Di tempat ini sejarah di torehkan perjalanan panjang
nusantara terpampang jelas. Karya para peneliti yang dedikasikan
hidupnya, kini harus jadi pelajaran bagi anak2 Indonesia dan dunia. (tandatangan) Anies Baswedan (26/2/2015).
Itulah
kalimat yang ditulis Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Anies
Baswedan, belum lama ini, tertanggal 12 Februari 2015, di satu satu
sudut ruang pamer 3, diletakkan di dekat tembok sebelah barat, di bawah
layar TV flat ukuran 21 inci yang memutar video proses pembuatan
orang-orangan manusia purba. manRuang pamer 3 atau display area 3 adalah
salah satu dari tiga ruang pamer yang ada di Museum Purbakala Sangiran.
Museum
arkeologi ini terletak di Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen,
Provinsi Jawa Tengah. Sebenarnya letak Museum Sangiran masuk dua wilayah
Kabupaten penemuan yaitu Kabupaten Sragen yaitu Kecamatan Plupuh,
Kalijambe dan Gemolong dan satu kecamatan Gondangrejo Kabupaten
Karanganyar.
Tidak
sulit untuk menjangkaunya, dari Solo kita bisa mengambil jalan lewat
terminal Tirtonadi lurus ke arah pasar Nusukan terus ke utara sampai
palang KA Joglo. Dari sini ada perempatan, setelah menyeberang palang
Jogjlo, ambil jalan yang kanan arah kecamatan Gondangrejo Kabupaten
Karanganyar. Ikuti jalan raya tersebut sampau masuk ke kecamatan
Kalijambe. Saat sudah dekat dengan lokasi, di jalan ada penunjuk arah
yeng besar dengan tulisan Museum Sangiran. Nah, tinggal belok kiri
menyusuri jalan desa, sekitar 4 Km dari jalan raya tersebut letak
museumnya. Jadi kira-kira kalau dari Solo jaraknya sekitar 17an Km.
Mudah
menjangkaunya, ada penanda, di jalan sekitar museum terdapat toko-toko
penjual souvenir yang sebagian besar terbuat dari batu, kayu dan
tulang. Ya, khas dengan apa yang dipamerkan di Museum Sangiran. Tak
kurang dari sepuluh toko/kios memajang dagangan mereka dengan harga
terjangkau.
Memasuki pelataran musem, kita dimanjakan dengan
bangunan yang cukup megah dan serba terawat dan teratur. Bangunan baru
museum ini baru berusia sekitar 4 tahun, karena renovasinya tahun 2011.
Dulu, bangunan museum ini masih sederhana, jauh sekali dari bangunan
modern seperti saat ini.
Tiket masuknya sangat murah, hanya Rp
5000/orang saja untuk wisatawan domestic, sementara untuk wisatawan
asing cukup membayar Rp 11.500. Murah sekali bukan? Sebelum masuk ke
dalam museum yang sudah diakui dunia sebagai situs cagar budaya ini,
pengunjung akan diminta untuk mengisi buku tamu. Dua orang petugas yang
ramah sudah menanti menunggu buku tamu.
Nah,
mulailah menyusuri lorong menanjak yang rapi dan bersih. Dibelokan
pertama, kita bisa mulai menjawab rasa penasaran akan asal usul nenek
moyang kita, dari ruang pamer 1. Disini kita bisa menemukan banyak
fosil-fosil binatang purba. Semua fosil binatang purba seperti Gajah
purba Elephas namadicus, Stegodon trigonocephacus, Mastodon sp, Bubalus
palaeokarabau (kerbau) Felis Palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi),
Rhinocerus sondaicus (badak), Boviade (sapi) Cervus sp (rusa),
Hippopotamus sp ( kuda nil), terawat dengan baik. Hanya sayang sekali,
tidak diletakkan di dalam kotak kaca, sehingga saya malah ngeri kalau
ada pengunjung yang memegangnya. Rawan dan sayang sekali kalau rusak.
Beberapa
manusia purba yang terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak
kelihatan betul-betul hidup. Melihat matanya yang bersinar, rasanya
manusia tersebut benar-benar menatap pengunjung tanpa berkedip. Proses
evolusi digambarkan begitu jelas dengan display yang menarik.
Pithecantropus Erectus dapat kita lihat di sana , namun juga fosil lain
seperti Pithecanthropus Mojokertensis ( Pithecanthropus Robustus),
Meganthropus Palaeojavnicus, Homo Soloensis, Homo Neanderthal Eropa,
Homo Neandethal Asia, Homo Sapiensis, dll (sangat banyak).
Puas
melihat ruang pamer 1, kita bisa keluar dan meneruskan ke ruang pamer
2. Disini beragam proses terbentuknya bumi, proses alam raya, gunung
berapi, proses pencarian fosil manusia purba, binatang purba disajikan
secara lengkap. Bahkan teori-teori Darwin dan penemu lainnya di
pampangkan secara detail. Reflika orang-orangan yang sedang mencari
fosil di tanah-tanah pengunungan dengan mengali lubang, mengangkat batu
juga ada. Disini pengunjung bisa melihat juga kerangka manusia purba
yang ditemukan di berbagai tempat seperti di Gunungkidul. Kalau
pengunjung belum puas melihat langsung dan membaca penjelasan yang
tertulis di setiap reflika/gambar, pengunjung bisa mencari tahu data dan
keterangan lebih lengkap di audiso visual atau di laptop yang disedikan
dengan berbagai keterangan. Tinggal sentuh data yang diinginkan, maka
terpampanglah keterangan yang kita butuhkan. Setiap ruang pamer
menyediakan audio visual dan laptop yang menyajikan data.
Di
ruang pamer 3, pengunjung di manjakan dengan reflika manusia purba yang
masih dipenuhi rambut, kemudian reflika besar tak kurang dari 10 meter
luasnya yang memperlihatkan keadaan hutan dengan berbagai penghuninya.
Di
ruangan pamer 3 ini, pengunjung bisa melihat lebih detail proses
pembuatan orang-orangan/manusia purba. Dari semacam boneke yang
didandani ,menyerupai manusia kemudian dibentuk mendekati wujud manusia
purba. Prosesnya rumit, misalnya menempel rambut satu persatu , membuat
efek kerut di wajah dll.
Meskipun
belum puas melihat-lihat dan menemani anak sulung saya yang sibuk
memotret setiap bagian yang ada di ruang pamer, tetapi kami toh harus
keluar untuk memberikan kesempatan pengunjung lain yang menikmati
museum. Hari Minggu (25/10/2015) kemarin pengunjung memang banyak
sekali, terutama rombongan dari berbagai sekolah di Sragen dan
sekitarnya. Akhirnya kami melepas lelah dengan duduk-duduk di depan
museum yang pemandangannya asri. Meskipun hari teramat panas, tetapi
mata terasa sejuk dengan melihat pohon-pohon dan bunga yang tertata apik
di taman di depan museum.
Oya, bagi yang berminat membeli olah-oleh,
di sekitar tempat parker ada kios-kios pedangan yang menjajakan beragam
oleh-oleh seperti kaos dan souvenir lainnya.
Luar
biasa, meskipun ini bukan yang pertama kali saya berkunjung ke Museum
Sangiran, tetapi tetap saja rasa kagum tak bisa saya hilangkan. Meskipun
masih diliputi tanya yang besar tentang apa yang sudah dilihat, tetapi
rasanya cukup mengerti tentang asal usul nenek moyang kita.
Benar seperti kata Gubenrnur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang tertulis di papan tulis di ruang pamer 3, “Di
tempat ini ada banyak misteri kehidupan. Semua orang bisa
berlomba-lomba menguji rahasia Tuhan. Adalah yang mampu membuka tabir
itu? Adakah kakek nenekku di sini?”
Ya,rasanya moyang kita ada di Museum Sangiran.
_Solo, 26 Oktober 2015_
Rabu, 28 Oktober 2015
Minggu, 25 Oktober 2015
Berkat Tangan Trampil Ini, Perca Jadi Samurai
Tak ada barang yang terbuang percuma,
semua bisa dimanfaatkan dan diubah menjadi uang. Kalimat penuh makna itu
keluar dari mulut, sebut saja Pak Kar. Seorang laki-laki berumur 60-an
tahun yang memanfaatkan masa pensiunnya untuk terus berkarya. Ia memilih
berwirausaha setelah purna dari pekerjaannya sebagai salah satu
karyawan sebuah perusahaan di Jakarta. Cara cerdas dilakukan setelah
melihat peluang pasar yang terbuka lebar. Sepulangnya dari merantau di
Jakarta, ia memilih tinggal di rumahnya di Colomadu, Kartosuro, Kab
Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah. Meskipun ia bisa pensiun menjelang masa
tuanya, tetapi toh ia memilih untuk terus memanfaatkan waktu luangnya
untuk bekerja dan disesuaikan dengan kemampuannya. Ia bekerja lama di
bidang perbengkelan, tangannya biasa terampil mengotak-atik mesin dan
memegang barang-barang kecil yang njlimet dan butuh ketelatenan.
Setelah melihat peluang pasar yang belum tergarap, ia memutuskan untuk membuat mainan orang-orangan/boneka (model komik Jepang) Jepang yang mengunakan beragam baju khas samurai dengan segala tetek-bengek senjata andalan. Ya, tokoh-tokoh Jepang menjadikannya inspirasi karena melihat belum banyak yang menjualnya.
Dengan bahan-bahan sederhana yang mudah dicari dan harganya murah, ia mengumpulkan kain perca yang biasanya sudah dibuang oleh pemilik konvensi, membeli bahan-bahan seperti seng tipis, kawat, sumpit, benang jahit untuk melengkapi kebutuhannya membuat boneka samurai.
\
Sederhana tetapi rumit dan butuh ketelatenan untuk membuatnya, karena Pak Kar harus menjahit baju untuk bonekanya yang berukuran lebih besar sedikit dari jari manusia, kemudian menyambungnya menjadi bagian tubuh manusia dengan kerangka kawat dan membuat senjata samurai seperti pedang dengan seng tipis. Kemudian ia menyambung bagian demi bagian sehingga menjadi samurai yang gagah dengan senjata andalannya.
Dalam sehari Pak Kar bisa membuat lebih dari lima puluh boneka samurai, tetapi tergantung keinginannya, kalau dirasa cukup hanya tiga puluh buah ya sudah. Ia tidak ngoyo, tetapi semua dibawa santai saja. Boneka samurai tanpa senjata dijual Rp 5.000, sementara yang menggunakan senjata satu macam dijual sekitar Rp 15.000-17.000. Murah meriah.
Ia biasa menjual di sekolah-sekolah (SD) di Solo dan sekitarnya, juga manjajakan dagangannya di bazar, pasar malam atau acara-acara sejenisnya. Dalam sehari ia bisa membawa uang pulang rata-rata Rp 50.000- 100.000. Sesekali ia jualan di Jakarta (saat ada pasar malam) dan ia mengaku saat pasar malam jualannya bisa laku sampai Rp 500.000 dalam waktu sehari. Karena kalau di Jakarta, seorang boneka samurai lengkap (dengan senjata) bisa terjual Rp 50.000.
_Solo, 24 Oktober 2015_
Foto. Dok. Pribadi
Setelah melihat peluang pasar yang belum tergarap, ia memutuskan untuk membuat mainan orang-orangan/boneka (model komik Jepang) Jepang yang mengunakan beragam baju khas samurai dengan segala tetek-bengek senjata andalan. Ya, tokoh-tokoh Jepang menjadikannya inspirasi karena melihat belum banyak yang menjualnya.
Dengan bahan-bahan sederhana yang mudah dicari dan harganya murah, ia mengumpulkan kain perca yang biasanya sudah dibuang oleh pemilik konvensi, membeli bahan-bahan seperti seng tipis, kawat, sumpit, benang jahit untuk melengkapi kebutuhannya membuat boneka samurai.
\
Sederhana tetapi rumit dan butuh ketelatenan untuk membuatnya, karena Pak Kar harus menjahit baju untuk bonekanya yang berukuran lebih besar sedikit dari jari manusia, kemudian menyambungnya menjadi bagian tubuh manusia dengan kerangka kawat dan membuat senjata samurai seperti pedang dengan seng tipis. Kemudian ia menyambung bagian demi bagian sehingga menjadi samurai yang gagah dengan senjata andalannya.
Dalam sehari Pak Kar bisa membuat lebih dari lima puluh boneka samurai, tetapi tergantung keinginannya, kalau dirasa cukup hanya tiga puluh buah ya sudah. Ia tidak ngoyo, tetapi semua dibawa santai saja. Boneka samurai tanpa senjata dijual Rp 5.000, sementara yang menggunakan senjata satu macam dijual sekitar Rp 15.000-17.000. Murah meriah.
Ia biasa menjual di sekolah-sekolah (SD) di Solo dan sekitarnya, juga manjajakan dagangannya di bazar, pasar malam atau acara-acara sejenisnya. Dalam sehari ia bisa membawa uang pulang rata-rata Rp 50.000- 100.000. Sesekali ia jualan di Jakarta (saat ada pasar malam) dan ia mengaku saat pasar malam jualannya bisa laku sampai Rp 500.000 dalam waktu sehari. Karena kalau di Jakarta, seorang boneka samurai lengkap (dengan senjata) bisa terjual Rp 50.000.
_Solo, 24 Oktober 2015_
Foto. Dok. Pribadi
Jumat, 23 Oktober 2015
Mereka Belajar Kerjasama Lewat Bakiak
Seperti biasanya, pagi itu jalan Adi Sucipto penuh dengan lalulalang
kendaraan roda empat dan dua. Dari arah barat dan timur, ratusan
kendaraan berpacu, pengendara mencari celah yang sepi menyiasati waktu
agar segera sampai tujuan dengan cepat. Terburu-buru tetapi penuh
kewaspadaan, melihat jalan hiruk pikuk tetapi tidak sampai macet.
Yang tidak biasa dipagi itu, Kamis (22/10/2015), pintu masuk Stadion Manahan sebelah selatan, tepat di sebelah jalur lambat yang saat ini sedang ada proyek pembangunan patung Presiden RI Pertama, IR Soekarno, ramai, dipenuhi ratusan kendaranaan. Lalu lalang, mengantarakan anak-anak berseragam olahraga kuning hijau, lalu kendaraan melaju kembali meninggalkan deru yang perlahan hilang di telan deru kendaraan lain.
Hari itu, kegiatan jeda tengah semeser gasal bagi anak-anak SD Djama'atul Ichwan (SD DJI) Solo. Semua anak kelas 1 sampai 6 mengikuti acara lomba permaianan yang diadakan di komplek Stadion Manahan Solo. Tak kurang dari 900 an anak bergembira ria mengikuti berbagai perlombaan seperti lomba membawa bola dengan kening, lomba bakiak, dll.
"Enak, nggak pelajaran, bisa ikut lomba," ujar Adhan, seorang murid kelas 1 sambil tertawa saat bercanda dengan temannya. Tak lama ia menjauh, langkah kaki kecilnya terlihat ringan dan gesit berlarian dengan beberapa orang temannya.
"Senanglah, bermain bersama teman setelah mid semester," jawab Mia, anak kelas 5 saat saya tanya tentang kegiatan rutin yang dilakukan sekolahanya di setelah tes mid semester.
Perhatian saya beralih saat mendengar anak-anak tertawa diselingi teriakan keras dan aba-aba dari anak-anak yang suaranya bersahut-sahutan. "AYo maju terus, ayo..ayo..ayo .... kelas 3 A..ayo..ayo" . Disleingi teriakan ," Ayo..ayo..kelas 3 D ayo...menang..menang..."
Sesekali teriakan tersebut bercampur dengan teriakan aba-aba dari gurunya kelas mereka, yang memberikan suport kepada tim yang bertanding bakiak. "Kanan..kiri, kanan..kiri, ayo, yang kompak.." Empat anak berjalan diatas bakiak, bertanding dengan empat anak lainnya.
"Ini belajar kerjasama yang hebat. Kalau kami nggak kompak, nggak bisa jalan," kata Ardi, salah seorang murid kelas 3 yang berteriak kegirangan saat tim-nya menang.
Bagi anak-anak, belajar itu tidak harus di ruang kelas mempelajari berbagai pelajaran dari buku-buku. Bagi mereka bermain bersama teman juga pelajaran yang asyik. Mereka bisa belajar kompak misalnya saat ikut lomba bakiak. Belajar saling mengerti, menjalin komunikasi yang baik. Demikian juga dengan permainan lainnya.
Kegiatan jeda semester diawali hari Senin (19/10/2015) dan berakhir Jumat (23/10/2015). Berbagai kegiatan tersebut antara lain: senam bersama, praktek ibadah bersama, bermacam lomba ketrampilan, lomba ketangkasan dan besuk Jumat, hari terakhir melakukan sholat istisqa' (sholat minta hujan).
Wajah sumrigah dihiasi tawa memenuhi wajah anak-anak itu, pun ketika dengan suka ria mengambil sampah di sekitar stadion Manahan.
Melihat keceriaan yang terpancar di wajah mereka, saya menjadi ikut senang. Dengan suasana baru, pikiran segar , mereka lebih bersemangat saat memasuki proses belajar setelah mid semester.
_Solo, 22 Oktober 2015_
Yang tidak biasa dipagi itu, Kamis (22/10/2015), pintu masuk Stadion Manahan sebelah selatan, tepat di sebelah jalur lambat yang saat ini sedang ada proyek pembangunan patung Presiden RI Pertama, IR Soekarno, ramai, dipenuhi ratusan kendaranaan. Lalu lalang, mengantarakan anak-anak berseragam olahraga kuning hijau, lalu kendaraan melaju kembali meninggalkan deru yang perlahan hilang di telan deru kendaraan lain.
Hari itu, kegiatan jeda tengah semeser gasal bagi anak-anak SD Djama'atul Ichwan (SD DJI) Solo. Semua anak kelas 1 sampai 6 mengikuti acara lomba permaianan yang diadakan di komplek Stadion Manahan Solo. Tak kurang dari 900 an anak bergembira ria mengikuti berbagai perlombaan seperti lomba membawa bola dengan kening, lomba bakiak, dll.
"Enak, nggak pelajaran, bisa ikut lomba," ujar Adhan, seorang murid kelas 1 sambil tertawa saat bercanda dengan temannya. Tak lama ia menjauh, langkah kaki kecilnya terlihat ringan dan gesit berlarian dengan beberapa orang temannya.
"Senanglah, bermain bersama teman setelah mid semester," jawab Mia, anak kelas 5 saat saya tanya tentang kegiatan rutin yang dilakukan sekolahanya di setelah tes mid semester.
Perhatian saya beralih saat mendengar anak-anak tertawa diselingi teriakan keras dan aba-aba dari anak-anak yang suaranya bersahut-sahutan. "AYo maju terus, ayo..ayo..ayo .... kelas 3 A..ayo..ayo" . Disleingi teriakan ," Ayo..ayo..kelas 3 D ayo...menang..menang..."
Sesekali teriakan tersebut bercampur dengan teriakan aba-aba dari gurunya kelas mereka, yang memberikan suport kepada tim yang bertanding bakiak. "Kanan..kiri, kanan..kiri, ayo, yang kompak.." Empat anak berjalan diatas bakiak, bertanding dengan empat anak lainnya.
"Ini belajar kerjasama yang hebat. Kalau kami nggak kompak, nggak bisa jalan," kata Ardi, salah seorang murid kelas 3 yang berteriak kegirangan saat tim-nya menang.
Bagi anak-anak, belajar itu tidak harus di ruang kelas mempelajari berbagai pelajaran dari buku-buku. Bagi mereka bermain bersama teman juga pelajaran yang asyik. Mereka bisa belajar kompak misalnya saat ikut lomba bakiak. Belajar saling mengerti, menjalin komunikasi yang baik. Demikian juga dengan permainan lainnya.
Kegiatan jeda semester diawali hari Senin (19/10/2015) dan berakhir Jumat (23/10/2015). Berbagai kegiatan tersebut antara lain: senam bersama, praktek ibadah bersama, bermacam lomba ketrampilan, lomba ketangkasan dan besuk Jumat, hari terakhir melakukan sholat istisqa' (sholat minta hujan).
Wajah sumrigah dihiasi tawa memenuhi wajah anak-anak itu, pun ketika dengan suka ria mengambil sampah di sekitar stadion Manahan.
Melihat keceriaan yang terpancar di wajah mereka, saya menjadi ikut senang. Dengan suasana baru, pikiran segar , mereka lebih bersemangat saat memasuki proses belajar setelah mid semester.
_Solo, 22 Oktober 2015_
Selasa, 20 Oktober 2015
Berburu Buku Langka di Alun-Alun Kota Solo
Bagi penggemar buku, rasanya tidak
menolak jika mendapatkan buku-buku yang dicari dengan harga murah
meriah dan boleh ditawar lagi. Apalagi buku-buku yang dicari termasuk
langka dan tidak mudah didapatkan di toko buku. Meskipun sebagian besar
buku yang ditawarkan buku bekas atau loakan tetapi masih bisa dibaca dan
dinikmati isinya.
Taman Buku dan Majalah Alun-Alun Kraton Surakarta, menawarkan bermacam buku lama dengan harga terjangkau bahkan murihh (karena murah sekali). Taman buku ini terletak di sebelah utara alun-alun utara Kraton Surakarta atau sebelah utara Pasar Klewer. Mudah sekali mencarinya. Tak jauh dari Jalan Slamet Riyadi, jalan utama kota Solo, dari arah barat (menuju komplek Balai Kota) persis di depan Bank BCA, belok kiri melewati jalan dengan naungan pohon-pohon beringin besar tak lebih dari 200 meter ambil kiri jalan. Di situlah letak Taman Buku dan Majalah Alun-Alun Kraton Surakarta atau Solo
Kios buku berjejer menawarkan koleksi bermacam buku, sebagaian besar buku bekas.
Puluhan kios pedagang buku tersebar di lokasi taman buku yang tidak terlalu luas ini. Hampir semua kios menjual buku-buku yang sembilan puluh persen buku bekas dan sisanya buku baru yang biasa di jual di toko buku. Bermacam jenis buku, non fiksi dan fiksi. Dari buku sastra, politik, ekonomi, sosial, ketrampilan, pelatihan, dll sampai novel dewasa/remaja/anak, komik, majalah, dll. Komplit sekali, tinggal pilih. Kios ini mulai buka sekitar pukul 09.30 sampai sore Pk 16.00. Para pedagang bisa menjual murah karena mendapatkan buku-buku dengan harga murah, berasal dari persewaan buku (yg mungkin bangkrut atau memperbarui buku-bukunya) atau dari pedagang/pengepul buku yang biasa membeli buku/majalah dari rumah-rumah.
Untuk mendapatkan buku yang diinginkan, jangan sungkan membokar tumpukan buku
Tidak berlebihan saya mengatakan kalau beragam buku langka juga ada, silahkan anda melihat-lihat dan membolak-balik tumpukan buku, anda akan terkejut saat menemukan buku langka yang mungkin sudah tidak bisa dibeli di toko buku. Bahkan salah satu rekan saya(dulu bos di kantor) , pengoleksi buku langka, yang sekarang menjadi salah satu deputi Presiden Jokowi, mempunyai ratusan koleksi buku langka di rumahnya. ia mendapatkan buku-bukunya dari Taman Buku dan Majalah tersebut. Hanya saja pada waktu itu sebelum ada penataan pedagang yang di sediakan kios di taman buku, pedagang buku mengelar dagangan di sepanjang jalan arah alun-alun utara, tepatnya di jalan jalur lambat. Di bawah teduhnya pohon beringin yang berumur puluhan tahun menjulang tinggi besar, para pecinta buku biasa memuaskan dahaganya di situ.
Novel lama ini saya temukan sudah dengan sampul yang dibikin penjualnya,sampul asli sudah hilang
Jangan ragu untuk membongkar mencari buku, terkadang kita menemukan buku yang kita cari ditumpukan bawah. Meskipun terkadang buku-buku yang kita cari sudah bulukan(kotor, jelek) bahkan sampulnya hilang. Yang penting isis\nya masih oke saja. Jangan sungkan menawar, meskipun harga yang ditawarkan sudah murah. Asal sesuai dengan kesepakatan, buku bisa dibawa pulang. Saya biasa menawar buku-buku yang saya inginkan setelah mencari beberapa buku sekaligus. Oya, kalau membeli banyak buku lebih enak sekalian menawarnya. Jadi sekian buku kita tawar sekian.
Pedagang juga kelihatan lebih senang seperti itu.
Sebagai contoh, novel 5 sekawan yang baru masih diatas Rp 25.000 (di toko buku), dengan mudah bisa kita dapatkan di bawah Rp 5.000 atau Rp 4.000 saja. Ya tentunya novel bekas. Novel karya Sydney Sheldon, Danniell Steel, dll bisa dibawa dengan membayar Rp9.000- 10.000. Buku-buku langka berkisar Rp 20.000-25.000. Murah bukan?
Foto. Dok pribadi
_Solo, 20 Oktober 2015_
Taman Buku dan Majalah Alun-Alun Kraton Surakarta, menawarkan bermacam buku lama dengan harga terjangkau bahkan murihh (karena murah sekali). Taman buku ini terletak di sebelah utara alun-alun utara Kraton Surakarta atau sebelah utara Pasar Klewer. Mudah sekali mencarinya. Tak jauh dari Jalan Slamet Riyadi, jalan utama kota Solo, dari arah barat (menuju komplek Balai Kota) persis di depan Bank BCA, belok kiri melewati jalan dengan naungan pohon-pohon beringin besar tak lebih dari 200 meter ambil kiri jalan. Di situlah letak Taman Buku dan Majalah Alun-Alun Kraton Surakarta atau Solo
Kios buku berjejer menawarkan koleksi bermacam buku, sebagaian besar buku bekas.
Puluhan kios pedagang buku tersebar di lokasi taman buku yang tidak terlalu luas ini. Hampir semua kios menjual buku-buku yang sembilan puluh persen buku bekas dan sisanya buku baru yang biasa di jual di toko buku. Bermacam jenis buku, non fiksi dan fiksi. Dari buku sastra, politik, ekonomi, sosial, ketrampilan, pelatihan, dll sampai novel dewasa/remaja/anak, komik, majalah, dll. Komplit sekali, tinggal pilih. Kios ini mulai buka sekitar pukul 09.30 sampai sore Pk 16.00. Para pedagang bisa menjual murah karena mendapatkan buku-buku dengan harga murah, berasal dari persewaan buku (yg mungkin bangkrut atau memperbarui buku-bukunya) atau dari pedagang/pengepul buku yang biasa membeli buku/majalah dari rumah-rumah.
Untuk mendapatkan buku yang diinginkan, jangan sungkan membokar tumpukan buku
Tidak berlebihan saya mengatakan kalau beragam buku langka juga ada, silahkan anda melihat-lihat dan membolak-balik tumpukan buku, anda akan terkejut saat menemukan buku langka yang mungkin sudah tidak bisa dibeli di toko buku. Bahkan salah satu rekan saya(dulu bos di kantor) , pengoleksi buku langka, yang sekarang menjadi salah satu deputi Presiden Jokowi, mempunyai ratusan koleksi buku langka di rumahnya. ia mendapatkan buku-bukunya dari Taman Buku dan Majalah tersebut. Hanya saja pada waktu itu sebelum ada penataan pedagang yang di sediakan kios di taman buku, pedagang buku mengelar dagangan di sepanjang jalan arah alun-alun utara, tepatnya di jalan jalur lambat. Di bawah teduhnya pohon beringin yang berumur puluhan tahun menjulang tinggi besar, para pecinta buku biasa memuaskan dahaganya di situ.
Novel lama ini saya temukan sudah dengan sampul yang dibikin penjualnya,sampul asli sudah hilang
Jangan ragu untuk membongkar mencari buku, terkadang kita menemukan buku yang kita cari ditumpukan bawah. Meskipun terkadang buku-buku yang kita cari sudah bulukan(kotor, jelek) bahkan sampulnya hilang. Yang penting isis\nya masih oke saja. Jangan sungkan menawar, meskipun harga yang ditawarkan sudah murah. Asal sesuai dengan kesepakatan, buku bisa dibawa pulang. Saya biasa menawar buku-buku yang saya inginkan setelah mencari beberapa buku sekaligus. Oya, kalau membeli banyak buku lebih enak sekalian menawarnya. Jadi sekian buku kita tawar sekian.
Pedagang juga kelihatan lebih senang seperti itu.
Sebagai contoh, novel 5 sekawan yang baru masih diatas Rp 25.000 (di toko buku), dengan mudah bisa kita dapatkan di bawah Rp 5.000 atau Rp 4.000 saja. Ya tentunya novel bekas. Novel karya Sydney Sheldon, Danniell Steel, dll bisa dibawa dengan membayar Rp9.000- 10.000. Buku-buku langka berkisar Rp 20.000-25.000. Murah bukan?
Foto. Dok pribadi
_Solo, 20 Oktober 2015_
Senin, 19 Oktober 2015
Melihat Warga Desa Simpang Karmio Batanghari Manfaatkan Aset Desa
Kokok ayam bersahut-sahutan membangunkan para penghuni rumah. Semilir
angin berhembus basah mengiringi pagi yang mulaimerekah. Adzan subuh
berkumandang dari kejauhan, merdu merasuk kalbu. Rasanya tak ada yang
mau menyiakan waktu Subuh untuk meneruskan bergelut selimut. Perlahan,
geliat warga mulai terlihat. Bangun membasuh muka dan bergegas menuju
masjid membelah keremangan pagi yang masih rapat dengan kabut.
Meski terus beranjak pagi, tetapi matahari belum juga menampakkan diri. Tersembunyi di antara kabut asap yang tebal tak terusik oleh kegagahan matahari. Pagi itu seperti pagi-pagi sebelumnya, selama beberapa bulan terakhir ini, selalu diselimuti gelap. Desa Simpang Karmio, Kecamatan Bhatin XXIV, Kabupaten Batanghari, Jambi, terus 'dipaksa' akrab dengan kabut asap yang saban hari selalu ada dan belum ada tanda-tanda berkurang.
Beberapa warga terus beraktivitas, para bapak membersihkan halaman rumah, ibu-ibu menyiapkan makanan. Selepas semua urusan rumah selesai, para bapak segera beranjak untuk bersiap bekerja. Sebagian pergi ke kebun karet, sawit dan ada yang ke bendungan untuk mengurus karamba.
Desa Simpang Karmio, mempunyai aset desa berupa bendungan yang terletak di pinggir desa membentang dari desa ke desa tetangga, terletak di sebelah kebun sawit dan kebun pembibitan sawit milik Dinas Pertanian Kabupaten Batanghari.
Bendungan seluas puluhan hektar tersebut selama ini lebih banyak dimanfaatkan untuk pengairan sawah milik warga Desa Simpang Karmio dan desa tetangga. Tetapi setahun terakhir ini, pemerintah desa melakukan inovasi dengan memanfaatkan bendungan tersebut. Berbekal pelatihan kepada sejumlah warganya dan modal pembibitan ikan kakap, warga mulai memelihara ikan di karamba. Tak kurang dari sepuluh kotak karamba sudah terbentang, memanfaatkan pinggir bendungan.
Pak Kar, salah satu warga yang mempunyai karamba di bendungan Simpang Karmio, mengaku sudah memulai usaha memlihara ikan di karamba beberapakali. Ia senang karena mempunyai pekerjaan sampingan selain bertani karet di kebunnya yang lumayan luas. selepas istirahat dari kebun karet, Pak Kar, mengurus ikan-ikannya siang sampi sore hari. Paling tidak sore hari ke karamba untuk memberi makan ikan. Tak banyak menyita waktu, tetapi mesti menyisihkan waktu untuk memberi makan ikannya. Ia melakukan semuanya sendiri, tak butuh bantuan dari keluarganya.
Dalam tiga bulan, Pak Kar bisa memanen ikannya, lumayan itulah hasil yang diakuinya. Selain menambah pendapatan keluarga, ia juga senang karena bisa memanfaatkan air bendungan yang selama ini hanya dibiarkan saja. Kedepan ia berharap warga desa lainnya juga mengikuti jejak nya bersama pemilik karamba lainnya.
Memanfaatkan potensi desa atau aset desa itulah semangat yang melecut Pemerintah Desa demi peningkatan kesejehteraan warga desanya. Mereka juga bersiap untuk berembug guna memanfaatkan bendungan Simpang Karmio menjadi tempat wisata. Peluang untuk itu sangat besar, apalagi desa mempunyai kewenangan lokal yang cukup banyak dan mengelola Dana Desa yang bisa digunakan untuk memaksimalkan potensi desa yang dimiliki.
_Solo, 19 Oktober 2015_
Foto. Dok. pribadi
Meski terus beranjak pagi, tetapi matahari belum juga menampakkan diri. Tersembunyi di antara kabut asap yang tebal tak terusik oleh kegagahan matahari. Pagi itu seperti pagi-pagi sebelumnya, selama beberapa bulan terakhir ini, selalu diselimuti gelap. Desa Simpang Karmio, Kecamatan Bhatin XXIV, Kabupaten Batanghari, Jambi, terus 'dipaksa' akrab dengan kabut asap yang saban hari selalu ada dan belum ada tanda-tanda berkurang.
Beberapa warga terus beraktivitas, para bapak membersihkan halaman rumah, ibu-ibu menyiapkan makanan. Selepas semua urusan rumah selesai, para bapak segera beranjak untuk bersiap bekerja. Sebagian pergi ke kebun karet, sawit dan ada yang ke bendungan untuk mengurus karamba.
Desa Simpang Karmio, mempunyai aset desa berupa bendungan yang terletak di pinggir desa membentang dari desa ke desa tetangga, terletak di sebelah kebun sawit dan kebun pembibitan sawit milik Dinas Pertanian Kabupaten Batanghari.
Bendungan seluas puluhan hektar tersebut selama ini lebih banyak dimanfaatkan untuk pengairan sawah milik warga Desa Simpang Karmio dan desa tetangga. Tetapi setahun terakhir ini, pemerintah desa melakukan inovasi dengan memanfaatkan bendungan tersebut. Berbekal pelatihan kepada sejumlah warganya dan modal pembibitan ikan kakap, warga mulai memelihara ikan di karamba. Tak kurang dari sepuluh kotak karamba sudah terbentang, memanfaatkan pinggir bendungan.
Pak Kar, salah satu warga yang mempunyai karamba di bendungan Simpang Karmio, mengaku sudah memulai usaha memlihara ikan di karamba beberapakali. Ia senang karena mempunyai pekerjaan sampingan selain bertani karet di kebunnya yang lumayan luas. selepas istirahat dari kebun karet, Pak Kar, mengurus ikan-ikannya siang sampi sore hari. Paling tidak sore hari ke karamba untuk memberi makan ikan. Tak banyak menyita waktu, tetapi mesti menyisihkan waktu untuk memberi makan ikannya. Ia melakukan semuanya sendiri, tak butuh bantuan dari keluarganya.
Dalam tiga bulan, Pak Kar bisa memanen ikannya, lumayan itulah hasil yang diakuinya. Selain menambah pendapatan keluarga, ia juga senang karena bisa memanfaatkan air bendungan yang selama ini hanya dibiarkan saja. Kedepan ia berharap warga desa lainnya juga mengikuti jejak nya bersama pemilik karamba lainnya.
Memanfaatkan potensi desa atau aset desa itulah semangat yang melecut Pemerintah Desa demi peningkatan kesejehteraan warga desanya. Mereka juga bersiap untuk berembug guna memanfaatkan bendungan Simpang Karmio menjadi tempat wisata. Peluang untuk itu sangat besar, apalagi desa mempunyai kewenangan lokal yang cukup banyak dan mengelola Dana Desa yang bisa digunakan untuk memaksimalkan potensi desa yang dimiliki.
_Solo, 19 Oktober 2015_
Foto. Dok. pribadi
Minggu, 18 Oktober 2015
Yang Hilang Dari Stasiun dan Gerbong KA
Saya salah satu orang yang suka melakukan
perjalanan dengan Kereta Api. Seringkali bepergian mengunakan moda
transportasi yang murah, nyaman dan bebas macet. Bahkan beberapatahun
yang lalu saya menjadi pelanggan Kereta Api (KA) karena harus bolak
balik kerja Solo-Yogya pulang pergi.
Beberapa tahun yang lalu, fasilitas Kereta Api tidak senyaman saat ini, hanya KA dengan bandrol bisnis dan eksekutif yang menawarkan kenyamanan penumpangnya. KA bisnis agak lumayan,sementara yang eksekutif memang nyaman. Tak heran karena harga tiket juga cukup mahal dibandingkan dengan KA kelas ekonomi. Ibaratnya, ada kenyamanan maka keluar uang lebih banyak.
Dahulu, untuk menghemat biaya, saat perjalanan jauh dengan anggota keluarga, KA ekonomi menjadi pilihan karena bisa berhemat atau paling tidak naik KA bisnis. Hanya sesekali naik KA eksekutif , itupun kalau ada urusan kantor, jadi tidak bayar pakai uang sendiri. Selain alasan lebih berhemat naik KA ekonomi, yang membuat selalu kangen adalah naik KA ekonomi itu nggak akan kekurangan makanan alias kelaparan. Tidak usah memikirkan bawa banyak bekal, cukup membeli di KA saja, dijamin nggak bakalan kelaparan. Ya, terlalu banyak penjual atau pedagang asongan yang menjajakan dagangan di KA ekonomi, baik di dalam kereta sendiri juga di stasiun-stasiun.
Rasanya semua makanan ala rakyat yang sederhana, murah dan cocok dilidah tersedia. Masih terekam kuat dalam ingatan setiap perjalanan ke barat (arah Jakarta) selalu saja pedagang asongan nyaring meneriakkan barang dagangan.
“Pecel…Pecel… mendoan..arem-arem..tahu-tahu…nasi—nasi…aqua..aqua…..kopi...”
Saat di stasiun Purwokerto dan sekitarnya pasti teriakan ini terdengar, “ lanting…lanting…pisang sale..pisang sale….”
Silih berganti pedagang membawa dagangan yang disusun diatas baskom besar berjalan ke sana kemari menawarkan dagangannya tanpa mengenal lelah.
Satu hal yang membuat saya angkat keempat jempol saya,mereka rata-rata tidak muda lagi tetapi semangat dan tenaganya luarbiasa. Meskipun tidak selalu laku tetapi mereka pantang menyerah,gigih memberikan pilihan menu makanan dan terkadang merayu calon pembelinya dengan wajah penuh harap. Tak kenal waktu, sampai tengah malampun tak kunjung menyerah sampai dagangan terbeli.
Di satu sisi, meskipun memberikan kemudahan untuk mencari makanan, banyak penumpang yang mengeluh karena merasa terganggu dengan pedagang asongan di KA. Mereka rata-rata tidak terlalu nyaman saat terkantuk-kantuk terpaksa bangun karena teriakan pedagang atau jengkel saat tangan pedagang mencolek badan mereka untuk menawarkan dagangan.
Rupanya salah satu keluhan penumpang tersebut yang menjadi dasar bagi PT KA untuk membuat penumpang lebih nyaman. Alasan lainnya saya tidak tahu. Pada akhirnya ada Intruksi Direksi PT KAI nomor 2/LL-066/LA-2012 tanggal 12 Januari 2012 yang berisi tentang Penertiban Pedagang Asongan , Penumpang Liar dan Larangan Penumpang Merokok diatas KA. Sejak saat itulah pedagang asongan dilarang berjualan di atas KA. Bahkan pada akhirnya pedagang sama sekali tidak boleh dijualan di area stasiun. PT KAI benar-benar ‘membersihkan’ pedangan asongan dari stasiun KA. Berbagai protes keras dan perlawanan dari pedagang tidak digubris dan tidak mempan,toh pedagang tetap tidak bisa jualan lagi.
Sebagai penumpang, saya merasakan kenyamanan di stasiun dan di dalam KA karena PT KAI serius memberikan fasilitas yang membuat penumpang nyaman. Area stasiun benar-benar bersih, terawat dengan baik, teratur, bebas asap rokok. Di dalam KA juga nyaman, bersih, bebas dari pedagang asongan. Bahkan hampir semua kereta api ekonomi dipasang AC, hanya sebagian kecil yang belum nyaman. Misalnya KA Pramek Solo-Yogya p/p yang bertiket Rp 8000, masih terasa panas apalagi saat musim kemarau seperti sekarang.
Menurut saya, kenyamanan penumpang diatas KA harus dibayar mahal dengan tidak adanya pedagang asongan yang menjajakan dagangannya karena mau tidak mau penumpang harus merogoh kocek lebih dalam saat membeli makanan/minuman di restorasi KA yang harganya berlipat-lipat. Saat kepepet (lupa bawa makanan/minuman atau bekal dari rumah habis sementara lapar tak bisa ditunda) , ya itulah pilihannya.
_Solo, 17 Oktober 2015_
sumber foto : www.sinarngawi.com
Beberapa tahun yang lalu, fasilitas Kereta Api tidak senyaman saat ini, hanya KA dengan bandrol bisnis dan eksekutif yang menawarkan kenyamanan penumpangnya. KA bisnis agak lumayan,sementara yang eksekutif memang nyaman. Tak heran karena harga tiket juga cukup mahal dibandingkan dengan KA kelas ekonomi. Ibaratnya, ada kenyamanan maka keluar uang lebih banyak.
Dahulu, untuk menghemat biaya, saat perjalanan jauh dengan anggota keluarga, KA ekonomi menjadi pilihan karena bisa berhemat atau paling tidak naik KA bisnis. Hanya sesekali naik KA eksekutif , itupun kalau ada urusan kantor, jadi tidak bayar pakai uang sendiri. Selain alasan lebih berhemat naik KA ekonomi, yang membuat selalu kangen adalah naik KA ekonomi itu nggak akan kekurangan makanan alias kelaparan. Tidak usah memikirkan bawa banyak bekal, cukup membeli di KA saja, dijamin nggak bakalan kelaparan. Ya, terlalu banyak penjual atau pedagang asongan yang menjajakan dagangan di KA ekonomi, baik di dalam kereta sendiri juga di stasiun-stasiun.
Rasanya semua makanan ala rakyat yang sederhana, murah dan cocok dilidah tersedia. Masih terekam kuat dalam ingatan setiap perjalanan ke barat (arah Jakarta) selalu saja pedagang asongan nyaring meneriakkan barang dagangan.
“Pecel…Pecel… mendoan..arem-arem..tahu-tahu…nasi—nasi…aqua..aqua…..kopi...”
Saat di stasiun Purwokerto dan sekitarnya pasti teriakan ini terdengar, “ lanting…lanting…pisang sale..pisang sale….”
Silih berganti pedagang membawa dagangan yang disusun diatas baskom besar berjalan ke sana kemari menawarkan dagangannya tanpa mengenal lelah.
Satu hal yang membuat saya angkat keempat jempol saya,mereka rata-rata tidak muda lagi tetapi semangat dan tenaganya luarbiasa. Meskipun tidak selalu laku tetapi mereka pantang menyerah,gigih memberikan pilihan menu makanan dan terkadang merayu calon pembelinya dengan wajah penuh harap. Tak kenal waktu, sampai tengah malampun tak kunjung menyerah sampai dagangan terbeli.
Di satu sisi, meskipun memberikan kemudahan untuk mencari makanan, banyak penumpang yang mengeluh karena merasa terganggu dengan pedagang asongan di KA. Mereka rata-rata tidak terlalu nyaman saat terkantuk-kantuk terpaksa bangun karena teriakan pedagang atau jengkel saat tangan pedagang mencolek badan mereka untuk menawarkan dagangan.
Rupanya salah satu keluhan penumpang tersebut yang menjadi dasar bagi PT KA untuk membuat penumpang lebih nyaman. Alasan lainnya saya tidak tahu. Pada akhirnya ada Intruksi Direksi PT KAI nomor 2/LL-066/LA-2012 tanggal 12 Januari 2012 yang berisi tentang Penertiban Pedagang Asongan , Penumpang Liar dan Larangan Penumpang Merokok diatas KA. Sejak saat itulah pedagang asongan dilarang berjualan di atas KA. Bahkan pada akhirnya pedagang sama sekali tidak boleh dijualan di area stasiun. PT KAI benar-benar ‘membersihkan’ pedangan asongan dari stasiun KA. Berbagai protes keras dan perlawanan dari pedagang tidak digubris dan tidak mempan,toh pedagang tetap tidak bisa jualan lagi.
Sebagai penumpang, saya merasakan kenyamanan di stasiun dan di dalam KA karena PT KAI serius memberikan fasilitas yang membuat penumpang nyaman. Area stasiun benar-benar bersih, terawat dengan baik, teratur, bebas asap rokok. Di dalam KA juga nyaman, bersih, bebas dari pedagang asongan. Bahkan hampir semua kereta api ekonomi dipasang AC, hanya sebagian kecil yang belum nyaman. Misalnya KA Pramek Solo-Yogya p/p yang bertiket Rp 8000, masih terasa panas apalagi saat musim kemarau seperti sekarang.
Menurut saya, kenyamanan penumpang diatas KA harus dibayar mahal dengan tidak adanya pedagang asongan yang menjajakan dagangannya karena mau tidak mau penumpang harus merogoh kocek lebih dalam saat membeli makanan/minuman di restorasi KA yang harganya berlipat-lipat. Saat kepepet (lupa bawa makanan/minuman atau bekal dari rumah habis sementara lapar tak bisa ditunda) , ya itulah pilihannya.
_Solo, 17 Oktober 2015_
sumber foto : www.sinarngawi.com
Bergelut Getah Karet, Potret Warga Desa Rambai Sumsel
Saat adzan subuh berkumandang, berbalur
dinginnya embun pagi, kehidupan dimulai dari rumah-rumah panggung.
Berderak lantai kayu saat penghuninya yang semalam terlelap melepaskan
penat terbangun untuk memulai kegiatan sehari-hari. Selepas subuh, hanya
ditemani secangkir kopi hitam kental para suami biasa merokok menunggu
istrinya selesai menyiapkan makan pagi. Tak butuh waktu lama, nasi putih
hangat yang masih mengepul plus lauk sederhana menemani secangkir kopi
yang tinggal menyisakan setengahnya.
Tanpa banyak cakap, para suami segera mengisi perut untuk menjaga tenaga beberapa jam ke depan bergelut dengan kegiatan rutin di ladang. Tak menunggu mentari muncul, mereka mengeber motor, meninggalkan deru yang terus menghilang setelah beberapa waktu kemudian.
Mereka warga Desa Rambai Kecamatan, Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan bekerja di ladang karet untuk menyadap karet. Setiap hari, sebelum jam 5 sudah meninggalkan rumah untuk mengambil karet yang telah mengumpul di batang pohon bawah sekaligus mengerat batang pohon untuk mengumpulkan karet yang baru.
Sebagian besar warga Desa Rambai bekerja di ladang karet, sebagian ladang milik sendiri dan sebagian yang lain menjadi pekerja di ladang milik tetangga. Mereka butuh waktu paling tidak 5 jam untuk mengerjakan pekerjaan di ladang karet. Dari jam 5 sampai 10 siang satu per satu, berkeliling memeriksa dan mengumpulkan gumpalan karet di batok kelapa setiap pohon karet. Setelah itu menggunakan pisau mereka mengerat batang-batang pohon dan memastikan tetesan getah kareta tepat berada di batok kelapa. Memastikan esok hari terkumpul getah karet yang akan memperpanjang asa keluarga mereka.
Bukan pekerjaan mudah, berbalut udara dingin saat yang nyaman untuk terlelap di bawah selimut tebal, bekerja keras di tengah kerumunan nyamuk yang sudah menjadi teman sehari-hari. Semua dilakoni tanpa merasa beban untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Para Istri Rangkap Pekerjaan, Urusan Domestik dan Membantu di Ladang
Di waktu yang sama, para istri sibuk berkutat dengan pekerjaan domestik, menyiapkan makan untuk keluarga, memastikan anak-anak siap beres untuk berangkat sekolah, kemudian berangkat ke ladang untuk membantu suami.
Bu Aidil, selepas sholat Subuh sibuk berkutat dengan masakan sambil membangunkan anak-anaknya yang duduk di bangku SMA dan SD. Setelah urusan anaknya beres dan mereka berangkat sekolah, ia segera mencuci peralatan memasak. Tak menunggu lama, setelah makan pagi dengan cepat, ia segera menyusul suaminya ke ladang. Lima hektar ladang karet peninggalan orangtua suaminya selama ini mengandalkan tenaganya dan suami, meskipun kadang-kadang dibantu beberapa tetangganya saat panen karet melimpah. Tetapi tidak untuk saat ini, saat harga karet turun, ia tidak mampu membayar tenaga tetangga.
Di kabupaten OKI, harga karet turun sampai berkisar antara Rp 8.000/ kg, dari harga biasanya lebih dari Rp 10.000/kg. Dalam kondisi seperti ini, Bu Aidil hanya memanfaatkan tenaga sendiri. Dalam sehari, sampai jam 10, ia dan suami biasa mengumpulkan karet sampai 10 kg. Getah karet disetorkan kepada pengumpul yang ada di desa, ia tinggal menerima bayaran saja.
Lelah di ladang tidak membuat Bu Aidil ongkang-ongkang kaki di rumah. Ia harus segera membereskan rumah, membersihkan rumah dan mencuci baju seluruh keluarganya. Paling tidak selepas Dhuhur ia baru selesai dari pekerjaan rutin di rumah. Sesekali di siang hari, ia akan membuat olahan pangan lokal seperti membuat kerupuk dari ketela pohon atau membuat tepung dari bahan yang sama. Bu Aidil seperti ibu-ibu pada umumnya di Desa Rambai, tidak mengenal lelah, tidak membuang waktu dengan percuma untuk sekedar menikmati sinetron, tetapi memanfaatkan waktu dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat, menyediakan kebutuhan pangan untuk keluarganya.
Pekerjaan Sampingan Suami
Siang seusai melepas penat sejenak, para suami tidak biasa hanya berdiam diri di rumah. Mereka biasanya akan mencari pekerjaan sambilan. Misalnya Pak Aidil, biasa mencari kayu di hutan sebagai barang dagangan. Ia dibantu beberapa orang tetangga, menelusuri hutan-hutan di desa dan desa tetangga untuk melihat dan barangkali bisa membeli kayu-kayu yang akan dijual kembali. Mereka mempunyai pekerjaan lain selain mengurus ladang karet. Dengan keuletan dan kerja keras inilah, kebutuhan keluarga tercukupi.
Menjelang petang, deru motor Pak Aidil terdengar memasuki halaman rumah. Dengan langkah capek, Pak Aidil memasuki rumah panggung disambut istri dan anaknya. Secangkir kopi panas sudah tersedia di meja untuk mengurangi rasa penat seharian di luar rumah. Makanan dengan menu sederhana yang terhidang di meja akan melengkapi untuk melepas lelah.
Itulah potret kehidupan sehari-hari keluarga di Desa Rumbai, suami-istri saling bahu-membahu meringankan beban keluarga tanpa mengeluh dan menyalahkan satu dengan lainnya. Sebuah kebersamaan yang elok dan pantas untuk diteladani.
_Solo, 12 OKtober 2015_
Foto. dokumen pribadi
Tanpa banyak cakap, para suami segera mengisi perut untuk menjaga tenaga beberapa jam ke depan bergelut dengan kegiatan rutin di ladang. Tak menunggu mentari muncul, mereka mengeber motor, meninggalkan deru yang terus menghilang setelah beberapa waktu kemudian.
Mereka warga Desa Rambai Kecamatan, Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan bekerja di ladang karet untuk menyadap karet. Setiap hari, sebelum jam 5 sudah meninggalkan rumah untuk mengambil karet yang telah mengumpul di batang pohon bawah sekaligus mengerat batang pohon untuk mengumpulkan karet yang baru.
Sebagian besar warga Desa Rambai bekerja di ladang karet, sebagian ladang milik sendiri dan sebagian yang lain menjadi pekerja di ladang milik tetangga. Mereka butuh waktu paling tidak 5 jam untuk mengerjakan pekerjaan di ladang karet. Dari jam 5 sampai 10 siang satu per satu, berkeliling memeriksa dan mengumpulkan gumpalan karet di batok kelapa setiap pohon karet. Setelah itu menggunakan pisau mereka mengerat batang-batang pohon dan memastikan tetesan getah kareta tepat berada di batok kelapa. Memastikan esok hari terkumpul getah karet yang akan memperpanjang asa keluarga mereka.
Bukan pekerjaan mudah, berbalut udara dingin saat yang nyaman untuk terlelap di bawah selimut tebal, bekerja keras di tengah kerumunan nyamuk yang sudah menjadi teman sehari-hari. Semua dilakoni tanpa merasa beban untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Para Istri Rangkap Pekerjaan, Urusan Domestik dan Membantu di Ladang
Di waktu yang sama, para istri sibuk berkutat dengan pekerjaan domestik, menyiapkan makan untuk keluarga, memastikan anak-anak siap beres untuk berangkat sekolah, kemudian berangkat ke ladang untuk membantu suami.
Bu Aidil, selepas sholat Subuh sibuk berkutat dengan masakan sambil membangunkan anak-anaknya yang duduk di bangku SMA dan SD. Setelah urusan anaknya beres dan mereka berangkat sekolah, ia segera mencuci peralatan memasak. Tak menunggu lama, setelah makan pagi dengan cepat, ia segera menyusul suaminya ke ladang. Lima hektar ladang karet peninggalan orangtua suaminya selama ini mengandalkan tenaganya dan suami, meskipun kadang-kadang dibantu beberapa tetangganya saat panen karet melimpah. Tetapi tidak untuk saat ini, saat harga karet turun, ia tidak mampu membayar tenaga tetangga.
Di kabupaten OKI, harga karet turun sampai berkisar antara Rp 8.000/ kg, dari harga biasanya lebih dari Rp 10.000/kg. Dalam kondisi seperti ini, Bu Aidil hanya memanfaatkan tenaga sendiri. Dalam sehari, sampai jam 10, ia dan suami biasa mengumpulkan karet sampai 10 kg. Getah karet disetorkan kepada pengumpul yang ada di desa, ia tinggal menerima bayaran saja.
Lelah di ladang tidak membuat Bu Aidil ongkang-ongkang kaki di rumah. Ia harus segera membereskan rumah, membersihkan rumah dan mencuci baju seluruh keluarganya. Paling tidak selepas Dhuhur ia baru selesai dari pekerjaan rutin di rumah. Sesekali di siang hari, ia akan membuat olahan pangan lokal seperti membuat kerupuk dari ketela pohon atau membuat tepung dari bahan yang sama. Bu Aidil seperti ibu-ibu pada umumnya di Desa Rambai, tidak mengenal lelah, tidak membuang waktu dengan percuma untuk sekedar menikmati sinetron, tetapi memanfaatkan waktu dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat, menyediakan kebutuhan pangan untuk keluarganya.
Pekerjaan Sampingan Suami
Siang seusai melepas penat sejenak, para suami tidak biasa hanya berdiam diri di rumah. Mereka biasanya akan mencari pekerjaan sambilan. Misalnya Pak Aidil, biasa mencari kayu di hutan sebagai barang dagangan. Ia dibantu beberapa orang tetangga, menelusuri hutan-hutan di desa dan desa tetangga untuk melihat dan barangkali bisa membeli kayu-kayu yang akan dijual kembali. Mereka mempunyai pekerjaan lain selain mengurus ladang karet. Dengan keuletan dan kerja keras inilah, kebutuhan keluarga tercukupi.
Menjelang petang, deru motor Pak Aidil terdengar memasuki halaman rumah. Dengan langkah capek, Pak Aidil memasuki rumah panggung disambut istri dan anaknya. Secangkir kopi panas sudah tersedia di meja untuk mengurangi rasa penat seharian di luar rumah. Makanan dengan menu sederhana yang terhidang di meja akan melengkapi untuk melepas lelah.
Itulah potret kehidupan sehari-hari keluarga di Desa Rumbai, suami-istri saling bahu-membahu meringankan beban keluarga tanpa mengeluh dan menyalahkan satu dengan lainnya. Sebuah kebersamaan yang elok dan pantas untuk diteladani.
_Solo, 12 OKtober 2015_
Foto. dokumen pribadi
Danau Ugo Kabupaten Batanghari, Bersiap Menjadi Wisata Desa
Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi menyajikan kekayaan alam yang
tersembunyi. Selain memiliki sumber daya alam berbagai jenis seperti
batu bara, hutan, perkebunan, pasir, bebatuan, bumi, gas, dan kerikil,
yang tak kalah menariknya adalah sebuah danau perawan yang elok
dipandang mata.
Seminggu yang lalu, saya berkesempatan pergi ke Jambi, tepatnya di Kabupaten Batanghari. Saat bekerja, saya berkesempatan menjelajahi Desa Aur Gading dan melihat langsung Danau Ugo, potensi desa yang belum tergarap. Meskipun terselimuti kabut asap, keelokan danau ini tetap terlihat. Danau Ugo terletak di Desa Aur Gading Kecamatan Bhatin XXIV atau orang-orang sering bilang Bhatin Dua Lusin, menyimpan potensi wisata yang sangat menjanjikan. Danau seluas 24 hektare ini membentang luas di sepanjang desa.
Untuk menuju Danau Ugo, kita melewati jembatan gantung yang terbuat dari besi. Jembatan tersebut menjadi jalan alternatif menuju Desa Aur Gading, selain jalan lain yang memutar. Beberapa tahun yang lalu, jembatan belum ada. Warga Desa Aur Gading dan sekitarnya harus menyeberang sungai seluas tak kurang dari 200 meter dengan menumpang perahu kecil. Empat tahun terakhir, jembatan dibangun untuk memperlancar transportasi warga. Sayang hanya selebar tak lebih dari 1,5 meter, hanya cukup untuk dilewati sepeda motor satu arah.
Kembali ke Danau Ugo, kita harus menyeberang jembatan gantung kemudian melewati perkebunan karet yang membentang di kanan-kiri jalan raya berdebu yang masih terbuat dari tanah. Sekitar dua ratus meter kemudian, masuk ke jalan setapak yang membelah perkebunan karet yang luas dan sepi. Jalan setapak ini berkelok-kelok, cocok jika digunakan untuk trek motor cross. Sejauh mata memandang hanya pohon-pohon karet yang dipenuhi batok kelapa tempat untuk menyadap karet ditambah rimbun dedauan.
Danau Ugo memang mempesona. Alamnya masih asri dengan air yang cukup jernih. Selama ini, danau alami tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Daya tarik danau dengan pemandangan asri tersebut terletak pada bentangan luas danau, ditambah perkebunan karet di salah satu sisinya. Menurut penduduk setempat, Danau Ugo dihuni banyak ikan lambak, semacam ikan bandeng. Setiap harinya warga sekitar mencari ikan lambak untuk dijual dan dijadikan lauk-pauk.
Konon, Danau Ugo sebagai tempat bermain dan pemandian bagi para bidadari. Danaunya yang luas, tenang dan sepi menjadi tampat favorit para bidadari yang turun dari khayangan. Mereka bersuka ria dan senang bermain air di Danau Ugo. Menurut kabar yang diyakini warga sampai saat ini, danau tersebut tidak boleh dirusak. Karena pernah ada yang meracuni ikan, tetapi di pagi harinya, ikan-ikan tidak mati tetapi di danau muncul banyak sekali telunjuk manusia yang menyembul. Sejak saat itu, warga sekitar mempercayai kalau air danau tidak boleh tercemar dan dikotori orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, keasrian Danau Ugo terjaga sampai sekarang. Warga sekitar juga mempercayai, saat di danau harus cuci muka dengan airnya, karena jika tidak bisa mengakibatkan sakit panas.
Pemerintah Desa Aur Gading bertindak cepat, memanfaatkan aset desa menjadi lebih bermanfaat. Saat ini pengajuan Danau Ugo menjadi tempat wisata sudah diproses Kementerian Pariwisata. Master plan masih disusun, kelak Danau Ugo akan dijadikan danau wisata Kabupaten Batanghari yang dilengkapi dengan rumah makan, sarana pariwisata dan lintasan cros di sekitar danau.
Warga berharap potensi desa ini mampu dikelola secara baik sehingga bisa menambah pendapatan asli desa dan mendorong kemajuan perekonomian masyarakat. Sejumlah rencana sudah disiapkan oleh warga kalau Danau Ugo sudah menjadi tempat wisata. Mereka siap mengelola warung-warung makan, menjual souvenir, menyediakan jasa ojek, dll. Pandangan mereka optimis untuk kemajuan desa dan warga, bahagia menatap masa depan desa yang membentang di depan mata.
_Solo, 4 OKtober 2015_
foto : dokumen pribadi
Seminggu yang lalu, saya berkesempatan pergi ke Jambi, tepatnya di Kabupaten Batanghari. Saat bekerja, saya berkesempatan menjelajahi Desa Aur Gading dan melihat langsung Danau Ugo, potensi desa yang belum tergarap. Meskipun terselimuti kabut asap, keelokan danau ini tetap terlihat. Danau Ugo terletak di Desa Aur Gading Kecamatan Bhatin XXIV atau orang-orang sering bilang Bhatin Dua Lusin, menyimpan potensi wisata yang sangat menjanjikan. Danau seluas 24 hektare ini membentang luas di sepanjang desa.
Untuk menuju Danau Ugo, kita melewati jembatan gantung yang terbuat dari besi. Jembatan tersebut menjadi jalan alternatif menuju Desa Aur Gading, selain jalan lain yang memutar. Beberapa tahun yang lalu, jembatan belum ada. Warga Desa Aur Gading dan sekitarnya harus menyeberang sungai seluas tak kurang dari 200 meter dengan menumpang perahu kecil. Empat tahun terakhir, jembatan dibangun untuk memperlancar transportasi warga. Sayang hanya selebar tak lebih dari 1,5 meter, hanya cukup untuk dilewati sepeda motor satu arah.
Kembali ke Danau Ugo, kita harus menyeberang jembatan gantung kemudian melewati perkebunan karet yang membentang di kanan-kiri jalan raya berdebu yang masih terbuat dari tanah. Sekitar dua ratus meter kemudian, masuk ke jalan setapak yang membelah perkebunan karet yang luas dan sepi. Jalan setapak ini berkelok-kelok, cocok jika digunakan untuk trek motor cross. Sejauh mata memandang hanya pohon-pohon karet yang dipenuhi batok kelapa tempat untuk menyadap karet ditambah rimbun dedauan.
Danau Ugo memang mempesona. Alamnya masih asri dengan air yang cukup jernih. Selama ini, danau alami tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Daya tarik danau dengan pemandangan asri tersebut terletak pada bentangan luas danau, ditambah perkebunan karet di salah satu sisinya. Menurut penduduk setempat, Danau Ugo dihuni banyak ikan lambak, semacam ikan bandeng. Setiap harinya warga sekitar mencari ikan lambak untuk dijual dan dijadikan lauk-pauk.
Konon, Danau Ugo sebagai tempat bermain dan pemandian bagi para bidadari. Danaunya yang luas, tenang dan sepi menjadi tampat favorit para bidadari yang turun dari khayangan. Mereka bersuka ria dan senang bermain air di Danau Ugo. Menurut kabar yang diyakini warga sampai saat ini, danau tersebut tidak boleh dirusak. Karena pernah ada yang meracuni ikan, tetapi di pagi harinya, ikan-ikan tidak mati tetapi di danau muncul banyak sekali telunjuk manusia yang menyembul. Sejak saat itu, warga sekitar mempercayai kalau air danau tidak boleh tercemar dan dikotori orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, keasrian Danau Ugo terjaga sampai sekarang. Warga sekitar juga mempercayai, saat di danau harus cuci muka dengan airnya, karena jika tidak bisa mengakibatkan sakit panas.
Pemerintah Desa Aur Gading bertindak cepat, memanfaatkan aset desa menjadi lebih bermanfaat. Saat ini pengajuan Danau Ugo menjadi tempat wisata sudah diproses Kementerian Pariwisata. Master plan masih disusun, kelak Danau Ugo akan dijadikan danau wisata Kabupaten Batanghari yang dilengkapi dengan rumah makan, sarana pariwisata dan lintasan cros di sekitar danau.
Warga berharap potensi desa ini mampu dikelola secara baik sehingga bisa menambah pendapatan asli desa dan mendorong kemajuan perekonomian masyarakat. Sejumlah rencana sudah disiapkan oleh warga kalau Danau Ugo sudah menjadi tempat wisata. Mereka siap mengelola warung-warung makan, menjual souvenir, menyediakan jasa ojek, dll. Pandangan mereka optimis untuk kemajuan desa dan warga, bahagia menatap masa depan desa yang membentang di depan mata.
_Solo, 4 OKtober 2015_
foto : dokumen pribadi
Ibu Desa Rambai Sumsel Manfaatkan Potensi Lokal
"Kalau semua beli, sayang uangnya," tutur
Ibu A, seorang perempuan dari Desa Rambai, Kecamatan Pangkalan Lampam,
Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan.
Tangannya sibuk memeras singkong yang telah di parut/dihaluskan di atas sehelai kain blacu. Putaran tanganya kuat hingga tetes-tetes air dari singkong tak bersisa lagi. Beberapa kali ia mengupas peluh di dahinya dengan ujung lengan baju.
Bukan pekerjaan yang ringan meskipun saat memarut singkong dibantu dengan mesin. Ya, alat bantu mesin pemarut cukup meringankan beban ibu A. Ia tinggal memeras untuk menghabiskan air dari singkong dan setelah itu menjemurnya.
Proses pembuatannya membutuhkan ketelatenan. Singkong di kupas sampi bersih, kemudian di masukkan air sambil di bersihkan. Setelah singkong dibersihkan kemudian di tiriskan hingga air tidak lagi menetes. Proses berikutnya singkong satu persatu di masukkan ke dalam mesin pemarut singkong. Setelah itu parutan singkong di peras diatas sehelai kain. Proses pemerasan harus sampai kering agar rasa tepung tidak langu(tidak enak). Agar tepung tidka mengumpal, adonan singkong tersebut harus di tekan-tekan di sebuah alas yang berlubang-lubang seperti saringan tetapi besar. Baru kemudian di jemur sampai kering.
Singkong parut di peras sampai airnya kering
Selain membuat tepung singkong, ibu-ibu tersebut biasa membuat kerupuk dari singkong. Proses pembuatan hampir sama, setelah singkong di parut dan airnya di hilangkan, kemudian adonan diuleni/dicampur dengan bumbu-bumbu dan pewarna makanan sesuai selera. Kemudian di masukkan ke dalam kulkas agar adonan lebih mengental sehingga tidak pecah/hancur saat diiris. Biasanya semalaman. Baru keesokan harinya di iris tipis kemudian di jemur.
Kerupuk dari singkong, gurih, enak, halal, dan puas karena buatan sendiri.
Ibu A, tidak sendirian, sebagian besar ibu-ibu di desa Rambai melakukan hal yang sama. Membuat tepung dari singkong. Mereka sudah terbiasa membuatnya, selain irit, higienis juga memanfaatkan singkong tanaman sendiri yang berbuat lebat di kebun. Ibu-ibu meneruskan apa yang dilakukan orangtua mereka, tidak tergantung kepada tepung buatan pabrik. Mereka justru mengandalkan buatan tangan sendiri, produksi mereka sendiri hasil bertanam.
Bukan karena tidak mempunyai cukup uang, mereka toh orang-orang yang mampu. Bahkan ibu A mempunyai berhektar-hektar ladang di hutan yang ditanami karet. Selain itu ia juga hidup berkecukupan. Suaminya mempunyai usaha penjualan kayu, yang lebih dari cukup untuk hidup mereka sekeluarga. Hasil ladang karet juga memadai, setipa harinya mereka menyadap karet dan dijual sehingga tersedia uang tunai. Selain itu, mobil keluaran terbaru juga terparkir di halaman rumah.
Ibu B juga sama, ia hidup cukup dengan membuka usaha toko kelontong di rumahnya. Pekerjaan suami sebagai petani juga cukup memadai, karena anak-anaknya sudah berkeluarga dan hidup mandiri. Tetapi ia juga tidak berpangku tangan, di sela-sela menjaga toko kelontongnya, ia seperti ibu yang lain membuat tepung dari singkong.
Singkong memang ditanam di kebun mereka, dari singkong mereka bisa merebus untuk selingan nasi, mengoreng untuk camilan dan mengolah menjadi tepung dan kerupuk singkong.
Meskipun tidak sederhana cara membuatnya, tetapi mereka senang bisa membuat salah satu kebutuhan sehari-hari dari tangan mereka sendiri.
Sejatinya mereka perempuan mandiri, tanpa kenal lelah menyediakan kebutuhan keluarga. Pagi selepas anak-anak sekolah, mereka biasa membantu suami ke ladang karet untuk menyadap karet. Selebihnya mengurus rumah tangga salah satunya membuat tepung dan kerupuk.
Bertahun-tahun, bahkan mereka mengaku lupa kapan terakhir membeli tepung dan kerupuk, karena mereka selalu membuat kedua jenis makanan tersebut.
Pemanfaatan kebun dengan menanam singkong kemudian di olah menjadi beragam makanan sehari-hari membuat mereka merasa bangga karena bisa menyediakan pangan olahan tangan sendiri, membantu meringankan beban suami karena bisa berhemat dan yang paling penting adalah ikut melestarikan pangan lokal.Murah meriah tetapi tetap bernilai gizi tinggi.
ibu-ibu di Desa Rambai, tekun, rajin melestarikan pangan lokal
_Solo, 26 September 2015_
Tangannya sibuk memeras singkong yang telah di parut/dihaluskan di atas sehelai kain blacu. Putaran tanganya kuat hingga tetes-tetes air dari singkong tak bersisa lagi. Beberapa kali ia mengupas peluh di dahinya dengan ujung lengan baju.
Bukan pekerjaan yang ringan meskipun saat memarut singkong dibantu dengan mesin. Ya, alat bantu mesin pemarut cukup meringankan beban ibu A. Ia tinggal memeras untuk menghabiskan air dari singkong dan setelah itu menjemurnya.
Proses pembuatannya membutuhkan ketelatenan. Singkong di kupas sampi bersih, kemudian di masukkan air sambil di bersihkan. Setelah singkong dibersihkan kemudian di tiriskan hingga air tidak lagi menetes. Proses berikutnya singkong satu persatu di masukkan ke dalam mesin pemarut singkong. Setelah itu parutan singkong di peras diatas sehelai kain. Proses pemerasan harus sampai kering agar rasa tepung tidak langu(tidak enak). Agar tepung tidka mengumpal, adonan singkong tersebut harus di tekan-tekan di sebuah alas yang berlubang-lubang seperti saringan tetapi besar. Baru kemudian di jemur sampai kering.
Singkong parut di peras sampai airnya kering
Selain membuat tepung singkong, ibu-ibu tersebut biasa membuat kerupuk dari singkong. Proses pembuatan hampir sama, setelah singkong di parut dan airnya di hilangkan, kemudian adonan diuleni/dicampur dengan bumbu-bumbu dan pewarna makanan sesuai selera. Kemudian di masukkan ke dalam kulkas agar adonan lebih mengental sehingga tidak pecah/hancur saat diiris. Biasanya semalaman. Baru keesokan harinya di iris tipis kemudian di jemur.
Kerupuk dari singkong, gurih, enak, halal, dan puas karena buatan sendiri.
Ibu A, tidak sendirian, sebagian besar ibu-ibu di desa Rambai melakukan hal yang sama. Membuat tepung dari singkong. Mereka sudah terbiasa membuatnya, selain irit, higienis juga memanfaatkan singkong tanaman sendiri yang berbuat lebat di kebun. Ibu-ibu meneruskan apa yang dilakukan orangtua mereka, tidak tergantung kepada tepung buatan pabrik. Mereka justru mengandalkan buatan tangan sendiri, produksi mereka sendiri hasil bertanam.
Bukan karena tidak mempunyai cukup uang, mereka toh orang-orang yang mampu. Bahkan ibu A mempunyai berhektar-hektar ladang di hutan yang ditanami karet. Selain itu ia juga hidup berkecukupan. Suaminya mempunyai usaha penjualan kayu, yang lebih dari cukup untuk hidup mereka sekeluarga. Hasil ladang karet juga memadai, setipa harinya mereka menyadap karet dan dijual sehingga tersedia uang tunai. Selain itu, mobil keluaran terbaru juga terparkir di halaman rumah.
Ibu B juga sama, ia hidup cukup dengan membuka usaha toko kelontong di rumahnya. Pekerjaan suami sebagai petani juga cukup memadai, karena anak-anaknya sudah berkeluarga dan hidup mandiri. Tetapi ia juga tidak berpangku tangan, di sela-sela menjaga toko kelontongnya, ia seperti ibu yang lain membuat tepung dari singkong.
Singkong memang ditanam di kebun mereka, dari singkong mereka bisa merebus untuk selingan nasi, mengoreng untuk camilan dan mengolah menjadi tepung dan kerupuk singkong.
Meskipun tidak sederhana cara membuatnya, tetapi mereka senang bisa membuat salah satu kebutuhan sehari-hari dari tangan mereka sendiri.
Sejatinya mereka perempuan mandiri, tanpa kenal lelah menyediakan kebutuhan keluarga. Pagi selepas anak-anak sekolah, mereka biasa membantu suami ke ladang karet untuk menyadap karet. Selebihnya mengurus rumah tangga salah satunya membuat tepung dan kerupuk.
Bertahun-tahun, bahkan mereka mengaku lupa kapan terakhir membeli tepung dan kerupuk, karena mereka selalu membuat kedua jenis makanan tersebut.
Pemanfaatan kebun dengan menanam singkong kemudian di olah menjadi beragam makanan sehari-hari membuat mereka merasa bangga karena bisa menyediakan pangan olahan tangan sendiri, membantu meringankan beban suami karena bisa berhemat dan yang paling penting adalah ikut melestarikan pangan lokal.Murah meriah tetapi tetap bernilai gizi tinggi.
ibu-ibu di Desa Rambai, tekun, rajin melestarikan pangan lokal
_Solo, 26 September 2015_
Sumur Bagi Orang Jawa Sebagai Sarana Berbagi
Sumur bagi orang Jawa tidak hanya sekedar tempat untuk mengambil air.
Sumur tidak hanya sekadar fasiltas sumber air yang akan memenuhi
kebutuhan air untuk keseharian seluruh keluarga.
Tetapi sumur bagi orang Jawa, sumur diibaratkan lambang sumber kehidupan. Dari sumurlah kebutuhan yang sangat penting, yaitu air bisa terpenuhi.
Pengalian sumur yang berbentuk lingkaran dengan diameter 1-1,5 meter, bagi orang Jawa diibartkan mengali sumber kehidupan.
Maka tak heran jika orang Jawa, saat akan membangun rumah tempat tinggal, biasanya mereka justru membangun sumur terlebih dahulu. Selain untuk memenuhi kebutuhan pambangunan rumah, air dari sumur tersebut juga menandakan ada sumber kehidupan yang menjanjikan bagi keluarga yang akan mendiami rumah itu kelak.
Pembuatan sumur juga tidak dilakukan dengan asal-asalan, biasanya orang Jawa akan mencari orang pintar, orang yang dianggap sebagai pawang sumur untuk menentukan dan mencari sumber mata air yang bagus. Setelah itulah, akan ditentukan hari baik (menurut perhitungan Jawa) untuk mulai mengali sumur.
Menentukan letak sumur juga tidak sembarangan, tidak asal melihat sumber air yang bagus. Tetapi juga mempertimbangkan arah rumah menghadap kearah mana. Karena pemilihan letak sumur diyakini juga akan mempengaruhi peruntungan dan kebahagiaan keluarga pemilik sumur.
Bagi masyarakat di Jawa, sulit sekali menemukan rumah (lama) yang tidak kelihatan sumurnya. Hampir semua rumah di Jawa membangun sumurnya di samping rumah bagian depan. Sehingga dari depan/jalan sumur tersebut bisa dilihat oleh orang lain. Mereka memang sengaja membangun sumur biar kelihatan dari jalan/kelihatan orang lain. Menurut penuturan orangtua saya, peletakan sumur dari jaman nenek moyangnya dulu memang selalu di depan, biasanya samping rumah bisa samping kanan atau kiri. Bagi yang rumahnya berhalaman luas, bisa diletakkan di samping dekat rumah atau terkadang justru di samping pojok yang dekat jalan. Intinya setiap orang yang lewat bisa tahu ada sumur di situ. Jadi tidak diletakkan di tempat yang tersembunyi/ atau di dalam rumah.
Makna yang terkandung di dalam penentuan letak sumur ini amat dalam. Para leluhur sudah mempertimbangkan bahwa sumur sebagai sumber penghidupan bagi keluarga tidaklah elok jika hanya di nikmati oleh anggota keluarga pemilik sumur itu saja. Tetapi sumur juga difungsikan sebagai sarana sosial, untuk menyediakan bagi siapapun yang membutuhkan air. Maka tak heran jika sumur diletakkan di luar rumah, di pinggir jalan, di tempat yang mudah diketahui orang lain. Tidak hanya untuk tetangga yang membutuhkan air saja, tetapi untuk orang yang tidak dikenalpun yang saat melintas membutuhkan air bisa mengambilnya sesuak hati.
Para leluhur sudah mengajarkan konsep berbagi kepada sesama yang sangat sederhana dan mungkin tidak terlalu disadari oleh anak cucunya. Maka tidaklah heran jika sumur di desa (waktu itu, dan saya juga merasakan sendiri saat masih kecil) sering dikunjungi orang yang lewat hanya untuk sekedar numpang cucimuka, atau petani untuk cuci tangan dan kaki setelah bergelut dengan lumpur, pengembala ternak untuk mengambilkan air minum ternaknya dan tetangga yang sumurnya kering saat kemarau panjang seperti saat ini.
Mereka memaknai sumur tidak ada bedanya dengan mata air, sendang, pancuran, belik, sungai yang disediakan Tuhan untuk seluruh makluk hidup di dunia ini.
Selain itu, bagi orang Jawa juga, berkumpul di sumur saat mengambil air, dijadikan sarana untuk bertemu, berbincang, mengakrabkan diri sekaligus membicarakan hal-hal keseharian yang terjadi di sekitar mereka (bahasannya bisa beragam dari hal sehari-hari, pendidikan, sosial, sampai soal politik).
Saat ini, kalau ke desa, saya masih banyak menemumukan sumur-sumur yang terlihat di jalanan. Meskipun sebagian sudah diberikan dinding penutup setinggi 1,5 meter untuk sekedar tidak terlalu mencolok terlihat di jalanan.
Seiring dengan perkembangan jaman, orang yang tinggal di desa dan membangun rumah baru, sudah hampir tidak terlihat sumur di halaman/pekarangan rumah mereka. Kebanyakan sudah meletakkan sumur di dalam rumah/belakang rumah, yang intinya agar tidak terlihat dari jalan/luar. Seperti yang saya tanyakan kepada mereka, alasannya adalah sumur untuk kegiatan yang bersifat pribadi, sehingga kalau tampak dari luar apalagi jalanan ya malu. Oleh karena itu mereka meletakkan sumur di tempat yang tidak terlihat orang luar.
_Solo, 25 September 2015_
Tetapi sumur bagi orang Jawa, sumur diibaratkan lambang sumber kehidupan. Dari sumurlah kebutuhan yang sangat penting, yaitu air bisa terpenuhi.
Pengalian sumur yang berbentuk lingkaran dengan diameter 1-1,5 meter, bagi orang Jawa diibartkan mengali sumber kehidupan.
Maka tak heran jika orang Jawa, saat akan membangun rumah tempat tinggal, biasanya mereka justru membangun sumur terlebih dahulu. Selain untuk memenuhi kebutuhan pambangunan rumah, air dari sumur tersebut juga menandakan ada sumber kehidupan yang menjanjikan bagi keluarga yang akan mendiami rumah itu kelak.
Pembuatan sumur juga tidak dilakukan dengan asal-asalan, biasanya orang Jawa akan mencari orang pintar, orang yang dianggap sebagai pawang sumur untuk menentukan dan mencari sumber mata air yang bagus. Setelah itulah, akan ditentukan hari baik (menurut perhitungan Jawa) untuk mulai mengali sumur.
Menentukan letak sumur juga tidak sembarangan, tidak asal melihat sumber air yang bagus. Tetapi juga mempertimbangkan arah rumah menghadap kearah mana. Karena pemilihan letak sumur diyakini juga akan mempengaruhi peruntungan dan kebahagiaan keluarga pemilik sumur.
Bagi masyarakat di Jawa, sulit sekali menemukan rumah (lama) yang tidak kelihatan sumurnya. Hampir semua rumah di Jawa membangun sumurnya di samping rumah bagian depan. Sehingga dari depan/jalan sumur tersebut bisa dilihat oleh orang lain. Mereka memang sengaja membangun sumur biar kelihatan dari jalan/kelihatan orang lain. Menurut penuturan orangtua saya, peletakan sumur dari jaman nenek moyangnya dulu memang selalu di depan, biasanya samping rumah bisa samping kanan atau kiri. Bagi yang rumahnya berhalaman luas, bisa diletakkan di samping dekat rumah atau terkadang justru di samping pojok yang dekat jalan. Intinya setiap orang yang lewat bisa tahu ada sumur di situ. Jadi tidak diletakkan di tempat yang tersembunyi/ atau di dalam rumah.
Makna yang terkandung di dalam penentuan letak sumur ini amat dalam. Para leluhur sudah mempertimbangkan bahwa sumur sebagai sumber penghidupan bagi keluarga tidaklah elok jika hanya di nikmati oleh anggota keluarga pemilik sumur itu saja. Tetapi sumur juga difungsikan sebagai sarana sosial, untuk menyediakan bagi siapapun yang membutuhkan air. Maka tak heran jika sumur diletakkan di luar rumah, di pinggir jalan, di tempat yang mudah diketahui orang lain. Tidak hanya untuk tetangga yang membutuhkan air saja, tetapi untuk orang yang tidak dikenalpun yang saat melintas membutuhkan air bisa mengambilnya sesuak hati.
Para leluhur sudah mengajarkan konsep berbagi kepada sesama yang sangat sederhana dan mungkin tidak terlalu disadari oleh anak cucunya. Maka tidaklah heran jika sumur di desa (waktu itu, dan saya juga merasakan sendiri saat masih kecil) sering dikunjungi orang yang lewat hanya untuk sekedar numpang cucimuka, atau petani untuk cuci tangan dan kaki setelah bergelut dengan lumpur, pengembala ternak untuk mengambilkan air minum ternaknya dan tetangga yang sumurnya kering saat kemarau panjang seperti saat ini.
Mereka memaknai sumur tidak ada bedanya dengan mata air, sendang, pancuran, belik, sungai yang disediakan Tuhan untuk seluruh makluk hidup di dunia ini.
Selain itu, bagi orang Jawa juga, berkumpul di sumur saat mengambil air, dijadikan sarana untuk bertemu, berbincang, mengakrabkan diri sekaligus membicarakan hal-hal keseharian yang terjadi di sekitar mereka (bahasannya bisa beragam dari hal sehari-hari, pendidikan, sosial, sampai soal politik).
Saat ini, kalau ke desa, saya masih banyak menemumukan sumur-sumur yang terlihat di jalanan. Meskipun sebagian sudah diberikan dinding penutup setinggi 1,5 meter untuk sekedar tidak terlalu mencolok terlihat di jalanan.
Seiring dengan perkembangan jaman, orang yang tinggal di desa dan membangun rumah baru, sudah hampir tidak terlihat sumur di halaman/pekarangan rumah mereka. Kebanyakan sudah meletakkan sumur di dalam rumah/belakang rumah, yang intinya agar tidak terlihat dari jalan/luar. Seperti yang saya tanyakan kepada mereka, alasannya adalah sumur untuk kegiatan yang bersifat pribadi, sehingga kalau tampak dari luar apalagi jalanan ya malu. Oleh karena itu mereka meletakkan sumur di tempat yang tidak terlihat orang luar.
_Solo, 25 September 2015_
Kabut Asap Masih Tebal di Palembang
Pagi sudah menyapa, meninggalkan malam,
semilir angin menerobos di sela-sela dinding kayu. Suara ayam berkotek
dan gonggongan anjing membuat riuh pagi di desa Rambai. Saya tidak lagi
menarik selimut tebal yang beberapa malam mampu menghangatkan badan dari
dinginnya malam.
Jendela kayu berderak saat di buka. Beratnya kayu membuat kaca jendela bersuara kala terbuka. Gelap, itulah kesan pertama saya. Saat saya melihat jam sudah pukul 05.30, saya cukup terkejut. Sudah pagi, tetapi hari masih cukup gelap.
Saat saya keluar dan melihat ke atas, ternyata kabut asap menyelimuti desa Rambai. Ya, pagi itu seperti beberapa hari sebelumnya, Palembang masih pekat dengan kabut asapnya.
Saya sudah tiga hari berada di desa Rambai, kecamatan Pangkalan Lampam, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Sejak menginjakkan kaki di Palembang, Minggu (16/9/2015), kabut masih terlihat cukup pekat. Ternyata sampai hari Rabu, saya masih melihat kabut , bahkan saya lihat lebih pekat.
Selama di desa Ramabai, saat siangpun matahari seperti enggan menampakkan diri, tertutup kabut asap. Udara terasa panas, tetapi terlihat mendung.
Kemarin siang, kami menunggu kelengkapan warga peserta Sekolah Desa untuk hadir sambil berbincang dengan ibu-ibu.
“Ya, halo, maaf Mas, nggak biso gabung. Masih nunggu api di ladang,” terdengar suara warga di telepon teman saya.
Beberapa warga yang mestinya mengikuti acara Sekolah Desa, terpaksa terlambat datang bahkan ada yang tidak bisa hadir karena siaga, menunggu ladang gambut dan sebgaian lagi memadamkan api di ladang mereka.
Sejak Selasa (15/9/2015) di wilayah Kabupaten OKI terjadi kebakaran lahan. Tidak ada yang tahu persis penyebabnya, di duga kuat karena sejak Senin panas menyengat. Hal itu menyebabkan kebakaran lahan gambut lebih mudah.
Menurut informasi yang beredar, titik panas yang tersebar di Palembang paling banyak terdeteksi di Kabupaten OKI dan Musi Banyuasin. Tak tanggung-tanggung, dari 50 titik panas menjadi 100 titik panas.
Saya sendiri yang berada di lokasi tak jauh dari titik api (menurut warga, titik api juga berada di lahan warga Desa Rambai) merasakan kabut asap yang tebal dan bau asapnya. Entah karena tidak terbiasa, mata juga merasa pedih meskipun saya tidak sempat batuk-batuk.
Yang jelas, kabut asap hari ini, Rabu (16/9/2015) menyebabkan sejumlah penerbangan di Palembang delay. Anak-anak sekolah di sejumlah tempat diliburkan.
Sampai sore hari, sejumlah warga selalu waspada dan bergantian menunggu lahan untuk memadamkan api dan memastikan api tidak menyebar ke mana-mana. Kewaspadaan selalu dijaga karena api dalam lahan gambut tidak mudah padam. Meskipun api kelihatan padam(dipermukaan) tetapi api di dalam masih tetap berkobar. Hal inilah yang membuat titik api seringkali cepat meluas dan tidak terdeteksi.
Warga tanpa lelah terus bersatupadu untuk menjaga api tidak bertamabah besar sehingga kabut asap tidak semakin banyak. Ratusan anggota Brimob datang ke Palembang untuk membantu memadamkan api.
_Palembang, 16 September 2015_
Jendela kayu berderak saat di buka. Beratnya kayu membuat kaca jendela bersuara kala terbuka. Gelap, itulah kesan pertama saya. Saat saya melihat jam sudah pukul 05.30, saya cukup terkejut. Sudah pagi, tetapi hari masih cukup gelap.
Saat saya keluar dan melihat ke atas, ternyata kabut asap menyelimuti desa Rambai. Ya, pagi itu seperti beberapa hari sebelumnya, Palembang masih pekat dengan kabut asapnya.
Saya sudah tiga hari berada di desa Rambai, kecamatan Pangkalan Lampam, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Sejak menginjakkan kaki di Palembang, Minggu (16/9/2015), kabut masih terlihat cukup pekat. Ternyata sampai hari Rabu, saya masih melihat kabut , bahkan saya lihat lebih pekat.
Selama di desa Ramabai, saat siangpun matahari seperti enggan menampakkan diri, tertutup kabut asap. Udara terasa panas, tetapi terlihat mendung.
Kemarin siang, kami menunggu kelengkapan warga peserta Sekolah Desa untuk hadir sambil berbincang dengan ibu-ibu.
“Ya, halo, maaf Mas, nggak biso gabung. Masih nunggu api di ladang,” terdengar suara warga di telepon teman saya.
Beberapa warga yang mestinya mengikuti acara Sekolah Desa, terpaksa terlambat datang bahkan ada yang tidak bisa hadir karena siaga, menunggu ladang gambut dan sebgaian lagi memadamkan api di ladang mereka.
Sejak Selasa (15/9/2015) di wilayah Kabupaten OKI terjadi kebakaran lahan. Tidak ada yang tahu persis penyebabnya, di duga kuat karena sejak Senin panas menyengat. Hal itu menyebabkan kebakaran lahan gambut lebih mudah.
Menurut informasi yang beredar, titik panas yang tersebar di Palembang paling banyak terdeteksi di Kabupaten OKI dan Musi Banyuasin. Tak tanggung-tanggung, dari 50 titik panas menjadi 100 titik panas.
Saya sendiri yang berada di lokasi tak jauh dari titik api (menurut warga, titik api juga berada di lahan warga Desa Rambai) merasakan kabut asap yang tebal dan bau asapnya. Entah karena tidak terbiasa, mata juga merasa pedih meskipun saya tidak sempat batuk-batuk.
Yang jelas, kabut asap hari ini, Rabu (16/9/2015) menyebabkan sejumlah penerbangan di Palembang delay. Anak-anak sekolah di sejumlah tempat diliburkan.
Sampai sore hari, sejumlah warga selalu waspada dan bergantian menunggu lahan untuk memadamkan api dan memastikan api tidak menyebar ke mana-mana. Kewaspadaan selalu dijaga karena api dalam lahan gambut tidak mudah padam. Meskipun api kelihatan padam(dipermukaan) tetapi api di dalam masih tetap berkobar. Hal inilah yang membuat titik api seringkali cepat meluas dan tidak terdeteksi.
Warga tanpa lelah terus bersatupadu untuk menjaga api tidak bertamabah besar sehingga kabut asap tidak semakin banyak. Ratusan anggota Brimob datang ke Palembang untuk membantu memadamkan api.
_Palembang, 16 September 2015_
Sabtu, 17 Oktober 2015
Nikmatnya Beragam Kuliner Palembang
Meskipun jauh berkurang dari beberapa hari yang lalu, kabut asap
masih menyelimuti Palembang. Menurut teman-teman saya, beberapa hari
yang lalu, biasanya saat lepas ashar menjelang petang, asap mulai turun
dan menyelimuti kota. Bahkan jarak pandang tidak sampai 50 meter.
Hari ini sudah mendingan, masih kata teman saya. Karena sejak selepas ashar masih menikmati ramainya kota Palembang dalam jarak beberapa ratus meter.
saat malam turun, asap mulai terlihal tebal
Sejak pukul 11.00, pesawat GA yang membawa saya dari Jakarta ke Palembang mendarat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, hawa panas menyengat kulit saya rasakan. Sebenarnya panas matahari tidak terlalu terik, tetapi udara terasa sekali panasnya, gerah. Dan yang lebih terasa adalah bau asap yang khas. Menyengat. Saat siang asap hanya tipis, tetapi tetap kelihatan kalau asapnya masih ada.
Bukan pertama kali saya ke Palembang untuk urusan pekerjaan. Saya pernah ke sini beberapa tahun yang lalu. Beruntung bisa bekerja sekaligus plesiran, rekreasi melihat salah satu bagian dari negeri tercinta ini.
Seperti biasanya, karena kerjaan masih esok hari, saya dan teman-teman dari Palembang menikmati kuliner khas Palembang. Saat di tanya mau makan apa, ya saya jawab empek-empek. Habis mau bilang apa, khan yang saya tahu makanan khas Palembang itu ya empek-empek.
Singkat kata, kami diajak berhenti di rumah makan empek-empek yang kata teman saya terkenal di Palembang karena enak. Sebelum hidangan yang kami pesan datang, saya membatin, mungkin benar ya, karena saya lihat ada fotonya pak SBY saat makan di RM Pak Raden yang terletak di tengah kota.
Ehm ternyata benar yang dipromosikan teman saya. HIdangan di RM tersebut memang enak . Beragam makanan dan minuman khas Palembang dihidangkan.
empek-empek kapal selam, dicocol dengan cuko lebih nikmat
Empek-empek
Yang pertama jelas empek-empek. Meskipun di Solo juga beberapa kali bersantap empek-empek, tetapi di Palembang rasanya lebih mantap. Rasa ikan gilingnya terasa pas. Terbuat dari campuran tepung sagu, ikan Belinda yang diambil dari sungai Musi, air dan sedikit garam. Cara makannya juga lebih mantap dengan di cocol. Kalau setahu saya kan di dipotong-potong dan di santap biasa. Tetapi dengan di cocolkan di kuah cuka hitam atau disebut cuko sensasinya beda. Cuko ini berbahan dasar gula merah, cabe , udang kering. Nah setelah empek-empeknya habis di cocol, baru mie basah, ketimunnya di makan biasa setelah dicampur dengan cuko. Beberapa empek-empek yang ditawarkan seperti lenggang, adaan, panggang dan kapal selam membuat lidah bergoyang
otak-otak bakar yang di bungkus daun pisang
Otak-otak
Kalau saya biasa melihat otak-otak yang sudah jadi di packing dengan plastik, tetapi di sini kita bisa menyantap otak-otak yang baru dipanggang masih dengan balutan daun pisang. Bau daun pisangnya membuat rasa otak-otak lebih lezat. Bahan yang digunakan adalah ikan tenggiri, santan, telur dengan campuran bumbu ketumbar, garam, merica, bawang merah, daun bawang, tepung beras dan tepung sagu
burgo, sekilas mirip lontong sayur di Jawa
Burgo
Makanan yang satu ini baru saya tahu. Burgo sekilas seperti lontong sayur, tetapi ternyata bukan. Terbuat dari daging ikan, biasanya dari ikan gabus, santan, dengan bumbu serai, daun salam,garam, bawang merah, bawang putih, kemiri, jahe,kunyit dan lengkuas.
meskipun namanya ikan asin tetapi sama sekali tidak asin, kriuk-kriuk mirip rempeyek
Ikan asin
Dihidangkan sebagai pelengkap dari makanan utama. Meskipun ikan asin tetapi tidak terlalu asin, dan yang pasti kriyuk-kriyuk, sebagai penganti krupuk.
campuran ayam dan wortel, tomat, daun bawang serta seledri dengan merica dan bawang putih
Sop Ayam
Meskipun seperti sop ayam pada umumnya tetapi rasa sop ayam dari Palembang lain lho. Bumbu kaldunya lebih berasa mantap dengan campuran kaldu ayam asli dan merica serta bawang putih yang saya rasa banyak sekali. Cocok untuk disantap saat dari bepergian jauh dan terkena gejala masuk angin. Kuah panasnya bisa meringankan gejala masuk angin tersebut.
srikoyo rasanya lengit dan baunya harum
Srikaya atau Srikoyo
Oya, sebelum makanan disajikan, kami terlebih dahulu ditawarkan kue Srikaya. Ada dua macam varian, kue srikaya rasa santan dan rasa durian. Wah, manis, lengit dan enak sekali, cocok untuk makanan penutup. Tapi saya sudah incip-incip sebelum makanan utama, hehe. Kue srikaya terbuat dari santan, yang dicampur telur dan daun pandan atau durian.
es kacang merah segar
Es Kacang Merah
Satu lagi pilihan enak untuk minuman, yaitu es kacang merah. Berbahan dasar kacang merah rebus yang ditambahkan sirup gula, irisan nangka, dicampur susu kental manis dan cincau serta di campur dengan susu coklat. Ehm, manis dan segar rasanya. Disantap saat panas, cocok sekali.
foto. dok pribadi
Palembang, 13 September 2015
Hari ini sudah mendingan, masih kata teman saya. Karena sejak selepas ashar masih menikmati ramainya kota Palembang dalam jarak beberapa ratus meter.
saat malam turun, asap mulai terlihal tebal
Sejak pukul 11.00, pesawat GA yang membawa saya dari Jakarta ke Palembang mendarat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, hawa panas menyengat kulit saya rasakan. Sebenarnya panas matahari tidak terlalu terik, tetapi udara terasa sekali panasnya, gerah. Dan yang lebih terasa adalah bau asap yang khas. Menyengat. Saat siang asap hanya tipis, tetapi tetap kelihatan kalau asapnya masih ada.
Bukan pertama kali saya ke Palembang untuk urusan pekerjaan. Saya pernah ke sini beberapa tahun yang lalu. Beruntung bisa bekerja sekaligus plesiran, rekreasi melihat salah satu bagian dari negeri tercinta ini.
Seperti biasanya, karena kerjaan masih esok hari, saya dan teman-teman dari Palembang menikmati kuliner khas Palembang. Saat di tanya mau makan apa, ya saya jawab empek-empek. Habis mau bilang apa, khan yang saya tahu makanan khas Palembang itu ya empek-empek.
Singkat kata, kami diajak berhenti di rumah makan empek-empek yang kata teman saya terkenal di Palembang karena enak. Sebelum hidangan yang kami pesan datang, saya membatin, mungkin benar ya, karena saya lihat ada fotonya pak SBY saat makan di RM Pak Raden yang terletak di tengah kota.
Ehm ternyata benar yang dipromosikan teman saya. HIdangan di RM tersebut memang enak . Beragam makanan dan minuman khas Palembang dihidangkan.
empek-empek kapal selam, dicocol dengan cuko lebih nikmat
Empek-empek
Yang pertama jelas empek-empek. Meskipun di Solo juga beberapa kali bersantap empek-empek, tetapi di Palembang rasanya lebih mantap. Rasa ikan gilingnya terasa pas. Terbuat dari campuran tepung sagu, ikan Belinda yang diambil dari sungai Musi, air dan sedikit garam. Cara makannya juga lebih mantap dengan di cocol. Kalau setahu saya kan di dipotong-potong dan di santap biasa. Tetapi dengan di cocolkan di kuah cuka hitam atau disebut cuko sensasinya beda. Cuko ini berbahan dasar gula merah, cabe , udang kering. Nah setelah empek-empeknya habis di cocol, baru mie basah, ketimunnya di makan biasa setelah dicampur dengan cuko. Beberapa empek-empek yang ditawarkan seperti lenggang, adaan, panggang dan kapal selam membuat lidah bergoyang
otak-otak bakar yang di bungkus daun pisang
Otak-otak
Kalau saya biasa melihat otak-otak yang sudah jadi di packing dengan plastik, tetapi di sini kita bisa menyantap otak-otak yang baru dipanggang masih dengan balutan daun pisang. Bau daun pisangnya membuat rasa otak-otak lebih lezat. Bahan yang digunakan adalah ikan tenggiri, santan, telur dengan campuran bumbu ketumbar, garam, merica, bawang merah, daun bawang, tepung beras dan tepung sagu
burgo, sekilas mirip lontong sayur di Jawa
Burgo
Makanan yang satu ini baru saya tahu. Burgo sekilas seperti lontong sayur, tetapi ternyata bukan. Terbuat dari daging ikan, biasanya dari ikan gabus, santan, dengan bumbu serai, daun salam,garam, bawang merah, bawang putih, kemiri, jahe,kunyit dan lengkuas.
meskipun namanya ikan asin tetapi sama sekali tidak asin, kriuk-kriuk mirip rempeyek
Ikan asin
Dihidangkan sebagai pelengkap dari makanan utama. Meskipun ikan asin tetapi tidak terlalu asin, dan yang pasti kriyuk-kriyuk, sebagai penganti krupuk.
campuran ayam dan wortel, tomat, daun bawang serta seledri dengan merica dan bawang putih
Sop Ayam
Meskipun seperti sop ayam pada umumnya tetapi rasa sop ayam dari Palembang lain lho. Bumbu kaldunya lebih berasa mantap dengan campuran kaldu ayam asli dan merica serta bawang putih yang saya rasa banyak sekali. Cocok untuk disantap saat dari bepergian jauh dan terkena gejala masuk angin. Kuah panasnya bisa meringankan gejala masuk angin tersebut.
srikoyo rasanya lengit dan baunya harum
Srikaya atau Srikoyo
Oya, sebelum makanan disajikan, kami terlebih dahulu ditawarkan kue Srikaya. Ada dua macam varian, kue srikaya rasa santan dan rasa durian. Wah, manis, lengit dan enak sekali, cocok untuk makanan penutup. Tapi saya sudah incip-incip sebelum makanan utama, hehe. Kue srikaya terbuat dari santan, yang dicampur telur dan daun pandan atau durian.
es kacang merah segar
Es Kacang Merah
Satu lagi pilihan enak untuk minuman, yaitu es kacang merah. Berbahan dasar kacang merah rebus yang ditambahkan sirup gula, irisan nangka, dicampur susu kental manis dan cincau serta di campur dengan susu coklat. Ehm, manis dan segar rasanya. Disantap saat panas, cocok sekali.
foto. dok pribadi
Palembang, 13 September 2015
TPA Putri Cempo diselimuti Asap, Warga Khawatir
Urusan
kabut asap tidak hanya menimpa warga di wilayah Sumatera dan Kalimantan
saja, Solo juga mengalami hal yang sama meskipun asapnya bukan berasal
dari kebakaran hutan.
Sejak Minggu (6/9/2015) warga yang tinggal di sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo, Mojosongo, Solo waspada dan diliputi kekhawatiran lantaran asap tebal membumbung tinggi. Asap berasal dari kebakaran lahan TPA Putri Cempo yang terjadi sejak Jumat (4/9/2015). Tak kurang dari 5 hektare lahan di TPA terbakar akibat dari terbakarnya sampah yang tertimbun di areal TPA.
Sampah terbakar di lokasi TPA Putri Cempo sebenarnya sudah sering terjadi saat musim kemarau seperti saat ini. Tidak ada yang tahu pasti penyebabnya, bisa berbagai hal seperti kebakaran karena puntung rokok yang tidak sengaja dibuang atau karena reaksi kimia.
Celakanya tidak hanya warga Solo yang berdiam di sekitar TPA Putri Cempo, yaitu warga di Jatirejo dan Randusari, juga kampung terdekat lainnya tetapi juga warga di Kabupaten tetangga yaitu Kabupaten Karanganyar juga terkena dampak asap kebakaran sampah tersebut. Setidaknya warga dari empat dusun yaitu Dusun Jengglong, Tunggulrejo, Suluhrejo dan Inggasrejo Desa Plesungan Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar terpaksa menghirup asap sampah tersebut.
Antara TPA Putri Cempo dengan dusun tetangga (Kabupatan Karanganyar) hanya dipisahkan dengan sungai kecil dengan jembatan kecil.
TPA Putri Cempo, dari tahun 2011 perharinya menampung sekitar 300 ton sampah dan akan bertambah saat ada event yang digelar di Kota Solo. Paling tidak sejak 4 tahun terakhir ini Pemkot Solo sering melakukan event khusus setidaknya setahun ada lebih dari 10 event yang bertaraf lokal, nasional bahkan intrenasional yang menyedot penonton dari berbagai wilayah sehingga produksi sampah semakin berlipat ganda.
Celakanya, sampah yang terus meningkat tidak di ikuti dengan pengelolaan sampah di kota Solo. Karena Pemkot Solo dalam penanganan sampah masih menggunakan cara yang konvensional yakni sistem pembuangan terbuka atau open dumping dimana sampah dibuang ke tanah yang sudah di gali setelah itu sampah ditutup tanah lagi. Cara tersebut terbukti tidak efektif karena areal yang digunakan untuk menampung sampah suatu saat akan mengalami keterbatasan daya tampung atau overload.
Saya sendiri tahu persis, karena selama beberapa bulan melakukan penelitian di TPA Putri Cempo, banyak tumpukan sampah yang bau karena air lindinya merembes kemana-mana. Bahkan sampai di jalanan depan rumah warga dan sering menghalangi jalan masuk ke rumah warga sekitar.
Meskipun sejak setahun terakhir berbagai upaya sudah dilakukan,seperti melakukan kajian dengan melibatkan Bappenas untuk pengelolaan sampah yang lebih efektif tetapi toh sampai sekarang belum ada titik terangnya. Masih saja sampah di buang secara konvensional.
Menurut warga sekitar TPA Putri Cempo, api tidak akan mudah dipadamakan karena banyak tumpukan sampah di berbagai tempat. Jadi titik-titik api kecil masih bisa ditemukan di lokasi TPA. Biasanya api akan padam sekitar satu bulan sejak terbakar.Ya, mereka hafal karena sudah terbiasa dengan kebakaran sampah tersebut.
Memang sampai saat ini warga belum terserang ISPA, penyakit yang dikhawatirkan menyerang warga saat sampah terbakar, tetapi rasa was-was terus menghantui mereka. Untuk itu, sebagian anak balita sudah mulai diungsikan untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.
Berita baiknya, Puskesmas setempat selalu siaga sejak asap pekat menyelimuti TPA tersebut. Selain itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Solo juga terus berupaya memadamkan api yang membakar sampah di TPA Putri Cempo. Meskipun titik-titik api susah dipadamkan karena berada di bagian bawah gunungan sampah, tetapi BPBD terus berupaya.
Semoga segera bisa dipadamkan secara total dan warga setempat selalu diberikan kesehatan, amin.
Foto. dok. pribadi
_Solo, 11 September 2015_
Sejak Minggu (6/9/2015) warga yang tinggal di sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo, Mojosongo, Solo waspada dan diliputi kekhawatiran lantaran asap tebal membumbung tinggi. Asap berasal dari kebakaran lahan TPA Putri Cempo yang terjadi sejak Jumat (4/9/2015). Tak kurang dari 5 hektare lahan di TPA terbakar akibat dari terbakarnya sampah yang tertimbun di areal TPA.
Sampah terbakar di lokasi TPA Putri Cempo sebenarnya sudah sering terjadi saat musim kemarau seperti saat ini. Tidak ada yang tahu pasti penyebabnya, bisa berbagai hal seperti kebakaran karena puntung rokok yang tidak sengaja dibuang atau karena reaksi kimia.
Celakanya tidak hanya warga Solo yang berdiam di sekitar TPA Putri Cempo, yaitu warga di Jatirejo dan Randusari, juga kampung terdekat lainnya tetapi juga warga di Kabupaten tetangga yaitu Kabupaten Karanganyar juga terkena dampak asap kebakaran sampah tersebut. Setidaknya warga dari empat dusun yaitu Dusun Jengglong, Tunggulrejo, Suluhrejo dan Inggasrejo Desa Plesungan Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar terpaksa menghirup asap sampah tersebut.
Antara TPA Putri Cempo dengan dusun tetangga (Kabupatan Karanganyar) hanya dipisahkan dengan sungai kecil dengan jembatan kecil.
TPA Putri Cempo, dari tahun 2011 perharinya menampung sekitar 300 ton sampah dan akan bertambah saat ada event yang digelar di Kota Solo. Paling tidak sejak 4 tahun terakhir ini Pemkot Solo sering melakukan event khusus setidaknya setahun ada lebih dari 10 event yang bertaraf lokal, nasional bahkan intrenasional yang menyedot penonton dari berbagai wilayah sehingga produksi sampah semakin berlipat ganda.
Celakanya, sampah yang terus meningkat tidak di ikuti dengan pengelolaan sampah di kota Solo. Karena Pemkot Solo dalam penanganan sampah masih menggunakan cara yang konvensional yakni sistem pembuangan terbuka atau open dumping dimana sampah dibuang ke tanah yang sudah di gali setelah itu sampah ditutup tanah lagi. Cara tersebut terbukti tidak efektif karena areal yang digunakan untuk menampung sampah suatu saat akan mengalami keterbatasan daya tampung atau overload.
Saya sendiri tahu persis, karena selama beberapa bulan melakukan penelitian di TPA Putri Cempo, banyak tumpukan sampah yang bau karena air lindinya merembes kemana-mana. Bahkan sampai di jalanan depan rumah warga dan sering menghalangi jalan masuk ke rumah warga sekitar.
Meskipun sejak setahun terakhir berbagai upaya sudah dilakukan,seperti melakukan kajian dengan melibatkan Bappenas untuk pengelolaan sampah yang lebih efektif tetapi toh sampai sekarang belum ada titik terangnya. Masih saja sampah di buang secara konvensional.
Menurut warga sekitar TPA Putri Cempo, api tidak akan mudah dipadamakan karena banyak tumpukan sampah di berbagai tempat. Jadi titik-titik api kecil masih bisa ditemukan di lokasi TPA. Biasanya api akan padam sekitar satu bulan sejak terbakar.Ya, mereka hafal karena sudah terbiasa dengan kebakaran sampah tersebut.
Memang sampai saat ini warga belum terserang ISPA, penyakit yang dikhawatirkan menyerang warga saat sampah terbakar, tetapi rasa was-was terus menghantui mereka. Untuk itu, sebagian anak balita sudah mulai diungsikan untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.
Berita baiknya, Puskesmas setempat selalu siaga sejak asap pekat menyelimuti TPA tersebut. Selain itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Solo juga terus berupaya memadamkan api yang membakar sampah di TPA Putri Cempo. Meskipun titik-titik api susah dipadamkan karena berada di bagian bawah gunungan sampah, tetapi BPBD terus berupaya.
Semoga segera bisa dipadamkan secara total dan warga setempat selalu diberikan kesehatan, amin.
Foto. dok. pribadi
_Solo, 11 September 2015_
Tujuh Pemain Timnas U-23 Masuk TNI AD
Liga sepakbola di Indonesia beberapa waktu lalu berhenti setelah
terjadi gonjang-ganjing yang menyebabkan pembekuan Persatuan Sepak Bola
Seluruh Indonesia (PSSI) oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga
(Kemenpora).
Sejak saat itulah, banyak para pemain bola yang terpaksa banting stir, mencari cara untuk tetap bertahan hidup. Sebagian memilih tetap di jalur sepakbola dengan mengambil job yang jarang diambil oleh pemain kelas nasional dan klub besar, yaitu bermain di sepakbola tarkam ( antar kampung). Bermain sepakbola tarkam ini, tidak diminati pemain klub besar tetapi banyak di lakukan oleh pemain klub-klub kecil di saat mereka tidak ada kontrak, atau gaji dari klub terlambat. Ini terjadi di klub di kota saya, bahkan ada tetangga di perumahan yang menjadi pemainnya dan sesekali terpaksa mengambil ajakan sepakbola antar kampung.
Bukan rahasia umum kalau banyak pemain terpaksa dan tidak ada pilihan lain (mengambil job tersebut) karena keluarga mereka tetap membutuhkan hasil dari kerja keras mereka, sementara klub terlambat membayar gaji. Bagi yang mempunyai usaha sambilan seperti kost-kostan, rumah makan , toko olahraga dll mungkin masih bernafas lega. Tetapi bagi yang tidak ada usaha sambilan ya terpaksa harus memutar otak lebih keras .
Bahkan dalam tayangan sebuah infotaiment televisi swasta, ada pemain naturalisasi yang terpaksa sekarang beralih stir menerima tawaran bermain sinetron dan bintang iklan karena menganggur dari dunia sepakbola.
Berbeda-beda cara mereka untuk terus bertahan , pilihan ada di tangan mereka.
Yang beda dari biasanya, sejumlah pemain sepakbola memilih untuk mendaftar sebagai bintara TNI AD. Bermacam alasan seperti karena panggilan hati, karena sepakbola Indonesia tidak ada kejelasan, dll. Ada 12 orang pemain sepakbola, 7 diantaranya lolos alias diterima menjadi calon bintara melalui jalur khusus. Mereka adalah anggota timnas U-23.
Mereka mengikuti tes masuk melalui program calon bintara (Caba) Unggulan, yang merupakan jalur khusus bagi orang-orang yang berprestasi atau di bidang profesi tertentu. Tetapi meraka tetap melalui tahap seleksi .
Kabar gembiranya, meskipun program tersebut dilaksanakan setiap tahun tetapi baru tahun ini ada penerimaan pemain bola. Smoga tahun berikutnya terbuka peluang jalur khusus untuk pemaian sepakbola dan cabang olahraga lainnya.
Berikut daftar keduabelas para pemain sepakbola yang lolos seleksi calon bintara TNI AD
1. Ravi Murdianto (Mitra Kukar/ Timnas U-23)
2. Abduh Lestaluhu (Persija/Timnas U-23)
3. Manahati Lestusen (Barito Putra/Timnas U-23)
4. Teguh Amirudin (Barito Putra/Timnas U-23)
5. Safri Al Irfandi (Semen Padang/Timnas U-23)
6. Ahmad Nufiandani (Arema/Timnas U-23)
7. Wawan Febiyanto (PBR/ Timnas U-23)
8. Muhammad Dimas Drajat (Persegres U-21/ Timnas U-19)
9. Muhammad Arsyad (PBR ISL)
10. Imam Bagus Kurnia (PON Jatim)
11. Iman Fathurahman (PBR ISL)
12. Angga Saputra (Persekabpas/PON Jatim)
_Solo, 9 September 2015_
Sejak saat itulah, banyak para pemain bola yang terpaksa banting stir, mencari cara untuk tetap bertahan hidup. Sebagian memilih tetap di jalur sepakbola dengan mengambil job yang jarang diambil oleh pemain kelas nasional dan klub besar, yaitu bermain di sepakbola tarkam ( antar kampung). Bermain sepakbola tarkam ini, tidak diminati pemain klub besar tetapi banyak di lakukan oleh pemain klub-klub kecil di saat mereka tidak ada kontrak, atau gaji dari klub terlambat. Ini terjadi di klub di kota saya, bahkan ada tetangga di perumahan yang menjadi pemainnya dan sesekali terpaksa mengambil ajakan sepakbola antar kampung.
Bukan rahasia umum kalau banyak pemain terpaksa dan tidak ada pilihan lain (mengambil job tersebut) karena keluarga mereka tetap membutuhkan hasil dari kerja keras mereka, sementara klub terlambat membayar gaji. Bagi yang mempunyai usaha sambilan seperti kost-kostan, rumah makan , toko olahraga dll mungkin masih bernafas lega. Tetapi bagi yang tidak ada usaha sambilan ya terpaksa harus memutar otak lebih keras .
Bahkan dalam tayangan sebuah infotaiment televisi swasta, ada pemain naturalisasi yang terpaksa sekarang beralih stir menerima tawaran bermain sinetron dan bintang iklan karena menganggur dari dunia sepakbola.
Berbeda-beda cara mereka untuk terus bertahan , pilihan ada di tangan mereka.
Yang beda dari biasanya, sejumlah pemain sepakbola memilih untuk mendaftar sebagai bintara TNI AD. Bermacam alasan seperti karena panggilan hati, karena sepakbola Indonesia tidak ada kejelasan, dll. Ada 12 orang pemain sepakbola, 7 diantaranya lolos alias diterima menjadi calon bintara melalui jalur khusus. Mereka adalah anggota timnas U-23.
Mereka mengikuti tes masuk melalui program calon bintara (Caba) Unggulan, yang merupakan jalur khusus bagi orang-orang yang berprestasi atau di bidang profesi tertentu. Tetapi meraka tetap melalui tahap seleksi .
Kabar gembiranya, meskipun program tersebut dilaksanakan setiap tahun tetapi baru tahun ini ada penerimaan pemain bola. Smoga tahun berikutnya terbuka peluang jalur khusus untuk pemaian sepakbola dan cabang olahraga lainnya.
Berikut daftar keduabelas para pemain sepakbola yang lolos seleksi calon bintara TNI AD
1. Ravi Murdianto (Mitra Kukar/ Timnas U-23)
2. Abduh Lestaluhu (Persija/Timnas U-23)
3. Manahati Lestusen (Barito Putra/Timnas U-23)
4. Teguh Amirudin (Barito Putra/Timnas U-23)
5. Safri Al Irfandi (Semen Padang/Timnas U-23)
6. Ahmad Nufiandani (Arema/Timnas U-23)
7. Wawan Febiyanto (PBR/ Timnas U-23)
8. Muhammad Dimas Drajat (Persegres U-21/ Timnas U-19)
9. Muhammad Arsyad (PBR ISL)
10. Imam Bagus Kurnia (PON Jatim)
11. Iman Fathurahman (PBR ISL)
12. Angga Saputra (Persekabpas/PON Jatim)
_Solo, 9 September 2015_
Matoa, Si Lonjong dari Papua dengan Beragam Manfaat
Lonjong, berkulit kasar, bentuknya tidak terlalu besar dengan warna
hijau selagi masih muda dan saat matang akan berwarna kuning merah
kehitaman. Sekilas seperti buah langsa dari Maluku atau pijetan kalau
orang Jawa menyebutnya, tetapi setelah diperhatikan bentuknya lain.
Soal rasa, ehm, manis. Rasanya seperti campuran antara kelengkeng dan rambutan yang segar dan enak. Daging buahnya juga hampir sama , putih, dengan isinya hitam.
Buah Matoa, buah khas dari Papua tetapi sudah banyak ditemukan di mana-mana. Aslinya pohon Matoa ini tingginya rata-rata sampai 18 meteran, dengan diameter yang cukup besar, mencapai hampir satu meter.
Saat ditanam di Jawa, buah Matoa bisa hidup dan terus berbuah meskipun baru mencapai tak lebih dari sepuluh meter. Di kampung sekitar perumahan saya, rata-rata pohon matoa setinggi 10 meter sudah berbuah lebat dengan dahan-dahannya yang menyebar di seantero pohon. Bahkan di sebelah rumah saya, tak lebih dari 5 meter sudah berbuah dan tak kalah manisnya dengan buah matoa lainnya.
Di balik rasa manisnya itu, ternyata buah matoa mengandung banyak manfaat. Kaya dengan vitamin C dan E, buah ini baik untuk kesehatan tubuh. Kandungan vitamin C bisa bermanfaat sebagai antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas yang mampu menyerang sistim kekebalan tubuh manusia. Selain itu, sebagaimana vitamin C yang terkandung di buah lainnya, buah matoa juga mampu meningkatkan daya tahan tubuh sehingga lebih tahan terhadap serangan berbagai macam penyakit.
Sementara untuk vitamin E yang ada di dalam buah matoa, dapat membantu meringankan stress, meningkatkan kesburuan, meminimalkan resiko terserang kanker dan jantung koroner, juga dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Jangan lupa manfaat vitamin E lainnya untk menjaga kesehatan kulit dan kelembaban kulit. Apalagi saat musim kemarau seperti saat ini, kelembaban kulit terasa berkurang karena panas yang menyengat.
Selain bermanfaat dari sisi kesehatan, buah matoa juga mampu membantu memberikan tambahan pemasukan buat keluarga. Betapa tidak, tetangga kampung saya memiliki 5 pohon matoa, sekali panen dengan harga satu kilogramnya mencapai Rp 40.000,00 dan hasil sekali panen bisa mencapai 50-100 kilogram, pemiliknya bisa tersenyum lebar. Karena pohon ini tidak butuh perawatan ekstra, didiamkan saja akan tumbuh besar dan saatnya nanti berbuah.
Harga jualnya jauh lebih bagus dibandingkan harga jual buah yang rasanya mirip seperti kelengkeng, langsa atau rambutan. Matoa memimpin ketiganya dari sisi harga.
Saat ini masa panen buah matoa, kita bisa mendapatkannya di pasar, meskipun tidak semua pasar ada. Tetapi ya mesti merogok kocek yang lebih tinggi. Oya, jangan terlalu banyak mengkonsumsinya karena buah matoa ini banyak sekali mengandung glukosa jenuh. Jadi makan terlalu banyak bisa menyebabkan teler alias mabuk. Secukupnya saja ya.***
_Solo, 9 September 2015_
foto. dok pribadi
Soal rasa, ehm, manis. Rasanya seperti campuran antara kelengkeng dan rambutan yang segar dan enak. Daging buahnya juga hampir sama , putih, dengan isinya hitam.
Buah Matoa, buah khas dari Papua tetapi sudah banyak ditemukan di mana-mana. Aslinya pohon Matoa ini tingginya rata-rata sampai 18 meteran, dengan diameter yang cukup besar, mencapai hampir satu meter.
Saat ditanam di Jawa, buah Matoa bisa hidup dan terus berbuah meskipun baru mencapai tak lebih dari sepuluh meter. Di kampung sekitar perumahan saya, rata-rata pohon matoa setinggi 10 meter sudah berbuah lebat dengan dahan-dahannya yang menyebar di seantero pohon. Bahkan di sebelah rumah saya, tak lebih dari 5 meter sudah berbuah dan tak kalah manisnya dengan buah matoa lainnya.
Di balik rasa manisnya itu, ternyata buah matoa mengandung banyak manfaat. Kaya dengan vitamin C dan E, buah ini baik untuk kesehatan tubuh. Kandungan vitamin C bisa bermanfaat sebagai antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas yang mampu menyerang sistim kekebalan tubuh manusia. Selain itu, sebagaimana vitamin C yang terkandung di buah lainnya, buah matoa juga mampu meningkatkan daya tahan tubuh sehingga lebih tahan terhadap serangan berbagai macam penyakit.
Sementara untuk vitamin E yang ada di dalam buah matoa, dapat membantu meringankan stress, meningkatkan kesburuan, meminimalkan resiko terserang kanker dan jantung koroner, juga dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Jangan lupa manfaat vitamin E lainnya untk menjaga kesehatan kulit dan kelembaban kulit. Apalagi saat musim kemarau seperti saat ini, kelembaban kulit terasa berkurang karena panas yang menyengat.
Selain bermanfaat dari sisi kesehatan, buah matoa juga mampu membantu memberikan tambahan pemasukan buat keluarga. Betapa tidak, tetangga kampung saya memiliki 5 pohon matoa, sekali panen dengan harga satu kilogramnya mencapai Rp 40.000,00 dan hasil sekali panen bisa mencapai 50-100 kilogram, pemiliknya bisa tersenyum lebar. Karena pohon ini tidak butuh perawatan ekstra, didiamkan saja akan tumbuh besar dan saatnya nanti berbuah.
Harga jualnya jauh lebih bagus dibandingkan harga jual buah yang rasanya mirip seperti kelengkeng, langsa atau rambutan. Matoa memimpin ketiganya dari sisi harga.
Saat ini masa panen buah matoa, kita bisa mendapatkannya di pasar, meskipun tidak semua pasar ada. Tetapi ya mesti merogok kocek yang lebih tinggi. Oya, jangan terlalu banyak mengkonsumsinya karena buah matoa ini banyak sekali mengandung glukosa jenuh. Jadi makan terlalu banyak bisa menyebabkan teler alias mabuk. Secukupnya saja ya.***
_Solo, 9 September 2015_
foto. dok pribadi
Langganan:
Postingan (Atom)