur DKI Jakarta”. Ahok sama sekali tidak peduli atas pencitraan
dirinya yang bisa jadi mempengaruhi
pilihan warga Jakarta tahun depan.
Manuver Ahok Yang
Tidak Perlu
Menurut saya, Ahok sah saja memilih jalan politiknya untuk terus mempertahankan gaya
kepemimpinannya seperti itu. Jika ia merasa hanya langkah itu yang bisa
mempercepat kerja-kerjanya dan membawa Jakarta lebih baik, ia bebas menentukan
pilihan.
Tetapi, diakui atau tidak,
urusan penilaian warga itu
menjadi salah satu point penting untuk mendulang suara. Dengan manuver Ahok yang menurut saya tidak
perlu dilakukan tersebut, hanya akan membuang energinya saja sekaligus blunder.
Lawan politik akan mendapatkan amunisi baru secara cuma-cuma. Masih
banyak pekerjaan yang harus ia tuntaskan menjelang akhir masa jabatannya. Seharusnya Ahok tidak perlu membuat manuver
yang kontaporduktif dan hanya akan
menambah catatan di benak warga Jakarta.
Kalau bisa sih, Ahok mulai menyingkirkan hal remeh tersebut dari agenda politiknya dan terus berkonsentrasi menyelesaikan PR-nya
di Jakarta. Dengan hasil kerja akhirnya
di detik-detik terakhirnya kelak, justru akan menjadi magnet yang menarik
perhatian warga Jakarta untuk menentukan apakah ia pantas lanjut atau cukup, berhenti sampai di sini.**
_Solo, 26 April 2016_
1 komentar:
Selamat siang mbak, saya, warga jkt, pertama kali membaca ini di Kompasiana, saya putuskan komen di blog pribadi mbak saja.
Saya sepakat dgn pikiran mbak. Akhir2 ini bpk Ahok menghabiskan energi menyerang musuh2 yang tidaknperlu dan tidak prioritas dlm garis misinya. Saat ia lugas, taanpq kompromi dan lantang "menggongong dan memggigit" oknum anggota dewan atau PNS yg menghalangi misi nya saya mendukung. Memang hrs orang yg rada gila untuk melawan oknum jahat. Tapi akhir2 ini pak Ahok sdh tidak punya kendali dlm memilih medan perang yg berguna.
Saya juga menyesalkan sikapnya yg terlalu akomodatif melayani pancingan pertanyaan dan provokasi wartawan2 media,..dia lupa wartawan2 ini datang dari berbagai kepentingan dan motivasi dlm penulisan berita.
Lepas dari sukses atau tidaknya dia melanjutkan jabatan gubernur, saya pikir ia hrs dan wajib peduli thp pendukungnya, tidak mengapa kalah asal kalah dgn cara2 yg mengundang simpati masy luas, sementara pesan MISI pembersihan (lawan koruptor) dan pembenahan aparat pemprov DKI tetap bergaung. Jika ia jatuh krn cacat2 dan celaka "kacangan" maka rusaklah susu sebelanga. Pak Ahok jika ingin mundur silakan, tapi mundurlah dgn bersih tanpa meninggalkan jejak hitam agar sejarah boleh mencatat pesan2 dan cita2 luhur yg sdh dimulai akan dapt terusbberlanjut, bukan kandas sebelum matang krn dilibas kelompok arus lama.
Posting Komentar