"Bu, kita mudik kan?"
Berulangkali Aisyah merengek, tangannya menarikku dengan gemas.
"Bu...." Suaranya mulai parau, bercampur isak yang ditahan.
Aku mengerang dalam hati, tak kuasa menahan tangis yang hampir pasti akan meledak jika tidak kugigit bibir erat-erat.
Tak
kuasa melepas kata, hanya kuusap tangan bungsuku dengan perlahan. Demi
melihatku hanya terdiam dengan bibir rapat, Maryam segera mengajak
adiknya pergi. Sulungku pintar membaca keadaan.
Suaranya lembut membujuk Aisyah agar mau beranjak.Dengan setengah malas, Aisyah mau mengikuti langkah kakaknya.
|
Gambar: www.google.co.id/search?q=gambar+ibu+dan+anak+kartun |
Aku menghela nafas panjang, bukan kelagaan yang kurasakan tetapi rasa bersalah yang semakin dalam dan menghujan di hati.
Siapa
yang tak ingin mudik? Tak inginkan pertemuan dengan orangtua, saudara,
tetangga dan kerabat lainnya? Aku sama seperti tetanggaku yang sejak
awal ramadhan sudah merencanakan mudik dengan beragam cerita yang
membuat rasa iriku semakin mengunung. Mereka sungguh beruntung mampu
pulang ke kampung halaman untuk merayakan hari kemenangan dan
menuntaskan rindu selama setahun terakhir.
Aku? Kekecewaan
merambat cepat menelusuri relung hati menyelusup ke semua aliran darah
membuatku tersentak dan dalam ketidakberdayaan hanya mampu terisak.
Tanpa anak-anak, air mata ini kubiarkan mengalir dengan deras.
Tidak
hanya Aisyah yang sangat eskpresif menuntaskan keinginannya untuk
pulang ke kampung halaman ibunya, tetapi Maryam juga memendak keinginan
itu meskipun mampu menyimpannya dalam hati. Sulungku meskipun baru tujuh
tahun tetapi sangat peka dan mengerti keadaan.
Sementara aku
sendiri, rasanya tidak mampu bertahan dalam kerinduan yang semakin
menjeratku. Bertahun-tahun aku berdesakan tinggal di sebuah kamar
sempit, pengap di rumah kost yang kubayar dengan keringat yang kuperas
sejak pagi buta sampai menjelang senja. Dipojok gang kelinci yang
tersebar di seluruh sudut Jakarta.
Simbok, aku mengeja
namanya dalam balutan rindu yang sangat dalam. Kubayangkan wajah tuanya
yang teduh, sabar dan penuh dengan kasih sayang. Terakhir melihat
Simbok, saat Maryam berumur 3 tahun dan Aisyah belum lahir. Empat tahun
sudah aku tak pernah bertemu Simbok, perempuan yang berjuang keras
membiayai sekolahku sampai tamat SMA meskipun pada akhirnya aku
mengecewakannya karena menikah dengan laki-laki yang menurut Simbok
bukan suami yang baik buatku.
Linangan airmataku kembali menderas
saat teringat betapa aku berani menentang Simbok dengan tetap
bersikeras menikah dengan bapak dari anak-anakku. Meskipun akhirnya
Simbok memilih mengalah, aku tahu telah membuatnya menyimpan kekecewaan
yang mendalam.
“Assalamu’alaikum…..”
Ketukan keras itu membuat lamunanku buyar.
“Waalaikum
salam…” sahutku lirih, sambil menyeka air mata dengan ujung bajuku.
Tanganku tertatih mengapai tembok dan berjalan mencari pintu.
“Mbak
Murni?” Aku sangat hafal suara tetangga kamar, Mbak Siti, berdiri di
depan pintu. Ia tidak sendiri, aku bisa merasakannya. Hidungku mencium
wangi parfum yang sangat lembut.
“Ya Mbak? Kenapa? Silahkan masuk,” kataku menyilahkan tamu yang bersama tetanggaku.
“Silahkan, Bu. Ini Mbak, aku mengantar ibu ini untuk bertemu. Katanya ada yang ingin disampaikan,” jelas Mbak Siti.
Benar dugaanku ada tamu di rumahku.
Aku
tersenyum menyilahkan tamuku duduk di selembar karpet tipis yang biasa
kupergunakan untuk tidur, saat satu-satunya kasur hanya cukup untuk
Maryam dan Aisyah.
“Bu, saya Rusma. Kebetulan ada sedikit rejeki.
Saya bermaksud memberikan sedikit rejeki ini kepada ibu Murni.
Mudah-mudahan bisa dipergunakan untuk keperluan ibu,” tutur ibu yang
Rusma sambil mengangsurkan amplop ke tanganku.
Aku tergangga. Siapakah perempuan baik hati ini, apakah dia malaikat yang sengaja datang menemuiku? Batinku penuh tanya.
“Baik, Bu. Saya permisi dulu,” Kata Bu Rustam setelah mengucap salam, langkah kakinya tak lagi kudengar.
Aku hanya mampu membalas lirih salamnya, tak mampu berbicara apapun. Keharuan menyeruak didada membuatku seraya melayang.
“Kamu
beruntung Mbak. Bersyukurlah. Akhirnya kamu dan anak-anak bisa mudik,”
kata Mbak Siti sambil menepuk tanganku dengan lembut.
“Si..siapa dia?” tanyaku lirih.
“Aku
nggak tahu, Mbak. Hanya dia sudah mencari mbak sejak dua hari lalu.
Mungkin dia memang dikirim Tuhan buat membantumu, Mbak,” jelas Mbak Siti
sambil meninggalkanku.
Aku tergugu sampai tidak menyadari kedatangan Maryam dan Aisyah di dekatku.
“Kok ibu nangis? “ Suara Aisyah membuatku tersadar dan mengusap air mata dengan cepat.
Kupeluk kedua buah hatiku dengan penuh rasa syukur.
“Bu, kita mudik ke rumah Simbah ya. Ke desa ya..” kata Aisyah lagi, tak juga melupakan keinginannya.
“Ssttttt, Ais…” potong Maryam cepat sambil melihatku dengan cemas.
Aku tersenyum, mengendurkan pelukanku.
Kupandangi
kedua gadis kecilku. Perlahan kuraba wajah keduanya. Aku masih sangat
ingat wajah manis Maryam dengan hidung mancungnya yang mengemaskan.
Wajah lucu Aisyah dengan pipi tembemnya.
“Iya, iya sayang. Insyaallah kita mudik.” Kataku cepat menjawab harapan Aisyah.
“Tapi, Bu?” tanya Maryam.
Ku
acungkan amplop yang terasa tebal di tanganku sambil mengurai senyum,
“Alhamdulillah, Nak, ada malaikat yang berbaik hati memberikan rejeki
bagi kita untuk pulang ke desa. Kita pulang, Nak,” ujarku riang dan
terasa ringan.
Maryam sontak memelukku. Linangana air matanya terasa
membasahi bahuku. Isakan lirihnya terasa lega dan penuh kebahagiaan.
"Tiket dari surya," ucapnya bergetar.
Kuraba lagi wajah kedua
belahan jiwaku ini. Ingatanku melayang kepada Simbok di desa. Wajahnya
terasa dekat di hatiku. Wajah Mas Supri, suamiku sempat berkelebat
tetapi cepat kusingkirkan. Lelaki itu telah tega meninggalkan kami
bertiga setelah kecelakaan yang merengut sinar kehidupanku dua tahun
yang lalu.
Simbok, kami akan pulang. Anak dan cucumu akan
pulang menutaskan kerinduan padamu. Maafkan anakmu Mbok, seruku dalam
hati. Smoga engkau tetap menerimaku dalam keadaan seperti ini.
“Cepatlah bebenah, kita akan mudik,” bisikku kepada Maryam.
Aku
berdiri sambil berpegangan tembok, mengukur kakiku mencari lemari
pakaian. Kami harus segera bersiap untuk pulang ke desa. Entah mengapa
kali ini mataku terasa terang, meski kenyataanya gelap tetap
menyelimutiku.***
_
Solo, 14 Juli 2015_