“Bunda, ayah mana? Kerja di mana? Dekat apa? Kapan ayah pulang? “ Masih banyak pertanyaan lain dari mulut mungil Rama. Mata beningnya menatapku penuh pertanyaan.
Tak
mampu aku memberikan jawaban dari serangkaian pertanyaan yang terus di
ulang-ulang , ku rengkuh badan anak bungsuku, kuciumi dengan rasa bangga, tanpa terasa air mata yang tak
mampu kubendung . Selalu saja pertanyaan polos dari Rama membuat hatiku bahagia.
Kecerdasan
si bungsu ini sudah terlihat sejak kecil. Bocah berusia 3 tahun ini hampir setiap saat
menanyakan keberadaan ayahnya, meskipun sudah ku berikan penjelasan tentang
ayahnya. Kerinduan kepada ayahnya sudah tak terbendung, membuatnya selalu tak puas dengan jawabanku. Rama tak hanya
bertanya padaku, tetapi juga kepada kedua kakaknya, Satrio dan Lintang. Kalau kakaknya terlihat bosan menjawab , seringkali dengan
nada bercanda mengatakan ayahnya tak akan pulang, membuat Rama menjerit marah.
Satrio tertawa senang dengan kegusaran
Rama. Lintang sesekali dengan sabar menjelaskan, tetapi karena Rama terus bertanya, Lintang dengan kesal menjawab tanya bunda saja. Pada akhirnya aku yang harus
menjelaskan.
Sudah lima bulan ini, mas Bayu terpaksa harus bekerja di luar pulau untuk mengejar kebutuhan yang
sangat penting bagi kami. Kenapa terpaksa? Karena sudah menjadi
kesepakatan kami untuk bekerja di kota saja, kalaupun bekerja di luar kota yang
bisa terjangkau dengan tempat tinggal kami. Setidaknya bisa setiap hari pulang atau kalau terpaksa
seminggu sekali masih bisa berkumpul dengan keluarga. Mas Bayu sangat
memperhatikan perkembangan dan
pendidikan anak-anak, sehingga kami sepakat untuk selalu bersama.
Hanya saja, takdir berkehendak lain,
sejak setengah tahun yang lalu, kami
mulai risau dengan rumah yang kami tempati. Sejak menikah 8 tahun lalu, kami
hanya mampu mengontrak rumah, penghasilan mas Bayu yang
bekerja sendirian belum mampu untuk membeli rumah. Dari tahun ke
tahun kami berpindah rumah
kontrakan. Kalau kami bernasib baik, ada
uang ekstra dan pemilik rumah bersedia menyewakan rumahnya untuk dua atau tiga
tahun, kami tidak terlalu repot setiap tahun pindah. Tetapi kalau kami tidak
ada uang dan terkadang pemilik rumah
menaikkan uang sewa, terpaksa kami pindah mencari rumah yang harga sewanya
lebih terjangkau kantong kami.
Sering pindah rumah membuat kami kurang nyaman. Hal ini merepotkan
karena kami harus menambah pengeluaran untuk membayar ongkos mobil yang kami
sewa membawa barang-barang. Selain itu, kalau rumahnya jauh dari sekolah
anak-anak, kami harus menghabiskan waktu lebih lama di jalan.
Meskipun
mas Bayu bekerja membanting tulang dan mengambil lemburan untuk mewujudkan impian kami, tetapi
impian kami belum bisa tercapai. Tabungan yang disisihkan sedikit demi sedikit
untuk membeli rumah, habis digunakan
untuk kebutuhan pendidikan anak-anak.
Sebagai istri, sudah berulang kali kutawarkan untuk membantu bekerja. Tetapi mas Bayu belum
mengijinkan, dengan alasan anak-anak butuh bimbingan langsung dari bundanya.
Terpaksa aku hanya membantu dengan hasil yang tak seberapa, menjual
makanan kecil yang ku titipkan di warung dan kantin.
Enam
bulan yang lalu ada tawaran dari perusahaan yang sedang berkembang di
luar pulau Jawa. Setelah kami berunding,
sekitar sebulan kemudian dengan terpaksa
mas Bayu meninggalkan kami dengan harapan akan mendapatkan penghasilan
yang lebih besar sehingga kami lebih cepat mempunyai rumah idaman.
“Bunda, ayah mana? “ pertanyaan Rama
memutus lamunanku. “Kok nggak jawab?
Ayah kerja di mana?”
“Ayah kerja jauh di Papua sayang. “
“Papua itu mana? “ tatapnya lagi
sambil memainkan ujung bajuku.
Dengan rasa sayang
ku gandeng tangan mungil Rama menuju kamar Satrio. Buku atlas bersampul merah
yang ku ambil dari meja belajar, ku buka lebar di lantai kamar. Setelah kutemukan lembaran peta Papua, ku
jelaskan secara perlahan ke Rama.
“Ini pulau Papua, tempat ayah kerja ,”
tanganku menunjukan gambar peta. Meskipun
Rama tak terlalu paham, tetapi dengan sabar aku menjelaskan letak kota
tempat mas Bayu bekerja. Kemudian ku buka lembaran peta Indonesia, ku
beritahukan letak pulau Jawa dengan
pulau Papua.
“Khan deket tu, hanya segini. Kok
ayah ngga pulang? Nih tinggal gini aja..” suara cadel Rama membuatku hampir
tertawa. Rama tetap nyakin kalau ayahnya
hanya kerja di dekat rumah saja. Tangan
mungilnya menunjuk peta Jawa dan Papua
berulang -ulang.” Nich,
nik..inik..inik...dekat khan bun?”
“Iya sayang, kalau di gambar ini
memang dekat. Tapi jauh lho. Kalau ayah naik pesawat hampir seharian baru
sampai. “
“Naik pesawat?
Ngeng...ngeng....ngeennnnnnnnnnn.....”Rama sudah lupa dengan ayahnya. Pensil
yang ku pakai untuk menjelaskan pulau Papua sudah beralih fungsi menjadi pesawat.
Sesaat kemudian anak bungsuku itu sudah asyik dengan permainannya.
**
Setahun
berlalu, mas Bayu belum bisa pulang. Kontrak dengan perusahaan hanya
memberikan kesempatan cuti sekali dalam setahun. Selama ini komunikasi dengan mas Bayu ku
lakukan melalui telpon, SMS, email dan chating. Untung saja jaman semakin maju,
tehnologi semakin canggih. Meskipun tak bisa bertemu setiap hari, tetapi setiap
hari rasanya sudah bertemu paling tidak lewat SMS. Tanpa absen, mas Bayu selalu
menyapa anak-anak lewat telpon. Meskipun berjauhan, tugas sebagai seorang ayah
dengan mengikuti perkembangan anak-anak tak pernah dilewatkan.
Kerinduan sudah membuncah di dada,
kami tak terbiasa berpisah jauh dan lama. Meskipun sudah setahun, mas Bayu
belum pulang karena bulan depan sudah
bulan ramadhan. Tanggung kalau
harus pulang sekarang, karena biaya perjalanan mahal . Menunda pulang 2 bulan lagi akan lebih membahagiakan karena
bisa berlebaran bersama. Kami sepakat
untuk menunda rasa kangen yang mendalam. Mas Bayu sebenarnya sudah tidak
sabar lagi untuk bertemu denganku, terlebih dengan anak-anak, terutama dengan
Rama. Setahun yang lalu, Rama belum suka
bermain bola, mas Bayu sering mengajari
bermain bola dengan tendangan dan sundulan. Dan sekarang Rama sudah pandai menendang bola sambil berlari
ke sana kemari.
Anak-anak sudah ingin sekali bertemu
dengan ayahnya, rupanya kerinduan dengan
sosok ayah yang selama ini menemani mereka tiap hari sudah sedemikian besar.
Awalnya mereka protes keras, bahkan Lintang sempat ngambek ketika tahu ayahnya
menunda kepulangan. Dia mengurung diri di kamar dan mogok bicara dan makan. Setelah mas Bayu ikut membujuk lewat telpon, barulah
Lintang mau makan.
**
Untuk kesekian kalinya aku tertawa
mendengar celoteh dan candaan suamiku dengan anak-anak. Rasanya tak pernah
bosan Satrio, Lintang dan Rama mengelitik ketiak ayahnya. Dengan
cepat dan tangkas, mas Bayu
menangkap dan mengunci tangan anak-anak.
Kedua tangan Satrio di kunci dengan paha kanan, tangan Rama dengan paha kiri dan
tangan Lintang di pegang kuat . Ketiga
anak-anak tak mampu lagi melepaskan diri, terlebih Satrio yang terus tertawa terbahak-bahak sehingga
rasanya tenaga sudah terkuras habis. Jeritan riuh membuat rumah kami ramai dan penuh kebahagiaan, setelah setahun
belakangan sepi.
Ku pandangi mereka berempat dengan rasa haru yang tak bisa kulukiskan
dengan kata-kata. Ingin rasanya menyaksikan kebersamaan mereka setiap hari.
Sebuah keutuhan keluarga yang tak bisa di tukar dengan materi apapun.
“Bunda, lagi memikirkan apa? “ tanpa ku sadari mas Bayu
sudah di dekatku. Anak-anak lagi asyik
mencoba tablet 7 inci yang
dibelikan mas Bayu kemarin sebagai oleh-oleh.
“Bunda senang melihat anak-anak
bahagia. Rasanya lama sekali rumah ini sepi tanpa tawa lepas mereka , Yah.” Kusandarkan kepalaku di dada
mas Bayu. Tangan lembut mas Bayu membelai rambutku. Dengan rasa sayang kecupan
hangat mendarat di pipiku.
“ Ayah ingin selalu bersama Bun.
Ayah harus menahan sepi, rindu dan rasa sakit mendalam karena selalu teringat
kalian. Ingin rasanya meninggalkan pekerjaan dan kembali ke rumah. Tetapi kalau
teringat setiap tahun kita harus membayar kontrakan dan terkadang kesana kemari mencari rumah kontrakan, ayah
mencoba bertahan. Sedih sekali Bun, kalau ingat kita harus pindah-pindah.”
Ku genggam erat tangan suamiku,
kupandangi matanya yang telah dialiri dua sungai bening. “ Ayah, bunda juga merasa berat. Amanah
mendidik anak-anak juga sulit untuk dilakukan sendirian. Tetapi demi cita-cita
kita ke depan, bunda harus ikhlas melepas ayah.”
Mas Bayu mencium tanganku, membuatku
semakin terharu. Betapa bahagianya mempunyai pahlawan keluarga yang pemurah,
pengasih dan rela berkorban untuk keluarga. Betapa bersyukurnya diriku
dikaruniai seorang imam keluarga yang luar biasa dan sholeh.
Allohu Akbar...Allohu
Akbar................................. terdengar lantunan adzan magrib dari masjid dekat
rumah. Alhamdulillah, puasa kami berakhir hari ini. Besok, kami merayakan hari kemenangan bersama-sama. Mas Bayu merangkul pundakku berjalan ke ruang
makan, mengikuti anak-anak yang
berlarian dengan jeritan syukur mereka.
Bibirku
membentuk senyuman, aku nyakin ini
senyum paling manis dari senyumanku
selama ini.
***
(cerpen ini dimuat dalam 'Buku Fiksi Hari Pahlawan' Event Fiksiana Community, Penerbit Paramarta, Nov 2013)