Teruntuk anak-anak saya, mas Afin, mbak Alma, dik Adhan
(mawar VI, Okt 2013)
Lely
tersenyum malu dengan pujian dari bu Tenti, guru seni suara disekolahnya.
Berkali-kali dihadapan teman-teman, bu guru bertepuk tangan ketika Lely selesai
menyanyikan sebuah lagu. Ya, siang ini anak kelas IV dan V sedang
mengikuti seleksi terakhir untuk
bergabung menjadi group paduan suara yang akan mewakili SD Mekarsari
dalam perlombaan menyanyi tingkat
kecamatan. Perlombaan paduan suara sudah berlangsung selama tiga tahun, dan
selama ini SD Mekarsari belum pernah mendapatkan juara. Kali ini semua guru dan
murid berharap akan memenangkan perlombaan dan berhak mendapatkan piala
bergilir dari pak camat.
“ Baiklah anak-anak, ibu sudah
memutuskan untuk memilih 10 anak diantara kalian. Pilihan ibu ini sudah dipertimbangkan
dengan baik, dengan melihat kemampuan kalian dalam bernyanyi. Bagi yang belum
terpilih, ibu harap tidak berkecil hati. Mungkin saat ini belum berhasil
mewakili sekolah kita, tetapi bukan berari kalian tidak bagus dalam bernyanyi.
Tetapi karena hanya ada 10 anak yang mewakili sekolah, jadi mohon maaf kalau
diantara kalian ada yang tidak terpilih. Nama-nama yang masuk ke tim paduan
suara adalah Rina, Ika, Wati, Hana, Salsa, Alma, Zahra, Elisa, Dila
dan....Lely..... Selamat untuk kalian yang terpilih”
Lely seakan tak percaya dengan pendengarannya sendiri.
Namanya masuk dalam tim paduan suara. Sungguh Lely tak menyangka, karena banyak
teman-temannya yang bersuara bagus dan layak terpilih. Dicubitnya tangan kanan
untuk menyakinkan pendengarannya tak salah. Rasa sakit dan warna merah di
tangan membuat Lely nyakin kalau dia memang
berhak mewakili paduan suara SD Mekarsari. Sorakan dan jeritan
senang teman-temannya juga menyadarkan
Lely kalau apa yang diinginkan selama ini terwujud. Selama ini, diam-diam Lely
sangat berharap bisa masuk ke tim paduan suara. Dengan bekal suara yang menurut
ibunya cukup bagus, Lely menjadi percaya diri untuk menunjukan kemampuan dalam
olah vokal. Hampir seminggu setelah bu guru memberikan pengumuman seleksi tim paduan suara, Lely tak kenal lelah untuk berlatih menghapalkan lagu.
Sambil membantu ibunya membuat kue, Lely selalu bersenandung. Baginya waktu
sangat berharga, karena Lely ingin menunjukan
kemampuannya.
“Anak-anak, selain suara bagus dan
kompak, dewan juri juga menilai kekompakan seragam kalian. Ibu
dan guru-guru lainnya sudah memutuskan tim paduan suara akan memakai baju putih
putih dan sepatu hitam. Untuk itu tolong kalian persiapkan seragam yang
dibutuhkan ya. Masih ada waktu 2 minggu lagi . Sekian, dan terimakasih. Jangan
lupa setiap hari sepulang sekolah kita akan berlatih
bersama............................”
Lely termangu mendengarkan
penjelasan bu Tenti, tiba-tiba wajah cerianya berubah menjadi murung.
Seandainya tak memakai seragam apakah
aku bisa mengikuti paduan suara ? Batin Lely sedih. Harapan untuk terlibat
dalam paduan suara sudah membumbung tinggi. Tetapi kalau tidak memakai seragam
akan terlihat lucu dan tidak kompak. Kasian teman-teman yang lain.
“Lel? Kamu kok tiba-tiba murung,
kenapa?” suara Ika, teman sebangku Lely menyadarkan lamunannya. Lely hanya
tersenyum sambil mengelengkan kepala.
“Waduh aku tidak punya rok putih.
Nanti aku akan minta mamaku untuk membelikan,”sambung Ika lagi. Wajahnya ceria
dan nampak gembira sekali. Tak ada raut kecemasan . Lely nyakin kalau semua
kebutuhan Ika akan dipenuhi oleh orangtuanya karena mereka mampu. Lain dengan
Lely yang hidup serba kekurangan. Tidak mudah mengharapkan sesuatu dari ibunya,
meskipun untuk kebutuhan sekolah. “Kamu gimana Lel? Sudah punya rok putih
belum?”
Lely mengelengkan kepalanya, “ Belum
Ka.”
“Trus gimana? Masak kamu tidak pakai
seragam? Eh, cari pinjaman saja gimana? “
“Iya. Coba saja nanti. Kalau nggak
ada pinjaman, ya gimana lagi...” jawab Lely lemah.
“Ayolah, kamu harus semangat dong.
Suara kamu bagus, sayang kalau kamu tak bisa memperkuat tim kita,” Ika
mendorong semangat sahabatnya.
Lely tersenyum dipaksakan, dia tak
nyakin bisa mempunyai rok putih yang dibutuhkan. Tak sampai hati untuk minta
ibu membelikan rok itu. Tetapi apakah Lely rela untuk tidak mengikuti paduan
suara di perlombaan nanti? Bukankah selama ini dia sudah berusaha untuk lolos
seleksi? Alangkah sayangnya kalau langkahnya harus terhenti karena tidak
mempunyai rok putih. Lely bertekad dalam hati untuk mendapatkan rok putih. “Iya, insya alloh aku
akan berusaha Ka,” jawab Lely disambut senyuman hangat Ika.
**
Seperti biasanya sepulang sekolah
Lely mengambil tempat kue yang dititipkan di kantin sekolah dan beberapa kantin
sekolah lainnya. Sore sebelum sholat maghrib, Lely mengambil
tempat kue di beberapa warung. Pekerjaan membantu ibu sudah dilakukan sejak duduk di kelas
II SD. Setiap hari setelah adzan subuh,
Lely membantu ibu membuat kue-kue yang akan dititipkan di warung dan kantin
sekolah. Sejak bapak meninggal karena kecelakaan ketika Lely kelas 1 SD, tulang
punggung keluarga terpaksa di pundak
ibu. Kerja keras membanting tulang demi mencukupi kebutuhan keluarga di
jalani ibu tanpa mengenal lelah. Hampir setiap hari siang dan malam waktu ibu
habis untuk bekerja. Sebelum tidur malam ibu sudah meracik bahan-bahan untuk
membuat kue, dan sekitar jam 02.00 ibu bangun untuk memasak beraneka ragam kue.
Pagi sekitar jam 05.30, semua kue sudah
siap . Dengan di bantu Lely, ibu akan mengatur kue-kue, sebagaian di bawa ibu
ke pasar, sebaghian lain akan dititipkan ke warung-warung dan kantin sekolah.
Jam 06.00 semua kue sudah siap, ibu berangkat ke pasar dan Lely mengantar kue
ke warung dan kantin sekalian berangkat
sekolah. Sebenarnya Lely ingin membantu ibu memasak kue, tetapi ibu melarang
karena khawatir Lely akan mengantuk kalau harus bangun lebih dini.
“Assalamualaikum.............”
“
Wa’alaikumsalam........................ sudah pulang Lely?” terdengar jawaban
ibu dari dapur. Lely langsung menemui ibu,
setelah meletakkan tas sekolah di meja dapur yang menjadi satu dengan rungan
tengah dan sekaligus tempat Lley belajar setiap harinya. Setelah meletakkan kotak tempat kue di ember,
Lely mencium tangan ibu.”Alhamdulillah, semua kue hari ini habis terjual bu,”
sejumlah uang dari kantin sekolah diberikan ke ibu. Sambil terus membersihkan
sayur bayam, ibu menerima uang pemberian Lely. Tampak senyum puas terbalut
letih dari bibir ibu. Tak ada kebahagiaan bagi ibu dan anak tersebut selain
dagangan laku terjual. Setelah menghitung uang, selembar uang Rp 5.000 di
masukkan ke celengan gajah yang terbuat dari tanah liat. Ibu sudah terbiasa
menyisihkan sebagian uang dari penjualan kue. Besarnya tidak pasti, terkadang
Rp 1.000, kalau kebetulan semua jualan laku bisa sampai Rp 5.000. Untuk
keperluan mendadak dan kelak bisa digunakan membiayai sekolah Lely , demikian
kata ibu.
“Kamu sudah lapar nak? Ibu baru mau
masak .”
“Sayur bayam sama tempe goreng bu?
Ehm, enak sekali. “ Lely berdecap membayangkan sayur bayam hangat dan tempe
yang menjadi menu makan siangnya. Lely anak yang penurut dan tak banyak
menuntut. Dia mau memahami kondisi ibu, semua sajian yang dimasak ibunya selalu
di makan. Meskipun setiap hari terbiasa
dengan lauk pauk sederhana, tetapi Lely sudah sangat bersyukur.
Lely minta ijin untuk menganti baju
seragam, setelah 10 menit kemudian nampak tangannya sibuk membantu ibu memasak.
Aroma tempe yang di goreng memenuhi dapur sederhana itu.”Bu, alhamdulillah Lely
masuk ke tim paduan suara,”
“Alhamdulillah, kerja kerasmu tak
sia-sia nak. Ibu bangga padamu. Kamu harus berlatih lebih baik lagi agar tak
memalukan sekolahmu ya,”
“Iya bu. Tapi.......eng............”
“Kenapa nak? “
“Itu bu...Lely....” melihat raut
wajah kelelahan ibunya, tak sampai hati Lely untuk mengatakan soal rok putih
yang harus digunakan untuk paduan suara. Meskipun hampir setiap hari ibu
menabung dari menyisihkan sedikit laba berjualan kue, tetapi uang itu akan
digunakan untuk hal-hal penting lainnya.
“Kenapa Lel?”tanya ibunya lagi
“ Nggak apa-apa kok bu. Lely bantu
bikin sambal ya bu. Ehm...baunya enak sekali, pasti tempe ini sedap.” Lely
mengalihkan pembicaraan. Tangannya sibuk melumatkan cabe, bawang putih, terasi
dan garam. Ibu tak mendesak dan menyelesaikan memasak sayur bayam. Semua
masakan hampir selesai,sebentar lagi mereka akan menikmati makan siang.
**
Semua uang simpanan Lely sudah
dikumpulkan, tetapi tak sampai Rp 25.000. Hanya ada 15 lembar seribuan, 10 koin
limaratusan , dan uang receh duaratusan , yang total semua hanya Rp 24.500.
Lely sudah mengeluarkan semua ‘harta’nya tetapi tetap saja tak ada lagi. Dengan
lesu Lely mengumpulkan semua uang yang
berserakan di kasur tipis kamarnya, kemudian di masukkan ke cangkir bekas air
mineral. Lely berpikir keras untuk menambah simpanan uangnya. Aku harus bisa
membeli rok putih, tekad Lely. Berapa harga rok putih? Apakah mahal sekali?
Jangan-jangan aku tidak mampu mengumpulkan uang sampai lomba paduan suara
nanti, batin Lely khawatir.
“Lely....Lely.....”ketukan pintu
membuyarkan lamunan Lely.
“Iya, sebentar bu,” tak sampai 2 menit Lely sudah berdiri di
depan ibu.
“Bu Gito tadi ke sini. Dia butuh
teman untuk membersihkan halaman rumahnya. Kalau kamu mau, sore ini bisa membantu
bu Gito,” jelas ibu. Lely hanya menganggukkan kepala, tiba-tiba dia ingat
tentang rok putihnya. Mudah-mudahan ada jalan untuk menambah uang simpanannya,
batin Lely.
Setelah minta ijin, Lely segera
berangkat ke rumah bu Gito yang berjarak sekitar 1 km dari rumahnya. Rumah bu
Gito besar, tetapi halaman rumah kelihatan kotor dan kurang terawat. Maklum bu
Gito hanya tinggal bersama suaminya, karena semua anaknya sudah kerja dan
tinggal di kota lain. Setelah pensiun pak Gito dan istrinya lebih sering di
luar kota untuk mengunjungi anak-anaknya.
Mereka tidak mempunyai pembantu rumah tangga, hanya sesekali memanggil
mbok Yati untuk membersihkan rumah. Tetapi sudah seminggu ini mbok Yati sakit
sehingga rumah bu Gito kelihatan kotor.
“Syukurlah kamu bisa datang Lely. Rumah
ibu sudah kotor sekali. Mbok Yati masih sakit. “ jelas bu Gito sambil
memberikan penjelasan apa yang harus Lely kerjakan. Dengan senang hati Lely
segera mengambil sapu. Tak lama kemudian Lely sudah kelihatan asyik membersihkan
rumah, halaman rumah dan kebun belakang. Setelah semua di sapu, Lely
segera membersihkan semua debu yang menempel di perabotan rumah dan mengepel
lantai. Peluh nampak bercucuran di
dahi, tetapi Lely tetap bersemangat. Baginya membersihkan rumah sudah hal yang
biasa, tak sedikitpun Lely merasa keberatan meskipun rumah bu Gito besar.
Saat adzan magrib berkumandang,
semua pekerjaan sudah selesai dilakukan. Rumah nampak rapi, bersih dan enak di
pandang mata. Bu Gito tersenyum puas melihat hasil kerja Lely, demikian juga
Lely nampak gembira karena semua tugas sudah diselesaikan. Yang lebih membuat
Lely bahagia karena bu Gito memberikan upah yang cukup besar. Selembar uang Rp
20.000 sudah berpindah tangan masuk ke saku baju Lely.
“ Maaf bu, apakah ibu masih
membutuhkan tenaga saya? “ tanya Lely ragu-ragu.
Bu Gito menatap Lely sambil
tersenyum,” Memang kenapa nak?”
“Eng, kalau mbok Yati belum bisa
bekerja, saya masih bersedia untuk mengantikan. Tetapi setelah pulang sekolah
bu.”
“O..begitu. Ya, boleh saja. 2 hari
lagi kamu ke sini lagi ya. Rumah ibu
memang tidak setiap hari dibersihkan,
cukup 2 hari sekali saja. Tetapi kalau mbok Yati sudah berangkat kerja,
sepertinya ibu tidak membutuhkan tenagamu, nak“
Setelah mengucapkan terimakasih Lely segera
berpamitan.
**
Pulang sekolah Lely segaja berhenti di toko pakaian di dekat kecamatan.
Dengan memberanikan diri Lely bertanya kepada penjaga toko harga rok putih.
Harga rok putih Rp 65.000, uang simpanan Lely belum mencukupi. Masih
kurang Rp 20.500 lagi. Masih ada
waktu 5 hari untuk mengumpulkan uang,
batin Lely bersemangat. Setiap selesai latihan
paduan suara disekolah, Lely segera pulang dan membantu ibu membereskan
peralatan memasak kue. Kemarin Lely ke
rumah Bu Gito, tetapi ternyata mbok Yati
sudah berangkat. Jadi Lely tidak jadi membantu membersihkan rumah. Meskipun
agak kecewa, tetapi Lely senang melihat mbok Yati sudah sembuh.
Saat masuk ke rumah, Lely agak heran
karena ibu tidak menjawab salamnya. Lely segera masuk kamar dan sangat terkejut
melihat ibu terbaring lemah. Badannya panas, wajahnya pucat. Ibu hanya
tersenyum lemah tanpa menjawab sepatah katapun. Lely segera membuatkan teh
panas, setelah itu memasak sayur bayam kesukaan ibu.
“Ibu, makan dulu ya. Lely suapi.”
Dengan penuh kasih sayang Lely menyuapi ibu. Lely sangat khawatir kalau ibu
sakit keras, karena meskipun badannya panas tetapi badan ibu menginggil
kedinginan. Dua lembar selimut tak mampu memberikan kehangatan.
“Nanti sore kita ke dokter ya bu. “
“Jangan Lely. Tidak usah. Besok ibu
juga sembuh. Paling juga hanya demam”
“Tidak bu, badan ibu panas sekali.
Lely takut kalau ibu sakit berat. Nanti
sore ke dokter Herman ya.”
Sorenya Lely memanggil becak dan
mengantar ibu periksa ke praktek dokter Hari. Semua uang simpanan yang akan digunakan untuk membeli rok putih di
bawa. Ibu juga membawa uang tabungan, jumlahnya tak begitu besar, hanya Rp 135.000.
Di tambah dengan uang Lely, jumlahnya Rp 179.500. Lely berharap semua uang yang
di bawa cukup untuk membayar biaya pengobatan ibu.
Dokter Hari mengatakan kalau ibu
terserang tipes sehingga harus beristirahat beberapa hari. Ibu tidak
diperbolehkan melakukan pekerjaan berat, harus beristirahat total di rumah.
Lely sedih sekali melihat kondisi
ibunya. Setelah membayar jasa dokter, membeli obat di apotik dan membayar
ongkos becak, hanya tersisa uang Rp 5000. Sisa uang terakhir dibelikan buah
pisang dan bubur. Lenyap sudah harapan Lely untuk membeli rok putih yang
diidamkan. Meskipun sedih, tetapi Lely lebih memikirkan kesehatan ibu. Tak
apalah tidak jadi ikut paduan suara, yang penting ibu sembuh, tekad Lely ikhlas.
Selama ibu sakit, tidak ada
pemasukan sama sekali, sehingga uang modal membuat kue dipergunakan untuk
kebutuhan sehari-hari. Lely minta ijin selama
2 hari untuk tidak mengikuti latihan paduan suara karena harus merawat ibu,
untung saja bu Tenti mau mengerti.
Kurang dua hari sebelum pementasan,
sore itu Lely singgah ke rumah bu Gito yang mengijinkan Lely untuk membantu
mbok Yati membersihkan rumah dan
memasak. Bu Gito mendengar kabar kalau ibu Lely sakit sehingga tidak bisa
bekerja. Dengan iba, bu Gito memberikan sejumlah uang untuk membantu Lely. Sebelum minta ijin pulang, bu Gito
memanggilnya,”Lely, ibu dengar kamu mau ikut paduan suara ya? “
Lely
terkejut karena bu Gito bisa tahu. “ Tadi mbok Yati cerita ke ibu. Kamu
juga berusaha bekerja keras mengumpulkan uang
untuk membeli rok putih ya? Hanya saja uang yang kamu kumpulkan untuk
membayar pengobatan ibumu.” Lely hanya
mengangguk, tak terasa air matanya mengalir di pipi. Lely teringat usahanya
selama ini untuk mengumpulkan uang dan teringat ibunya yang masih sakit.
“Ibu punya rok putih, dulu ini
kepunyaan anak ibu. Kebetulan masih ibu
simpan. Kalau kamu mau, bisa di pakai untuk ikut paduan suara.” Bu Gito
mengulurkan sebuah rok yang terbungkus rapi dalam plastik. Lely hampir tak
percaya dengan penglihatannya, sebuah rok putih yang selama ini diharapkan
sudah ada di depan mata. Dengan gemetar dan tak hentinya mengucapkan
terimakasih, Lely menerima rok yang masih berwarna putih bersih. Tak kelihatan
seperti rok bekas, karena masih rapi, wangi dan warnanya belum pudar.
Lely bertambah bahagia karena ibu
sudah mulai bisa duduk dan berjalan. Rok yang diberikan bu Gito juga pas sekali
di tubuh Lely. Rasanya kebahagiaan Lely berlipat-lipat. Mulai besok Lely bisa
berlatih lagi dan bisa mengikuti tim paduan suara karena sudah mempunyai rok putih. Terimakasih
ibu, bu Gito, ucap Lely penuh rasa syukur.***