Rabu, 26 Agustus 2015

Melek Bengi, Nguri-nguri Budaya Jawa

Melek bengi ( begadang), rasanya banyak orang yang sering melakukannya. Entah karena sedang lembur kerjaan, bikin skripsi, belajar, ada hajatan atau memang lagi gak bisa tidur.

Setiap daerah mempunyai tata cara, kebiasaan, adat istiadat yang bisa jadi berbeda-beda, meskipun ada daerah yang mempunyai kebiasaan yang mirip. Desa mowo toto, negoro mowo coro, begitu juga di daerah kami, meskipun jaman sudah jaman tehnologi maju, tetapi sebagian masyarakt masih memegang teguh sejumlah kebiasaan yang sudah dilakukan sejak para tetua/simbah-simbah buyut/canggah/gantung siwur/udeg-udeg. Salah satu kebiasaan yang masih dilakukan yakni saat ada hajatan pernikahan/mantu masih ada tradisi melek bengi.

Melek Bengi untuk tarawih dan pengajian bulan Ramadhan 2015
Di Jawa Tengah, terutama di pedesaan, saat ada  yang punya hajatan menikahkan anggota keluarga , sudah biasa tetangga lek-lekan/melek-melekan/melek bengi atau bedagang, tidak hanya semalam, tetapi bisa beberapa malam. Atau paling tidak begadang terutama saat malam midodareni.

Masih ingat, bulan Juli kemarin saat Presiden Joko Widodo mantu putra sulungnya mas Gibran khan? Acara melek bengi masih dilakukan, masuk salah satu proses pernikahan yang masih di lakukan.

Bukan tanpa sebab kebiasaan melek bengi/begadang tersebut. Mereka lek-lekan tidak hanya sedekedar tidak tidur atau melek sampai pagi saja, tetapi sebenarnya kebiasaan melek ini banyak tujuannya.  Antara lain,
Ngancani atau menemani keluarga yang mempunyai hajatan. Sudah pasti saat mempunyai hajatan banyak anggota keluarga jauh dan dekat berkumpul di rumah. Untuk itu perlu ada tetangga yang ikut menemani, untuk sekedar gobrol atau hanya berkumpul saja sambil bermain kartu remi, domino untuk menjaga agar mata tetap terbuka alias tidak mengantuk. Kami biasa menamai ini sebagai jagak lek (penjaga melek/terbangun).

Begadang semalaman juga mempunyai makna untuk ikut menjaga harta benda milik tuan rumah yang tentunya tersedia banyak sekali melebihi hari biasa. Harta benda tersebut dipergunakna untuk memenuhi kebutuhan hajatan, baik untuk suguhan /hidangan tetamu, untuk hantaran tetangga dan tetau juga untuk menjamu keluarga besan/keluarga pihak laki-laki.

Begadang tersebut juga dimaknai untuk menjaga sawan/ hal-hal gaib yang kurang baik, yang  kemungkinan datang kepada calon pengantin dan keluarganya. Dengan banyak orang yang ikut terjaga sampai pagi, diharapkan hal-hal gaib yang buruk /sukerto tidak akan datang sehingga semua proses pernikahan esko hari bisa berjalan dengan lancar.

Selain hal itu, melek bengi juga dimaknai sebagai rasa ikut gembira, bersyukur atas kebahagiaan keluarga yang mengelar hajatan pernikahan. Sebagai tetangga dekat sudah semestinya ikut bersuka ria atas kebahagiaan tetangga yang akan bertambah anggota keluarga yang baru.

Diakui atau tidak, biasanya para tetangga senang-senang saja dengan acara melek bengi tersebut, bahkan para bapak yang tidak terbiasa melek bengi saja juga ikut berpartisipasi menjaga kantuk di rumah yang punya hajatan. Kebiasaan lain untuk meramaikan acara tersebut,  di salah satu daerah di kabupaten Sragen dan Klaten, para bapak biasa mengadakan acara arisan rokok untuk memeriahkan acara melek bengi. Arisan rokok meskipun hanya  formalitas, sebagai penanda ikut memeriahkan acara melek bengi, tetapi tetap dilakukan dengan serius sampai ada yang mendapatkan rokok paling banyak. Rokok tersebut nantinya juga akan di nikmati bersama-sama oleh para tetangga/tamu yang melek bengi.

Bagaimana dengan kebiasaan di  daerah bapak/ibu? Sekedar berbagi cerita untuk menambah informasi, sukur-sukur ada manfaatnya, nuwun.

Jangan Sepelekan Minta Maaf Ke Pasangan

'Maaf'' sebuah kata sederhana, biasa saja, sepele, tak jarang tidak kita perhatikan secara serius.

Kami ...


Di satu sisi ada orang yang ‘malas’ dan pelit untuk mengucapkan kata maaf, karena menganggap itu nggak penting, merasa tidak melakukan kesalahan fatal sehingga tidak perlu minta maaf.
Sementara di sisi lain  ada orang-orang yang dengan mudah menghamburkan kata ma’af tanpa dirasakan kedalaman makna dari maaf itu sendiri, sehingga kesannya hanya kata saja yang terlontar di bibir, terasa ringan , mudah diucapkan dan merasa sudah selesai , sudah plong saat sudah ada kata maaf. Sehingga kesannya maaf hanya sekedar formalitas saja.  Meskipun pasti banyak juga orang yang mengatakan kata maaf dengan ketulusan hati dan niat sungguh-sungguh disertai hati yang jernih dan dada lapang.

Mungkin kita dengan mudah meminta maaf kepada orang lain, tanpa beban dan tulus. Bahkan merasa sudah sewajarnya minta maaf kepada orang lain , entah itu saudara, teman, tetangga, kenalan dll.

Tetapi adakah yang ‘lupa’ untuk meminta maaf kepada pasangan?  Meski terkesan sepele, terkadang kita melupakan bahwa jika ada suatu kesalahan/ hal yang kurang berkenan di hati pasangan kita (terutama suami/istri) kita seharusnya juga minta maaf.

Dari beberapa obrolan ringan dengan beberapa teman/ tetangga/saudara, sebagian besar mereka  merasa tidak perlu minta maaf kepada pasangan masing-masing. Jawaban yang mencegangkan adalah karena mereka merasa sudah  ‘bukan orang lain lagi’ , ‘sudah keluarga sendiri’, ‘ pasangan sudah menjadi bagian dari kita’  sehingga merasa sah dan wajar saja jika tidak perlu minta maaf pada pasangan.

Dan yang lebih membuat saya terkejut saat ada yang bahkan saat hari raya idul fitri (bagi yang muslim) pun mereka tidak minta maaf kepada pasangan. Padahal mereka minta maaf kepada orangtua, sauadara, tetangga, teman, dlll lho. Sementara kepada pasangan mereka bisa’lupa’? 

Alasan yang disampaikan, bagi suami menganggap seharusnya istrilah yang minta maaf terlebih dahulu, baru suami yang minta maaf. Sementara bagi istri merasa ya sudah nggak perlulah, lha wong setiap hari ketemu dan merasa suami sudah bukan orang lain lagi. What? Justru karena setiap hari ketemu itu memungkinkan banyak kesalahan dan khilaf tho (batin saya).

Saya pernah mendengar  cerita sebuah keluarga saat mereka berantem hebat dan diambang perpisahan. Suami dengan kata-kata kasar mengungkit kepada istrinya kalau selama mereka menikah puluhan tahun, tidak pernah sekalipun istrinya minta maaf bahkan tidak juga di hari idul fitri. Suami merasa tidak diperlakukan sebagai seorang suami, tidak di uwongke, tidak di hargai sebagaimana mestinya. Wah ini gawat.

Bagi saya, permintaan maaf kepada  pasangan itu sangat..sangat penting. Bahkan penting sekali. 

Pertama, Meskipun sudah menjadi bagian dari diri kita, tetapi pasangan tetap orang lain yang mempunyai perasaan halus dan pasti ingin dihargai selayaknya orang lain. Jangan menganggap itu tidak penting. Maka tetaplah minta maaf kalau ada khilaf.

Kedua, suami istri biasanya setiap hari bertemu, berkumpul. Bisa dipastikan ada hal-hal yang kurang berkenan di hati masing-masing. Apa salahnya memulai terlebih dahulu ntuk minta ma’af, toh itu juga tidak akan menurunkan harga diri kita. Buat apa gengsi? Justru dengan legowo/lapang dada untuk minta ma’af terlebih dahulu itu adalah sikap mulia.

Ketiga, dengan ringannnya hati, pikiran dan bibir kita berucap ma’af, akan menambah keharmonisan dalam rumah tangga. Rasanya suami/istri tidak akan tega marah, mendiamkan, berbuat kasar kepada pasangannya ketika sudah ada permintaan ma’af. Tentunya dengan hati tulus ikhlas dan benar-benar berusaha untuk tidak berbuat khilaf lagi.

Ma’af, seuntai kata  sederhana yang ringan, mudah diucapkan. Tetapi bisa menjadi pedang tajam yang siap mencabi-cabik dan meruntuhkan rumah tangga  kokoh yang terbina lama. Untuk itu sebaiknya jangan berat bibir untuk mengucapkan kata sederhana itu. Plus di sertai dengan kesungguhan hati, insyaallah bisa menghindarkan dari hal-hal yang tidak kita inginkan.***

_Solo, 19 Agustus 2015_

Kerokan, Kearifan Lokal Pengusir Sakit Ringan

KEROKAN... Ya Kerokan...
Sudah pada tahu kan?
Pasti sebagian besar sudah tahu, bahkan sudah pernah kerokan.  Rasanya sebagian besar orang (terutama orang Jawa) sudah pernah kerokan. Sederhana saja, badan (biasanya punggung) di kerok sampai berwarna merah membara.


 (foto diambil dari  :www.google.co.id/search?q=gambar+kerokan&biw=1336&bih=591&tbm=isch&img)

Orang-orang mengenal kerokan sejak kecil, karena sejak kecil ibu-ibu membiasakan kerokan. Saat anak masuk angin, buang-buang angin, pegal-pegal, capek, meriang, pusing, batu-batuk, dan tanda-tanda terserang masuk angin, cara praktis untuk mengusir masuk angin ya dengan kerokan.

Kebiasaan kerokan sudah ada sejak dahulu, menjadi kebisaan turun temurun yang dilakukan sampai saat ini. Bagi orang Jawa, saat masuk angin ya kerokan menjadi solusinya. Tidak perlu susah payah ke didokter, minum obat , tapi cukup dengan kerokan saja. Percaya nggak percaya, biasanya solusi kerokan menjadi manjur karena badan meriang, masuk angin jadi sehat kembali. Bisa jadi itu hanya sugesti, tetapi toh tetap saja merasa sembuh berkat kerokan.

Alat yang dibutuhkan untuk kerokan hanya sederhana saja, cukup dengan sebuah koin , dulu saat saya kecil dengan uang seratus rupiah yang ukuran besar. Kedua sisinya lebih halus sehingga tidak terasa sakit jika dipergunakan untuk kerokan. Itu uang favorit untuk kerokan. Ibu saya bahkan masih menyimpan uang seratus rupiah tersebut, ya khusus untuk kerokan. Beberapa tahun kemudian uang seratus rupiah sisi halus itu sudah sulit ditemukan, maka ada uang alternative untuk kerokan yaitu uang limaratus rupiah dan seribu rupiah itu . Untuk uang seribu rupiah ada dua jenisnya, yaitu ukuran besar yang tebal dan tipis.

Punggung yang mau dikerok di olesi minyak kayu putih atau remason kemudian koin dipergunakan untuk mengerik/mengerok. Saat badan sedang tidak sehat, biasanya dijamin baru sekali dua kali di kerik sudah merah membara. Nah, saat warna merah membara itulah yakini masuk angin akan hilang/pergi. Jadi kalau belum sampai berwarna merah membara, ya jangan berharap ibu akan berhenti untuk mengerik.

Khusus untuk anak-anak bayi, anak kecil, biasanya ibu memilih menggunakan bawang merah yang dipotong untuk alat bantu mengerik. Dan itu cukup membuat anak-anak tidak rewel.

Arah kerokan biasanya dari atas ke bawah, memenuhi punggung kanan dan kiri , jadi bergaris-garis. Nah biasanya kerokan akan diakhiri dengan mengerik dari atas ke bawah tepat di tengah-tengah punggung. Atau kami biasa menyebutkan di ulo-ulo.

Beberapa waktu yang lalu sempat beredar kabar kalau kebiasaan kerokan kurang bagus karena bisa membuka pori-pori kulit sehingga tubuh rentan kemasukan penyakit. Jadi soal kerokan bisa menyembuhkan masuk angin belum tentu kebenarannya. Karena kabar itulah, kebiasaan kerokan menjadi berkurang.

Penelitian:  Kerokan  Aman Bagi Kulit
Syukurlah, saya senang saat beberapa hari yang lalu membaca share dari FB teman perihal kerokan. Seorang Guru Besar dari Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Prof Didik Gunawan Tamtomo meneliti manfaat kerokan. Penelitian itu dilakukan tahun 2003-2005. Prof Didik melakukan survey kuantitatif dan kualitatif dengan 390 responden berusia 40 tahun ke atas, hampir 90% mengaku kerokan saat masuk angin. Pasiennya mengaku kalau kerokan itu bermanfaat untuk menyembuhkan masuk angin. Dari penelitianya, dapat diketahui jika kerokan itu tidak merusak kulit. Prof Didik menjdikan dirinya sebagai obyek penelitian . Dari pemeriksaan di laboratorium patologi anatomi UNS ternyata tidak ada kulit yang rusak, atau pembuluh darah pecah tetapi pembuluh darah hanya melebar. Melebarnya pembuluh darah mmebuiat aliran darah lancar dan pasokan oksigen dalam darah bertambah. Kulit ari juga terlepas seperti halnya luluran. Dan masih ada manfaat lain dari kerokan tersebut.

Hasil penelitian Prof Didik tersebut cukup melegakan terutama bagi fans berat kerokan.  Menurut saya, ternyata aman-aman saja , tidak masalah dengan kebiasaan kerokan itu.

Bagi kebayakan orang yang sudah terbiasa menyingkirkan masuk angin dengan kerokan memang tidak mudah mengubah kebiasaan tersebut. Masuk angin ? Cukup dengan kerokan dan minum jahe hangat yang di gepuk ditambahkan gula merah. Itulah pengobatan tradisional turun temurun yang selama ini mampu mengusir masuk angin dan sakit ringan lainnya semacam nyeri otot, meriang, capek-capek, mabuk perjalanan, dll.

Oya, yang membuat sakit cepat sembuh dan masuk angin pergi (minggat, maaf) karena saat kerokan biasanya ibu juga sambil bercerita banyak hal, menghibur, memijit sekaligus mendengarkan curhatan kita. Nah, saat kerokan itulah hubungan dengan ibu semakin dekat. Itu juga barangkali yang membuat penyakit menyingkir. Maka, jangan takut kerokan ya.
Semoga bermanfaat.

_Solo, 26 Agustus 2015_

Rabu, 15 Juli 2015

Kasih di Penghujung Ramadhan

Nak,
Malam semakin larut, sepi menyelimuti kegelapan,
Dingin angin mempau menembus kulit dan tulang,
Tak ada yang sanggup bertahan membuka mata,
Memilih bergelung menjemput impian.

dok:  Suci/pribadi


Nak,
Ibu terbangun mendengar suara desah nafas,
Wajahmu yang kosong menatap hampa tanpa makna,
Menambah dalam lingkaran dibawah bola mata,
Mengerus ceria yang lama tersungging di wajah penuh makna.

Nak,
Ibu tahu kamu begitu tergoda dengan gemerlap dunia,
Yang biasa didapatkan mereka teman-teman sebaya,
Menari-nari mengalungkan baju, sepatu, mainan, boneka,
Menerima hadiah untuk melengkapi kesempurnaan perayaan lebaran.

Nak,
Bukannya ibu tidak mau tahu,
Bukannya ibu pura-pura tidak melihat kegundahanmu,
Tidak juga menginginkan memberikan keinginanmu,
Apalagi berkeras tak memanjakan dirimu.

Tapi Nak,
Ibu tak mampu, tak sanggup, tak bisa,
Setidaknya untuk saat ini memenuhi keinginan,
Meski hanya sekedar baju, sepatu biasa yang murah harganya,
Sedikit rejeki kita hanya mampu untuk melunaskan zakat ,
Demi kesempurnaan puasa ramadhan kita.

Nak,
Maafkan ibu yang tak mampu penuhi,
Maafkan ibu yang masih seperti ini,
Bekerja hanya mampu untuk sehari-hari,
Tanpa menyisihkan untuk tambahan itu dan ini.

Nak,
Satu yang selalu ibu bagi,
Hanya untuk pujaan hati,
Kasih sayang sejati,
Hari ini, nanti dan kelak sampai mati.

Solo,di penghujung Ramadan 1435 H

Tiket Dari Surga

"Bu, kita mudik kan?"
Berulangkali Aisyah merengek, tangannya menarikku dengan gemas.
"Bu...." Suaranya mulai parau, bercampur isak yang ditahan.

Aku mengerang dalam hati, tak kuasa menahan tangis yang hampir pasti akan meledak jika tidak kugigit bibir erat-erat.

Tak kuasa melepas kata, hanya kuusap tangan bungsuku dengan perlahan. Demi melihatku hanya terdiam dengan bibir rapat, Maryam segera mengajak adiknya pergi. Sulungku pintar membaca keadaan.
Suaranya lembut membujuk Aisyah agar mau beranjak.Dengan setengah malas, Aisyah mau mengikuti langkah kakaknya.

Gambar: www.google.co.id/search?q=gambar+ibu+dan+anak+kartun

Aku menghela nafas panjang, bukan kelagaan yang kurasakan tetapi rasa bersalah yang semakin dalam dan menghujan di hati.
Siapa yang tak ingin mudik? Tak inginkan pertemuan dengan orangtua, saudara, tetangga dan kerabat lainnya? Aku sama seperti tetanggaku yang sejak awal ramadhan sudah merencanakan mudik dengan beragam cerita yang membuat rasa iriku semakin mengunung. Mereka sungguh beruntung mampu pulang ke kampung halaman untuk merayakan hari kemenangan dan menuntaskan rindu selama setahun terakhir.

Aku? Kekecewaan merambat cepat menelusuri relung hati menyelusup ke semua aliran darah membuatku tersentak dan dalam ketidakberdayaan hanya mampu terisak.
Tanpa anak-anak, air mata ini kubiarkan mengalir dengan deras.
Tidak hanya Aisyah yang sangat eskpresif menuntaskan keinginannya untuk pulang ke kampung halaman ibunya, tetapi Maryam juga memendak keinginan itu meskipun mampu menyimpannya dalam hati. Sulungku meskipun baru tujuh tahun tetapi sangat peka dan mengerti keadaan.
Sementara aku sendiri, rasanya tidak mampu bertahan dalam kerinduan yang semakin menjeratku. Bertahun-tahun aku berdesakan tinggal di sebuah kamar sempit, pengap di rumah kost yang kubayar dengan keringat yang kuperas sejak pagi buta sampai menjelang senja. Dipojok gang kelinci yang tersebar di seluruh sudut Jakarta.

Simbok, aku mengeja namanya dalam balutan rindu yang sangat dalam. Kubayangkan wajah tuanya yang teduh, sabar dan penuh dengan kasih sayang. Terakhir melihat Simbok, saat Maryam berumur 3 tahun dan Aisyah belum lahir. Empat tahun sudah aku tak pernah bertemu Simbok, perempuan yang berjuang keras membiayai sekolahku sampai tamat SMA meskipun pada akhirnya aku mengecewakannya karena menikah dengan laki-laki yang menurut Simbok bukan suami yang baik buatku.

Linangan airmataku kembali menderas saat teringat betapa aku berani menentang Simbok dengan tetap bersikeras menikah dengan bapak dari anak-anakku. Meskipun akhirnya Simbok memilih mengalah, aku tahu telah membuatnya menyimpan kekecewaan yang mendalam.

“Assalamu’alaikum…..”
Ketukan keras itu membuat lamunanku buyar.
“Waalaikum salam…” sahutku lirih, sambil menyeka air mata dengan ujung bajuku. Tanganku tertatih mengapai tembok dan berjalan mencari pintu.
“Mbak Murni?” Aku sangat hafal suara tetangga kamar, Mbak Siti, berdiri di depan pintu. Ia tidak sendiri, aku bisa merasakannya. Hidungku mencium wangi parfum yang sangat lembut.
“Ya Mbak? Kenapa? Silahkan masuk,” kataku menyilahkan tamu yang bersama tetanggaku.
“Silahkan, Bu. Ini Mbak, aku mengantar ibu ini untuk bertemu. Katanya ada yang ingin disampaikan,” jelas Mbak Siti.

Benar dugaanku ada tamu di rumahku.
Aku tersenyum menyilahkan tamuku duduk di selembar karpet tipis yang biasa kupergunakan untuk tidur, saat satu-satunya kasur hanya cukup untuk Maryam dan Aisyah.
“Bu, saya Rusma. Kebetulan ada sedikit rejeki. Saya bermaksud memberikan sedikit rejeki ini kepada ibu Murni. Mudah-mudahan bisa dipergunakan untuk keperluan ibu,” tutur ibu yang Rusma sambil mengangsurkan amplop ke tanganku.
Aku tergangga. Siapakah perempuan baik hati ini, apakah dia malaikat yang sengaja datang menemuiku? Batinku penuh tanya.
“Baik, Bu. Saya permisi dulu,” Kata Bu Rustam setelah mengucap salam, langkah kakinya tak lagi kudengar.
Aku hanya mampu membalas lirih salamnya, tak mampu berbicara apapun. Keharuan menyeruak didada membuatku seraya melayang.

“Kamu beruntung Mbak. Bersyukurlah. Akhirnya kamu dan anak-anak bisa mudik,” kata Mbak Siti sambil menepuk tanganku dengan lembut.
“Si..siapa dia?” tanyaku lirih.
“Aku nggak tahu, Mbak. Hanya dia sudah mencari mbak sejak dua hari lalu. Mungkin dia memang dikirim Tuhan buat membantumu, Mbak,” jelas Mbak Siti sambil meninggalkanku.

Aku tergugu sampai tidak menyadari kedatangan Maryam dan Aisyah di dekatku.
“Kok ibu nangis? “ Suara Aisyah membuatku tersadar dan mengusap air mata dengan cepat.
Kupeluk kedua buah hatiku dengan penuh rasa syukur.
“Bu, kita mudik ke rumah Simbah ya. Ke desa ya..” kata Aisyah lagi, tak juga melupakan keinginannya.
“Ssttttt, Ais…” potong Maryam cepat sambil melihatku dengan cemas.

Aku tersenyum, mengendurkan pelukanku.
Kupandangi kedua gadis kecilku. Perlahan kuraba wajah keduanya. Aku masih sangat ingat wajah manis Maryam dengan hidung mancungnya yang mengemaskan. Wajah lucu Aisyah dengan pipi tembemnya.
“Iya, iya sayang. Insyaallah kita mudik.” Kataku cepat menjawab harapan Aisyah.
“Tapi, Bu?” tanya Maryam.

Ku acungkan amplop yang terasa tebal di tanganku sambil mengurai senyum, “Alhamdulillah, Nak, ada malaikat yang berbaik hati memberikan rejeki bagi kita untuk pulang ke desa. Kita pulang, Nak,” ujarku riang dan terasa ringan.
Maryam sontak memelukku. Linangana air matanya terasa membasahi bahuku. Isakan lirihnya terasa lega dan penuh kebahagiaan. "Tiket dari surya," ucapnya bergetar.

Kuraba lagi wajah kedua belahan jiwaku ini. Ingatanku melayang kepada Simbok di desa. Wajahnya terasa dekat di hatiku. Wajah Mas Supri, suamiku sempat berkelebat tetapi cepat kusingkirkan. Lelaki itu telah tega meninggalkan kami bertiga setelah kecelakaan yang merengut sinar kehidupanku dua tahun yang lalu.

Simbok, kami akan pulang. Anak dan cucumu akan pulang menutaskan kerinduan padamu. Maafkan anakmu Mbok, seruku dalam hati. Smoga engkau tetap menerimaku dalam keadaan seperti ini.
“Cepatlah bebenah, kita akan mudik,” bisikku kepada Maryam.

Aku berdiri sambil berpegangan tembok, mengukur kakiku mencari lemari pakaian. Kami harus segera bersiap untuk pulang ke desa. Entah mengapa kali ini mataku terasa terang, meski kenyataanya gelap tetap menyelimutiku.***


_Solo, 14 Juli 2015_

Senin, 06 Juli 2015

Joko Kendil dan Nyi Randa

             Pada suatu masa, hiduplah seorang janda tua bernama Nyi Randa. Ia hidup miskin dan sebatang kara. Setipa hari ia bekerja keras untuk mencukupi hidupnya. Tetapi hidupnya serba kekurangan. Kerja kerasnya tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Terpaksa Nyi Randa hanya makan seadanya saja, bahkan sesekali ia tidak makan karena tidak mempunyai uang sepeserpun untuk membeli makanan.



Dok. Suci
Kemiskinannya membuat Nyi Randa terlihat lebih cepat tua dari usianya. Semakin hari ia semakin tua dan tubuhnya mudah lelah. Sebenarnya Nyi Randa ingin mempunyai seorang anak laki-laki yang bisa membantunya sehingga ia bisa istirahat. Dia ingin suatu ketika bisa beristirahat saat tubuhnya sudah tidak mampu bekerja lagi. Oleh karena itu setiap hari ia tidak pernah lelah berdoa agar Tuhan memberinya anak.
            Suatu hari, saat pulang kerja tanpa segaja Nyi Randa menemukan sebuah kendil[1]  tergeletak di jalan. Ia membawanya pulang. Lumayan, masih bisa digunakan untuk memasak, batin Nyi Randa sambil meletakkan kendil di dapur. Tiba-tiba Wusssss…. Sebuah asap putih  mengepul dari kendil itu dan berubah  wujud. Tiba-tiba kendil itu berdiri dan berubah menjadi seorang anak laki-laki yang pendek, kecil dan bermuka hitam seperti kendil.
Alangkah suka citanya Nyi Randa mendapatkan seorang anak laki-laki, yang telah lama diharapkannya. Nyi Randa riang gembira karena do’anya terkabul. Anak laki-laki itu dinyakininya merupakan titipan Yang Maha Kuasa sehingga harus dirawatnya dengan baik. Meskipun berwajah buruk tetapi Nyi Randa tetap bersyukur. Ia merasa Tuhan telah mendengarkan do’anya. Ia memanggil anak itu dengan nama Joko Kendil.
Joko Kendil tumbuh menjadi anak yang periang, rajin dan suka menurut apa yang dikatakan Nyi Randa. Selain itu dia  juga tidak kenal lelah bekerja membantu Nyi Randa. Meskipun tubuhnya kecil, tetapi kekuatannya besar dan rasanya tidak kenal lelah.
            “Simbok di rumah saja, istirahat. Kendil akan mencari makan,” kata Joko Kendil.
            “Kamu akan kemana?” tanya Nyi Randa menatap cemas anaknya. Dengan tinggi kurang dari satu meter, pekerjaan apa yang bisa dikerjakan Kendil? Batinya cemas. Selama ini dia selalu menemani Kendil kemanapun pergi. Nyi Randa bekerja dengan dibantu anaknya. Kalau hanya pergi sendiri, dia menjadi cemas.
            “Do’akan saja ya, Mbok.” Jawab Kendil berpamitan. Dia tidak tega melihat Nyi Randa yang semakin tua tetap bekerja. Joko Kendil bertekad untuk membuat Nyi Randa nyaman di rumah.
**
           
Joko Kendil pergi ke sebuah rumah yang sedang mempersiapkan mengelar pesta pernikahan. Dia pergi ke dapur melihat berbagai macam kesibukan. Orang-orang tampak sibuk memasak berbagai macam masakan untuk hidangan para tamu yang datang.  Joko Kendil duduk diam sambil memperhatikan mereka. Selama ini dia belum pernah melihat orang sibuk masak seperti itu.
            “Hei, Yu, daging ini mau ditaruh di mana? Aku kehabisan kendil,” teriak salah satu ibu sambil membawa daging sapi yang akan dimasak.
            “Coba kamu cari disitu. Mungkin masih ada kendilnya,” jawab ibu yang lainnya. Semua saling sibukm tak sempat memperhatikan dengan baim apa yang ada di dapur. Ketika melihat kendil yang hitam tetapi tidak ada isinya, ibu itu memasukkan daging ke dalamnya. Dia tidak menyangka kalau kendil itu adalah Joko Kendil yang sedang duduk. Joko Kendil memang unik, setiap saat tubuhnya bisa berubah menjadi kendil sehingga orang pasti akan menyangka ia sebuah kendil.
            “Ini Yu. Untung saja ada kendil kosong disini,” kata ibu tadi lega melihat dagingnya sudah mendapatkan tempat.
            Joko Kendil melonggo tidak tahu mesti berbuat apa. Dia terpaksa hanya diam saja menunggu ibu tadi mengambil daging yang ada ditubuhnya. Tetapi sampai menjelang siang, ibu tadi belum juga mengambil daging karena sibuk memasak lainnya.
Karena capek, terpaksa Joko Kendil pulang ke rumah sambil membawa daging yang cukup banyak. Dia tidak bermaksud mencuri tetapi dia tidak bisa mengalihkan daging yang bertumpuk itu.
            Saat pulang, Nyi Randa terkejut melihat Joko Kendil membawa makanan. Dia senang sekaligus cemas melihat anaknya pulang dengan selamat.
            Sejak saat itu  setiap harinya Joko Kendil selalu pulang membawa makanan yang enak-enak. Sejak saat itu Nyi Randa tidak usah bekerja keras karena Joko Kendil telah mengambil alih pekerjaanya. Meskipun ia hanya anak pungut dan badannya kecil serta jelek tetapi ia anak yang berbakti dan selalu meringankan pekerjaan ibunya.
**
           
Suatu ketika, ada sebuah perjamuan yang diadakan Raja di istananya. Semua rakyat diundang oleh raja karena itu perjamuan  pesta rakyat. Sudah bertahun-tahun Raja mengadakan acara serupa.  Nyi Randa dan Joko Kendil tidak lupa ikut berbaur dengan rakyat lainnya menikmati pesta rakyat. Dimana-mana makanan dan minuman melimpah ruah. Semua rakyat senang karena kebagian makanan dan menikmati berbagai pertunjukan hiburan. Rasanya tidak ada yang tidak senang dengan acar tersebut.
            Saat Nyi Randa asyik menikmati berbagai hiburan dan merasakan semua makanan yang dihidangkan para pelayan, Joko Kendil menyelinap masuk ke dapur. Seperti biasanya, dia duduk diam. Saat itu, entah kenapa ada seorang juru masak yang berteriak membutuhkan tempat untuk masakannya.  Semua kendil telah penuh. Juru masak binggung, dia harus segera menyelesaikan masakan kalau tidak mau dihukum  kepala dapur.
Joko Kendil hanya diam saja tidak beranjak dari tempatnya semula. Juru masak melihat kendil hitam jelek dan tampak usang yang tak lain adalah tubuh Joko Kendil, berteriak senang.  Bagi dia disaat yang seperti itu, tidak masalah mengambil kendil jelek untuk tempat masakannya.
            “Biarin saja, jelek nggak masalah. Aku sangat membutuhkan kamu. Masakan ini harus segera siap dihidangkan. Aku bersyukur bisa menemukanmu,” kata juru masak pelan sambil meraih kendil.  “Berkat kamu aku terhindar dari hukuman kepala dapur,” batin juru masak sambil tersenyum lega. Saat itu tiba-tiba saja kendil yang diambil juru masak menghilang dan berubah menjadi  pangeran tampan yang tersenyum sambil menjura memberi hormat.
            Juru masak terkejut dan berkali-kali mengucek matanya untuk menyakinkan kalau sedang bermimpi.
            “Paman tidak sedang bermimpi. Terimakasih paman. Karena paman membutuhkan saya, maka kutukan jahat yang bertahun-tahun menimpa saaya telah lenyap. Saya seorang pangeran dari negri sebrang,” kata pangeran tampan sambil tersenyum.
            Juru masak senang setelah mendengar penjelasan singkat pangeran tersebut.  Setelah berterimakasih, pangeran jelmaan Joko Kendil mencari Nyi Randa. Alangkah terkejutnya Nyi Randa mendengar kisah Joko Kendil yang ternyata pangeran tampan bernama Raden Handaka. Maka Nyi Randa diajak Pangeran Handaka untuk tinggal di istananya. Sejak saat itu hidup Nyi Randa menjadi bahagia sampai akhir hayatnya. ***


[1] panci  di jawa yang terbuat dari tanah liat

Putri Roro Jonggrang

            Alkisah, ada putri cantik jelita bernama Roro Jonggrang, anak dari seorang raja di tanah Jawa. Selain cantik, ia juga ramah dan baik hati. Kecantikannya termasyur di seantero kerajaan  bahkan sampai ke kerajaan  tetangga. Tak heran banyak pangeran yang ingin menjadikannya permaisuri. Tak trekecuali Bandung Bondowoso, seorang pengeran gagah, sakti mandraguna.
gambar :https://www.google.co.id/search?q=Gambar+makhluk+luar


                  Sayang sekali, dari sekian banyak pangeran yang meminang, Roro Jonggrang belum menjatuhkan pilihannya. Persyaratan yang disampaikan Roro Jonggrong terlalu berat sehingga belum ada seorangpun yang sanggup memenuhinya
            Pada hari yang telah ditentukan, Bandung Bondowoso datang melamar Roro Jonggrang. Sang Raja terpesona dengan ketampanan dan kegagahan Bandung Bondowoso. Dia merasa senang dan berharap putrinya mau dipersunting. Tetapi Sang raja mempersilahkan putrinya untuk menjawab langsung.
Sama seperti lamaran sebelumnya, Roro Jonggrong berusaha menampik dengan hati-hati dan halus. Sebetulnya dia belum ingin bersuami, tetapi  tidak berani mengutarakn keinginan hatinya kepada orangtuanya. Saat itu, seorang remaja putri yang bernajak dewasa  memang harus segera dicarikan jodoh terlebih seorang putri raja. Tidak elok kalau tidak segera mendapatkan jodoh. Maka tak ada jalan lain untuk menolak halus selain dengan cara mmeberikan syarat yang susah untuk diwujudkan.
            Saat Bandung Bondowoso mengutarakan niatnya, Roro Jonggrang minta syarat kepada Bandung Bondowoso yaitu agar dibuatkan seribu candi dalam satu malam.
            “Kalau pangeran bisa membuatkan seribu candi dalam satu malam, hamba bersedia menjadi istri pangeran,” kata Roro Jonggrang halus.
Bandung Bondowoso menatap putri cantik di depannya dengan terkejut. Sungguh tidak masuk akal permintaan sang putri. Tetapi demi melihat paras putri yang cantik jelita, kulit yang halus dan  tutur kata yang lembut mendayu-dayu, tak pelak membuat semangat Bandung Bondowoso tumbuh berlipat. Tanpa berpikir panjang dia mengiyakan syarat yang diajukan sang putri.
“Baiklah, putri. Saya bersedia menerima syarat yang kamu ajukan. Saya akan membangun candi sejumlah seribu dalam satu malam,” kata Bandung Bondowoso mantap dan penuh percaya diri.
Sesungguhnya Roro Jonggrang tergetar hatinya melihat ketampanan Bandung Bondowoso. Baru kali ini dia merasa senang dan tertarik dengan seorang pangeran. Dia berharap bisa mendampingi pangeran tampan di depannya. Tetapi dia tetap ingin menguji apakah pangeran tampan itu juga sakti mandraguna. Di sisi lain, Roro Jonggrang memang suka tantangan, dia tidak ingin mempunyai suami yang tidak mempunyai kesaktian tinggi.
“Ingat, Pangeran. Hanya dalam satu malam saja. Kalau sampai kurang satu buah saja, perjanjian kita batal. Saya tidak akan mau dipersunnting pangeran,” pesan Roro Jonggrang.
Bandung Bondowoso tersenyum sambil mengundurkan diri.

Setelah meninggalkan Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso menyepi dan bersemadi. Dia mengerahkan seluruh kesaktiannya untuk memohon petunjukNya. Dan saat itulah datang sejumlah bantuan dari ratusan jin yang pernah ditaklukkannya. Para Jin berjanji akan membantu Bandung Bondowoso untuk membangun candi.
Tibalah malam yang telah ditentukan. Bertempat di sebuah pelataran yang luas, Bandung Bondowoso duduk mengambil tempat yang sepi. Dia mengerahkan kemampuan memanggil jin yang telah bersedia membantunya. Malam itu ratusan jin membangun candi. Dengan cepat sejumlah candi berhasil berdiri dengan kokoh. Bandung Bondowoso tersenyum puas sambil mengamati jin yang bekerja. Dia nyakin semua permintaan Roro Jonggrang akan terpenuhi melihat kecepatan para jin dalam bekerja.
Sementara itu, ditempat terpisah, Roro Jonggrang melihat pembuatan candi dari kejauhan dengan sikap gelisah. Entah mengapa dia dilanda kecemasan.  Roro Jonggrang melihat kesaktian Bandung Bondowoso yang luar biasa kelak bisa mengoyahkan kedudukan ayahnya. Dia tidak siap jika kelak pangeran itu menyakiti hati ayahnya. Bukankah suamiya kelak akan menjadi pewaris kerajaan mengantikan kedudukan ayahnya? Roro Jonggrang was-was kalau dengan kesaktian Bandung Bondowoso akan mengantikan ayahnya sebelum waktunya. Menyadari hal itu, mendadak  dia tidak ingin dipersunting Bandung Bondowoso. Lenyaplah sudah keinginan dan ketertarikannya dengan ketampanan dan kegagahan pangeran sakti itu.

            Semalaman Roro Jonggrang tidak bisa memejamkan mata, ia sangat khawatir Bandung Bondowoso mampu memenuhi syarat yang diajukannya. Tepat menjelang dini hari, hampir seribu candi sudah berdiri kokoh membuat Roro Jonggrong menciut ketakutan.  Ia menangis sambil berpikir keras. Sedapat mungkin dia akan berusaha menghalangi keberhasilan Bandung Bandowoso.
            “Mbok Emban, saya yakin sebentar lagi pangeran itu mampu membuat seribu candi. Kalau sampai hal itu terjadi  bagaimana dengan saya?”  ratap Roro Jonggrang berlinang air mata.
            “Putri Roro Jonggrong. Itu sudah menjadi permintaan paduka. Kalau sampai Bandung Bondowoso mampu, itu artinya sudah menjadi takdir paduka menjadi istrinya. Oleh karena itu paduka  harus sanggup menjalaninya.” Tutur Mbok Emban, pengasuh Roro Jonggrang dengan  lembut.
            “Tapi, Mbok? Saya belum mau mempunyai suami. Lagipula kalau sampai pangeran itu menjadi suami saya, suatu saat dia bisa mengambil alih kedudukan ayah. Kasihan sekali ayah.” Kata Roro Jonggrang sambil terus terisak.
            “Tidak baik melanggar janji. Lakukan saja dengan ikhlas, semoga paduka meraih kebahagiaan.” Mbok Emban mengelus rambut panjang Roro Jonggrang dengan penuh rasa sayang.
            Tetapi Roro Jonggrang tidak mengindahkan nasehat pengasuhnya, ia mencari akal untuk mengagalkan usaha Bandung Bondowoso. Maka ia meminta Mbok Emban untuk memukul palu agar membangunkan ayam. Tak lama kemudian saat palu di pukulkan pada lesung, bunyi ayam jantan berkokok bersahutan, tanda pagi sudah datang.
            Mendengar ayam berkokok, ratusan jin yang membantu membangun candi lari tunggang langgang. Bandung Bondowoso kaget sekaligus marah saat tahu kalau itu semua perbuatan Roro Jonggrang yang berusaha mengingkari janji.
 Saat Roro Jonggrang menghitung jumlah candi dan  ternyata kurang satu buah, dengan marah Bandung Bondowoso mengutuk Roro Jonggrang menjadi candi. Sekarang genaplah candi menjadi seribu buah.
            Roro Jonggrang menyesal dan hanya bisa menangis meratapi nasibnya. Ia memohon kepada Tuhan agar mengembalikan tubuhnya seperti semula.
            Tetapi nasi sudah menjadi bubur, tidak ada gunanya menyesali keputusan yang telah terucap. Meskipun sakti, Bandung Bondowoso tidak mampu membatalkan sumpahnya. Meskipun dia menyesal melihat putri yang dicintainya menjadi candi, tetapi dia tidak bisa  berbuat apa-apa.
            Sejak saat itu masyarakat bisa menyaksikan seribu candi  yang terletak di Prambanan Klaten Jawa Tengah. Candi megah itu tetap berdiri kokoh sampai saat ini. ***