Bulan Oktober 2016 ini, tepat sudah 12 tahun tokoh HAM asal Malang, Jawa Timur tersebut meninggal. Meskipun sudah ada dua orang yang menerima hukuman atas meninggalnya M yaitu Pollycarpus Budihari Priyanto yang berprofesi sebagi pilot Garuda Indonesia dan
Direktur Utama Garuda Indra Setiawan, tetapi sesungguhnya belum ada titik terang atas pembunuhan M.
Bertahun –tahun yang lalu banyak pihak yang menuntut
penuntasan kasus pembunuhan M tersebut karena masih menyisakan mendung kelabu
yang belum ada titik terang.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun pun belum mampu menuntaskan
masalah pembunuhan M tersebut dan justru menyisakan tanya besar dan menumpahkan
PR tersebut kepada Presiden Joko Widodo
(Jokowi).Jokowi mau tidak mau yang harus menuntaskan kasus tersebut.
Tetapi sayangnya, dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) kasus
pembunuhan M tersebut katanya hilang. Aneh tapi nyata, aneh tetapi
kok bisa terjadi. Bagaimana mungkin dokumen penting Negara bisa hilang?
Ops…benarkah hilang pak SBY?
Tidak bisa disalahkan jika sorotan publik tertuju kepada pak SBY, karena dokumen TPF sejumlah 7 bendel tersebut konon sudah diterima oleh SBY.
Sebagai warga awam yang tidak terlalu paham dengan seluk
beluk administrasi Negara, saya rasa tidak masuk akal jika dokumen penting kasus pembunuhan M yang menjadi pembicaraan
nasional bahkan internasional tersebut sampai
hilang. Kasus HAM tersebut terus
di sorot publik dan di desak untuk diselesaikan. Semudah itukah hilang?
Saya rasa semua dokumen Negara pastinya di simpan dengan
sangat baik dan terawat dengan baik sehingga bisa bertahan lama, tidak rusak
dan tentu saja tidak hilang.
Memang masuk akal jika seorang Presiden tidak menyimpan dokumennya sendiri , tetapi
tentunya kalau dokumen yang berkaitan dengan Negara akan disimpan oleh Kemensesneg. Jadi logikanya semua dokumen akan
tersimpan rapi dan aman di Kemensesneg.
Nah, kalau dikabarkan hilang, ini tidak masuk akal. Toh,
sependek ingatan saya, sejak 12 tahun yang lalu tidak ada peristiwa yang memungkinkan dokumen raib, seperti
kebakaran, kebanjiran, kecurian, kerampokan di Kemensesneg.
Hilangnya dokumen TPF bisa jadi hanya akal-akalan saja,
artinya dokumen tersebut tidak hilang tetapi segaja di hilangkan. Dengan maksud
sbb:
Pertama, menyandera pemerintah Jokowi. Penuntasan kasus
pembunuhan M akan terkatung-katung karena dokumen penting yang dibutuhkan tidak
ditemukan. Bila copyan dokumen itu juga tidak ada, pemrintahan Jokowi akan
membutuhkan waktu lama untuk merunut kembali atau menyusun TPF baru kasus M .
Tentunya jika pilihan terakhir akan
membutuhkan waktu lama dan panjang.
Kedua, lamanya proses penuntasan kasus M (pada pemerintahan Jokowi) akan memudahkan tudingan Jokowi tidak
mampu menuntaskan kasus HAM yang ia
janjikan pada saat kampanye Pilres tahun
2014 lalu
Ketiga, jika kasus pembunuhan M terungkap, bisa jadi
menyeret orang-orang tertentu dan bisa menyeret pihak-pihak lain yang selama
ini belum tersentuh. Seperti diketahui ,
dalang pembunuhan M belum terungkap dan
gelap.
Barangkali masih banyak alasan lain yang belum saya ungkapkan, tetapi yang jelas, pak
SBY sebagai pihak yang tengah di sorot,
kita harapkan mau menjelaskan dengan gamblang dan jujur. Semoga, kita tunggu
saja **
_Solo, 25 Oktober 2016_
pejuang Hak Asasi Manusia, Munir (M), menjadi salah satu
indikator bahwa penyelesaian tuntas kasus itu masih jauh dari titik terang.
Padahal penuntasan tsb bisa menjadi bukti yg sangat ampuh bagi Presiden Jokowi
(PJ) untuk: 1) menunjukkan komitmen dan keseriusan beliau menyelesaikan
persoalan HAM di negeri ini sebagaimana janji kampanye beliau pada 2014, dan 2)
membedakan pemerintahan beliau dengan yang sebelumnya yang terkesan ogah-ogahan
dan enggan menyelesaikan kasus Munir.
Sebelum persoalan menjadi rumit, alot, dan
"mbulet", saya kira para pihak yang terkait mesti duduk bersama dan
menyelesaikan tugas pertama: yaitu menemukan dokumen TPF tsb. Saya tidak yakin
bahwa dokumen yg konon berjumlah 7 bundel itu bisa "menghilang", atau
bahkan "hilang." Saya agak yakin bahwa dokumen itu sedang dicoba
untuk "dihilangkan" atau minimum dicoba "ditilep" dan
"disembunyikan" oleh pihak-pihak yang gerah jika hasil TPW Munir ini
muncul di ruang publik.
Tak mungkin dokumen itu menghilang, karena ia tidak punya
nyawa dan tidak mampu bergerak sendiri. Dokumen itu tidak mungkin hilang,
karena beberap pihak memilikinya secara bersama, setidaknya foto copynya kalau
bukan aslinya. Sebab TPF terdiri dari berbagai komponen yg mewakili Pemerintah,
masyarakat sipil, para pakar, dan juga para penegak hukum. Tetapi kalau dicoba
dihilangkan, saya percaya sebab jika hasil TPF ini muncul ke ruang publik, akan
banyak ramifikasi hukum, legal, dan etis bagai sementar individu dan/atau
kelompok serta organisasi sosial maupun politik.
Kini fokus ontran-2 tertuju kepada Presiden Ri ke 6, Susilo
Bambang Yudiyono (SBY), karena pihaknyalah yg dianggap paling tahu dan
bertanggungjawab atas keberadaan laporan TPF. Kalau bukan probadi beliau, tentu
anak buahnya di kantor Sekretariat Negara atau didi tempat lain yang memiliki
akses thd dokumen tsb. Pak SBY saya yakin akan memberikan penjelasan yg kini
sedang ditunggu-2 oleh banyak pihak: Pemerintah, keluarga Munir, anggota TPF,
para pembela HAM, dan publik Indonesia umumnya. Saya tidak akan mendahului dg
menilai Pak SBY, tetapi akan mengomentari setelah beliau mengumumkan ke publik
ttg bagaimana pandangan beliau.
(http://nasional.kompas.com/…/polemik.dokumen.laporan.tpf.mu…)
Untuk sementara, saya termasuk sepaham dengan kalangan
pembela kasus Munir dan para aktivis HAM bahwa semakin lama dokumen TPF itu
tertunda diketahui publik, maka akan semakin buruk citra Pemerintah dan PJ
dimata publik Indonesia dan internasional. Pemerintah bisa saja berkilah dengan
berbagai dalih (dan bisa jadi ada benarnya), tetapi citra bahwa telah terjadi
mismanagemen dalam sistem arsip dokumen milik negara tetap sulit dihilangkan.
Dan ini tentu akan dijadikan sebagai peluru oleh pihak-2 yang berseberangan dg
PJ utk menyerang kredibilitas beliau.
Walhasil, Pak Jokowi jangan beri kepuasan kepada para
detraktor Bapak dengan membiarkan dokumen ini raib terlalu lama.**
Sumber : facebook Muhammad AS Hikam
Dokumen TPF Raib, Kok Demokrat Meradang?
REDAKSIINDONESIA-Presiden
RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku dua minggu belakangan
mengumpulkan mantan menteri atau pejabat yang tergabung dalam Koalisi Indonesia
Bersatu (KIB), untuk membahas keberadaan dokumen hasil Tim Pencari Fakta (TPF)
kematian aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib. Dipanggilnya para
mantan menteri dan pejabat KIB, untuk memperjelas keberadaan temuan TPF atas
kematian Munir yang menurutnya sudah bergeser ke nuansa politik.
"Kami buka kembali semua dokumen, catatan & ingatan
kami-apa yang dilakukan pemerintah dalam penegakan hukum kasus Munir. Yang
ingin kami konstruksikan bukan hanya tindak lanjut temuan TPF Munir, tetapi apa
saja yang telah dilakukan pemerintah sejak Nov 2004," kata SBY dalam akun
twitter @SBYudhoyono, Jakarta, Minggu (23/10).
SBY meminta agar masyarakat mengingat bahwa kasus kematian
Munir dalam penerbangan menggunakan pesawat Garuda yang tengah menuju Amsterdam
7 September 2004, dirinya belum menjabat sebagai presiden atau lebih tepatnya
calon dalam Pilpres 2004. Barulah setelah tiga minggu menjadi presiden, dirinya
ditemui Suciwati, isrti Munir.
SBY melanjutkan, kurang dari seminggu setelah pertemuan itu,
TPF Munir belum dibentuk dan pihaknya memberangkatkan Tim Penyidik Polri ke
Belanda. Namun SBY belum bersedia mengungkap secara gamblang mengenai temuan
TPF Munir saat ini dan berjanji akan segera menyampaikan penjelasan soal TPF
Munir dalam waktu dekat.
"Saya ingin publik tahu duduk persoalan yang benar.
Saya memilih menahan diri & tak reaktif dalam tanggapi berbagai tudingan.
Ini masalah yang penting & sensitif. Juga soal kebenaran &
keadilan," @SBYudhoyono.
Pemerintah saat ini mengaku tak pernah menerima hasil temuan
TPF Munir ke publik sehingga kesulitan membuka ke publik. Menurut Staf Khusus
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Alexander Lay, Kemensesneg tidak bisa
mengumumkan isi dokumen hasil investigasi TFP kasus Munir karena tidak pernah
menerima laporan.
Alex menjelaskan, berdasarkan keterangan dari mantan
Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, dokumen investigasi TPF sudah diserahkan
kepada Presiden RI keenam, Susilo Bambang Yudhoyono sejak tahun 2005. Namun,
hingga saat ini dokumen tersebut tidak sampai ke Kemensesneg.
Waketum Partai Demokrat, Syarief Hasan, mengaku heran dengan
langkah pemerintah yang meributkan keberadaan dokumen asli TPF Munir. Menurut
Syarief, seharusnya pemerintah fokus pada penegakan hukum kematian Munir
melalui rekomendasi dari TPF dan membuat tim baru jika belum puas dengan
rekomendasi TPF era Presiden SBY.
"Dari dulu sudah saya bilang kenapa kok susah cari
dokumen aslinya. Yang paling penting itu tindak lanjutnya dari rekomendasi itu.
Kalau memang juga belum puas dengan tindak lanjut pemerintah SBY, silakan bikin
TPF baru," kata Syarief di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin
(24/10).
Syarief mengatakan, pemerintah hanya perlu meminta kepada
mantan anggota tim TPF era SBY apabila masih 'ngotot' ingin dokumen hasil
investigasi TPF tanpa perlu mendorong agar SBY mengungkapkannya langsung ke
publik.
Sebab dia meyakini jika ketumnya di Demokrat itu tak
memiliki dokumen asli investigasi pembunuhan Munir. Sepengetahuan Syarief, saat
masih menjabat Presiden, SBY telah menyampaikan dokumen tersebut kepada penegak
hukum.
"Saya tidak tahu katanya diserahkan ke pemerintah,
waktu itu yang buat TPF pak SBY diserahkan ke pemerintah, ya waktu itu pemerintah
SBY. Mungkin karena proses administrasi surat menyurat mungkin di setneg atau
seskab. Cari saja di sana, gampang itu," ujar dia.
Syarief juga mempersilakan Jaksa Agung M Prasetyo menemui
SBY untuk mengonfirmasi keberadaan dokumen investigasi TPF. Namun, dia meminta
pertemuan itu bukan dalam arti memanggil dan menuntut SBY terkait dokumen
tersebut.
"Kalau mau ketemu silakan saja tapi bukan dalam arti
kata panggil. Intinya, kalau tidak puas, karena itu kejadiannya di era Megawati
bukan era Pak SBY, Pak SBY kan yang punya inisiatif buat TPF," tandasnya.
Hal senada dikatakan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai
Demokrat Agus Hermanto. Agus yakin dokumen hasil rekomendasi TPF tidak hilang.
Dia pun membantah tudingan bahwa dokumen itu dipegang SBY. Selain itu, Agus
memastikan SBY tidak mungkin menghilangkan dokumen berisi fakta pembunuhan
Munir itu.
"Kemarin ada yang menanyakan dan pemerintah hari ini
menyatakan katanya datanya tidak ditemukan dan sebagainya, Kami yakin pasti ada
datanya, kami yakini Kalau Pak SBY itu selalu teratur dan terukur," kata
Agus di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/10).
Agus meminta semua pihak menunggu pernyataan resmi yang
dikeluarkan SBY dalam 2 hingga 3 hari ke depan seperti yang dijanjikan dalam
akun twitter pribadinya. "Nanti secara resmi Pak SBY akan menyampaikan
tentunya melalui kementerian yang terkait pada waktu itu,"
tandasnya.(merdeka.com) **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar