Aku tersentak, bangun karena terkejut.
Anjing! Lagi enak-enak tidur mendengkur, dikejutkan suara
hingar bingar tak karuan. Suara derung knalpot sepeda motor yang dilepas sarangannya meraung-raung dan suara bising truk memekakkkan telaingga seakan hendak memecahkan gendang telingga.
Suara bising itu
ditimpali teriakan-teriakan kompak dan bersemangat terdengar gegap gempita
meneriakkan yel-yel dan slogan-slogan. Semua gemuruh.
|
sumber foto : https://www.google.co.id/search?q=gambar+kartun+perempuan&biw=1346&bih=627&tbm=isch&imgil=4 |
Diiringi
teriakan-teriakan yang tak kalah kerasnya dari orang-orang yang menonton
keramaian itu di pinggir jalan. Di tengah teriknya panas itu seakan merasa tak
pedulikan. Debu-debu beterbangan, kotor. Jalanan sesak dan akhirnya macet.
Justru kemacetan itu memberi kesempatan mereka untuk berhenti dan kembali
meneriakkan yel-yel yang riuh. Polisi menjadi kewalahan mengatur jalanan.
Akhirnya, para pemakai jalan memilih mengalah dan memberikan kesempatan
rombongan massal itu untuk lewat.
Benar-benar bising! Dasar manusia! Dengusku kesal sambil
menguap.
Kuperhatikan keramaian itu dari pinggir jalan. Mataku
membelalak lebar, tetapi kemudian menyipit karena silau melihat lautan warna merah
di depan sana. Orang-orang di rombongan itu berkaos merah semua. Setelah
kuperhatikan dengan seksama, ternyata di punggung kaos mereka ada gambar kepala
banteng. Ikat kepala mereka juga merah. Riuh kulihat penampilan mereka. Berani,
merah menyala. Menarik, gumamku.
Aku menjadi tertarik untuk melihatnya dari dekat. Seketika
kantukku menjadi lenyap tak berbebas. Ku coba berjalan mendekati dan menyeruak
di antara kaki-kaki ribuan manusia yang berdiri berdesakan di pinggir jalan. Tapi
sial, aku tidak bisa menguak kerumuan itu. Tetapi kucoba nekad untuk berdekan
maju.
“Enyah kau anjing kurap,” ada kaki angkuh menyepak tubuhku.
Kaing ... kaing, teriakku kesakitan.
Ku tatap orang yang menyepak tubuhku tadi, tetapi ternyata
orang itu juga sedang menatapku dengan mata menakutkan. Sorot matanya
mengancam. Ku lihat kakinya sedang bersiap lagi untuk menyepakku lagi, agaknya.
Bah, geramku marah. Tapi segera aku angkat kaki
meninggalkan manusia angkuh itu. Bukannya takut, tapi karena aku memang tak mau
membuat keributan. Saat ini aku tidak bernafsu memancing pertengkaran dengan
manusia.
Kuseret kakiku meninggalkan kerumunan lautan manusia itu.
Kupikir, memang tak ada gunanya andai aku ikut kerumunan di situ karena
paling-paling arakan massal itu tak dapat terlihat olehku. Dan barisan orang-orang
itu tak bakalan memberiku tempat, tak sudi bersisihan denganku, dan tak rela
bila aku ikut menonton keramaian itu. Buktinya, tadi sudah ada manusia yang
memaki dan menyakiti tubuhku.
Maka aku segera berlari menjauh. Di bawah semak-semak yang
cukup teduh kurebahkan tubuhku yang mulai terasa kepanasan dan keringatan. Di
mana-mana ku lihat suasana ramai. Dan jauh di sana lamat-lamat kudengar lagi
suara teriakan yel-yel yang semakin membuatku tertarik. Aku memutar otak dan
kubiarkan mataku berputar-putar mencari tempat strategis agar bisa ikut
menyaksikan keramaian. Beruntung aku menemukan drum tempat-minyak tanah di
depan toko babah Liong. Ide cemerlang
tiba-tiba muncul di otakku membuat bibirku tersenyun. Setengah berlari
aku menuju ke drum di depan toko. Ku lihat tidak ada orang yang memperhatikan
aku karena begitu asyiknya melihat keramaian di sana. Tetapi lagi-lagi aku
sial. Drum itu terlalu tinggi untuk kupanjat, Apalagi kulihat tidak ada sesuatu
yang bisa aku gunakan untuk meloncat. Aku.menghela nafas putus asa. Akhirnya
dengan langkah gontai aku berteduh di bawah sebatang pohon waru di dekat drum.
Oh, mungkin memang sudah nasib, hanya mendengar keramaian itu tanpa ikut
melihatnya.
Lama kelamaan suara arak-arakan itu sudah semakin tak
terdengar karena sudah semakin menjauh. Orang-orang mulai membubarkan diri. Aku
bangun dan duduk menyaksikan mereka dengan sikap waspada untuk bersiap-siap
menghindari orang-orang yang tak ramah padaku.
Buk ! sebuah batu sebesar kepalan tangan menimpuk kepalaku.
"Kaing!” aku tarlonjak kaget, melompat dan mataku
mencari orang yang kurangajar itu. Kulihat serombongan pemuda tertawa-tawa
melihat aku kesakitan. Benar-benar tak tahu adat!
"Hayo..hayo..hush..hush.. minggat sana" hardik seorang pemuda berambut panjang sambil
mengacungkan kepalan tangannya yang diiringi derai tawa teman-temanya.
Aku mendengus. Ternyata tak ada tempat yang aman di jalan
ini. Kuputuskan untuk pulang saja. Ku langkahkan kaki mennju rumah. Tentu lebih
enak berbaring di bawah kursi ruang tamu atau berbaring di halaman depan
meneruskan tidur yang tertunda tadi, pikirku.
Tapi aku lupa, ternyata pintu rumah masih tertutup. Tuanku
tentu belum pulang.
Sambil menunggu tuanku pulang, aku berbaring di halaman.
Tak lama kemudian, kulihat Poni pacarku datang
menghampiriku, lalu ikut berbaring di sebelahku. Peluh bercucuran di keningnya,
wajahnya memerah karena kepanasan, tetapi justru menambah kacantikannya.
"Coki, kau tadi lihat nggak ada keramaian di jalan
besar sana," kata Poni ,mata bagusnya menatapku.
"Ya, aku tadi lihat. Orang-orang hingar bingar, berteriak-teriak
ramai sekali. Entah ada atraksi apa." Jawabku.
Poni tertawa, membuatku heran.
"Itu.bukan atraksi, tapi kam-pa-ye ," Poni mengeja
kalimat terakhir yang dia ucapkan secara perlahan-lahan.
Kudongakkan telingaku mendengar kalimat asing itu.
“Apa, kamanye ...?”
“Kam-pa-ye, bukan kamanye”
“Kau tahu dari mana kalau itu tadi kam-pa-ye?”
“Ya aku tadi dengar orang-orang ramai mengatakan. Mereka
bilang ini kampanye menjelang pemilu,” jelas Poni menyakinkan dan ku lihat dia
bangga dengan apa yang dia ketahui.
Aku hanya bisa mengangguk-angguk mendengarkan. Diam-diam
aku merasa kagum pada Poni pacarku ini. Dia memang cerdas.
Tuanku datang memakai kaos merah menyala seperti yang aku
lihat di jalanan tadi. Kepalanya diikat kain merah pula. Wah, gagah sekali mas
Faris siang ini. Aku bangkit dari tidurku, dan seperti biasanya kuhampiri mas
Faris. Dia langsung menyambutnya. Kulihat wajah mas Faris berseri-seri, nampak
senang.
Melihatku, mas Faris hanya melirik sedikit, tak membelaiku
sepeti biasanya, membuatku heran. Dia malah memandang Poni dan. tersenyum. Aku
semakin mendongkol kesal. Tapi itu tidak lama, karena sesaat kemudian mas Faris
jongkok mengusap-usap tengkukku.
"Ha..ha..ha.. aku hanya mau menggodamu Coki.
Sini-sini. Tahu nggak Coki aku tadi kampanye di jalan sana bersama kawan-kawan.
Wah, sambutan masyarakat benar-benar luar biasa. Aku senang." kata mas
Faris sambil membelaiku.
Aku hanya mendengus-denguskan hidungku mendengarkan cerita
mas Faris yang bersemanggat. Tangan mas Faris kujilati, pertanda aku mengerti
dengan apa yang dia maksudkan.
"Sudah sana, tuh Poni menunggumu, "Mas Faris
masuk ke dalam.
Aku tersenyum, kemudian kembali ke halaman dan berbaring di
sebelah Poni lagi.
"SSttt..Coki, mas Faris gagah yach siang ini,"
kata Poni.
Aku cemberut mendengar pujian Poni. Cemburu rasanya karena
pacarku memuji laki-laki lain di depanku.
"Tentunya dia tadi juga ikut kampanye. E iya tadi
memang mas Faris kudengar ngomong begitu yach," tambah Poni.
Aku jadi membayangkan mas Faris berada di tengah-tengah
rombongan massal tadi.
"Ramai sekali yach kalau mulai ada kampanye-kampanye.
Kita akan sering saksikan lautan merah, lautan hijau dan lautan kuning, lautan
biru dan banyak lagi…" kata Poni.
Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Angin siang berhembus sejuk
nembawa kantuk. Tapi aku justru tak merasa mengantuk karena tertarik dengan
penjelasan Poni.
"Lho, memangnya akan ada kampanye
lainnya?" aku mulai lancar mengucapkan ka1imat kampanye.
"Aku dengar memang begitu."
"Tapi Pon, tahun yang lalu kalau tidak salah sudah ada
lautan kuning" kataku ketika teringat setahun yang lalu dimana-mana warna
kuning menyolok mata, ada di mana-mana. Hanya kuning, tak ada yang merah
ataupun hijau. tembok rumah kuning, pagar kuning.
"Yach itulah karena kecurangan salah satu kelompok
tertentu untuk memenangkan pemilu hingga membuat kecurangan dengan kampanye
terselubung. Itulah politik. Itu sih kata mbak Sonia yang sering aku dengar
dari diskusi-diskusi dengan kawan-kawannya," jawabnya sambil tersenyum.
"Kamu kok pinter dan wasis gitu tho, Pon ?"
"Mbak Sonia khan sering diskusi sama kawan-kawannya.
Kadang dengan mas Faris lho kalau pas ke sana. Jadi aku sering mendengarkan dan
jadinya tahu, “jawabnya bangga.
Mas Faris memang sering ke rumah mbak Sonia, pacarnya yang
cantik itu.
“Coki, mosok mas Faris nggak diskusi kalau di rumah,” tanya
Poni sambil menatapku.
Aku diam tak menjawab. Sebenarnya mas Faris sering diskusi
dengan kawan-kawannya. Saking seringnya sampai nggak kenal waktu. Nggak siang,
nggak malam, mereka diskusi. Malah sering dari malam sampai pagi mereka tak
tidur karena diskusi yang belum selesai. Tetapi selama ini aku selalu malas
untuk ikut mendengarkan.
"Coki, bagaimana pendapatmu tentang kampanye
terselubung itu?”
Aku malu karena tak bisa menjawabnya, karena tak tahu apa
yang mesti aku jawab. Aku menyesal karena selama ini tidak pernah belajar dari
mas Faris. Dan sekarang Poni pacarku ini mengajak diskusi tapi aku tak bisa
nyambung dan tak bisa meresponnya.
"Eh Coki...."
"Sori Pon, aku tidak tahu banyak. Kalau menurut
pendapat kau gimana?" tanyaku menutupi rasa malu.
"Yach kalau menurut aku, tidak benar. Masak rakyat
ditipu dan dimanfaatkan dengan kampanye terselubung itu. Itu provokasi yang
nggak benar dan nggak pada tempatnya."
Telingaku terasa ganjil mendengar istilah asing yang
diucapkan Poni.
"Provokasi itu mempengaruhi "lanjut Poni seperti
tahu apa yang sedang aku pikirkan.
Aku semakin kagum kepada Poni yang rasanya semakin hari
semakin cerdas dan pengetahuannya semakin luas. Sementara perutku terasa
kroncongan, aku ingat tadi pagi lupa menyentuh sarapan yang disediakan mas
Faris. Kerongkonganku juga terasa kering karena haus.
"Coki... Coki...."
Dari dalam rumah ku dehgar suara khas milik mas Faris
memanggilku. Ku lihat mas Faris sudah sudah berdiri di teras rumah dan matanya
memandangku yang terbaring di bawah pohon. Melihat mas Faris, aku bangkit.
"Poni, aku masuk dulu yach. Mas Faris
memanggilku," kataku pamitan pada Poni.
Poni bangkit dari tidurnya.
" Ya, Coki, aku juga mau pamit pulang. Kasihan kalau
mbak Sonia nanti mencariku."
"Nanti ketemu lagi yach, Pon," pintaku.berharap.
Poni menganggukan kepalanya dan berjalan pulang.
*-*
Tiga hari menjelang pemilihan umum, mas Faris pulang ke
Aceh.
Ia ingin menggunakan hak
pilihnya di kota asalnya sana, sekalian bermaksud mengurus surat-surat ijin
pernikahannya dengan mbak Sonia. Seminggu yang lalu bapak mengirimkan telegram
agar mas Faris segera pulang untuk mengurus pernikahannya. Aku ikut merasa
bahagia karena pada akhirnya mas Faris berhasil menundukkan hati kedua orangtua
mbak Sonia untuk merestui rencana pernikahan mereka. Pada mulanya kedua orang
tua mbak Sonia tidak mengijinkan karena menginginkan mbak Sonia menyelesaikan
terlebih dahulu kuliahnya di program S2, dan menginginkan mas Faris wisuda
dulu. Tetapi dengan perjuangan yang tak kenal lelah, mereka berhasil menyakinkan hati orang tua mbak
Sonia.
Karena mas Faris nggak mungkin membawaku pulang, aku dititipkan rumahnya mbak Sonia. Tentu saja
aku sangat bahagia dan merasa beruntung karena aku akan selalu dekat dengan
Poni. Tentu menyenangkan sekali kalau tiap hari bisa berkumpul dengan Poni yang
cantik, dan akupun juga nyakin kalu Poni juga akan merasa senang.
Mas Faris meninggalkan aku dengan pesan-pesan yang cukup
banyak.
"Coki, selama mas Faris nggak ada, kamu nggak boleh
nakal. Jangan ngeluyur terus, Nggak boleh masuk rumah dengan tubuh kotor. Kamu
harus bantu Poni jaga rumah, dan kalau dimandikan jangan nakal, nggak boleh
bandel kalau mandi."
Aku cemberut dan memaki dalam hati di katakan suka ngeluyur
dan bandel kalau dimandikan. Mas Faris nggak mau menjaga perasaanku, masak dia
ngomong seperti itu di depan Poni dan mbak Sonia, wah bisa ngurangin pointku di
mata mereka tentu saja.
Poni hanya meringis dan meleletkan lidahnya mengejek,
membuatku malu.
“Iya tuh, si Poni kadang rewel juga kalau dimandikan.
Mungkin ntar kalau mandi bareng-bareng Poni nggak rewel lagi." kata mbak
Sonia
He..he..he kujulurkan lidahku, gantian mengejek Poni.
Satu-satu, kataku, yang disambut Poni dengan tersipu malu.
Mas Faris masih sibuk dengan pesan-pesannya padaku.
Cerewet, gerutuku malas. Dasar manusia, banyak peraturan.
"O ya Nia, setelah aku selesai mengurus persyaratan
pernikahan kita aku akan segera kirim khabar ke Yogya," kata mas Faris.
Syukur, batinku lega karena mas Faris sudah selesai
memberiku 'wejangan‘.
"Faris jadi di rumah satu minggu?" tanya mbak
Sonia.
"Ya minimal satu minggu. Tapi kalau belum selesai
urusannya, yach mungkin bisa lebih lama di rumah.” jelas mas Faris sambil
tangannya mengambil kedua tangan mbak Sonia, membawa ke pangkuannya dan
mengusap-usapnya dengan penuh kasih sayang.
Aku menjadi iri dengan kemesraan mereka. Ku lirik Poni yang
duduk di bawah kaki mbak Sonia. Aku ingin tahu apa reaksi Poni melihat tuannya
bermesraan, Tetapi agaknya aku harus kecewa, karena kulihat Poni cuek saja dan
sama sekali tidak mau melihatku. Huh, pura-pura nggak lihat, gerutuku jengkel
melihat Poni yang menurutku sok.
"Nggak apa-apa kalau memang di rumah harus lama. Yang
panting jangan lupa kirim khabar dan cepat kembali kalau sudah selesai. Masih
bayak yang harus kita kerjakan di sini. Kita masih sibuk dengan kerja-kerja
setelah pemilu berakhir, dan resources
kita masih terbatas."
Aku paham dengan pembicaraan mereka. Kudengar memang untuk
pemantauan pemilu yang selama ini ada kecurangan,
mas Faris dan kawan-kawannya membentuk komisi independen untuk pemantauan
pemilu yang disebut mbak Sonia tadi. Senang rasanya ikut menyaksikan kesibukan
kerja-kerja manusia manusia itu.
-*-
Seminggu setelah pemilu berakhir, mas Faris baru tiba di
Yogya. Masih membawa tas ranselnya yang cukup besar, mas Faris ke rumah mbak
Sonia. Mungkin dari terminal, dia langsung ke sini. Wajah mas Faris keruh dan
murung. Tubuh jangkungnya loyo dan nampak
lelah sekali. Langkahnya nggak bersemangat, tidak beperti biasanya.
Entah ada persoalan apa, aku belum tahu.
Mbak Sonia manatap heran kepada kekasihnya itu. Mata bagus
yang sarat kerinduan itu menatap tak mengerti dengan sejuta tanya.
Mas Faris menjatuhkan ranselnya lalu duduk dengan sikap
pasrah kukira. Setelah menghela napas panjang, dia berkata lirih.
"Nia, aku sudah urus semua persyaratan pernikahan
kita. Tapi .... " mas Faris mengantung kata-katanya menbuat mbak Sonia
penasaran.
Aku dan Poni juga merasa penasaran dan diam-diam kami
memasang telinga.
"Benar-benar anjing mereka!" serapah mas Faris
keras.
Hah, mas Faris memaki. Aku yang tidak tahu apa-apa menjadi
korbannya.
"Asas LUBER JURDIL yang dijadikan dasar pemilu ternyata hanya
omong kosong belaka. Shit! 1uber..luber, pembual mereka! Tahu nggak kau Sonia,
aku di persulit waktu mengurus surat-surat pernikahan dengan alasan karena aku
tak memilih seperti apa yang mereka inginkan. Apa-apaan itu, mana kebebasanku,
mana hak pilihku, apa bukti asas luber jurdil di pakai? Anjing mereka semua !"
Lagi-lagi aku menjadi korban kemarahannya.
"Jadi, kau nggak berhasil?" tanya mbak Sonia
sambil memandang Mas Faris dengan tatapan cemas.
"Iya Nia, aku gagal .Maafkan aku.”
Mereka terdiam, kamipun hanya bisa diam.
"Faris, ..... kupikir ini masukan yang berarti bagi
lembaga kita. Pengalamanmu bisa menjadi salah satu bukti kecurangan
mereka."
Mas Faris mengangguk mengiyakan.
"Nggak apa-apa pernikahan kita tertunda," hibur
mbak Sonia tabah.
Aku terhenyak mendengar pengalaman mas Faris tadi.
Kenapa selalu saja ada
ketidakberesan dan kecurangan pada manusia-manusia itu. Aku menjadi sangsi,
apakah seperti itu yang di namakan manusia bermoral?! Manusia yang menghalalkan
segala cara untuk kepentingannya, manusia yang suka menjegal, yang suka
merugikan rakyat, yang merugikan orang lain?
Bah! pasti rakyat kecillah
yang selalu manjadi korban. Ku pikir betapa susahnya menjadi rakyat kecil yang
selalu di jadikan obyek bagi kepuasan dan kerakusan penindas, orang-orang yang
berkuasa.
Untung saja aku bukan mereka. Untung saja aku tidak suka
menjadi penindas, aku tidak suka menjegal sesama, aku tidak suka merugikan
sesama, aku tidak suka menghalalkan segala cara untuk kepentinganku sendiri.
Pusing rasanya memikirkan manusia yang penuh nafsu angkara.
Dasar manusia !!! *****