Minggu, 18 Oktober 2015

Kabut Asap Masih Tebal di Palembang

Pagi sudah menyapa, meninggalkan malam, semilir angin menerobos di sela-sela dinding kayu. Suara ayam berkotek dan gonggongan anjing membuat riuh pagi di desa Rambai. Saya tidak lagi menarik selimut tebal yang beberapa malam mampu menghangatkan badan dari dinginnya malam.
Jendela kayu berderak saat di buka. Beratnya kayu membuat kaca jendela bersuara kala terbuka. Gelap, itulah kesan pertama saya. Saat saya melihat jam sudah pukul 05.30, saya cukup terkejut. Sudah pagi, tetapi hari masih cukup gelap.

Saat saya keluar dan melihat ke atas, ternyata kabut asap menyelimuti desa Rambai. Ya, pagi itu seperti beberapa hari sebelumnya, Palembang masih pekat dengan kabut asapnya.
Saya sudah tiga hari berada di desa Rambai, kecamatan Pangkalan Lampam, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Sejak menginjakkan kaki di Palembang, Minggu (16/9/2015), kabut masih terlihat cukup pekat. Ternyata sampai hari Rabu, saya masih melihat kabut , bahkan saya lihat lebih pekat.
Selama di desa Ramabai, saat siangpun matahari seperti enggan menampakkan diri, tertutup kabut asap. Udara terasa panas, tetapi terlihat mendung.

Kemarin siang, kami menunggu kelengkapan warga peserta Sekolah Desa untuk hadir sambil berbincang dengan ibu-ibu.
“Ya, halo, maaf Mas, nggak biso gabung. Masih nunggu api di ladang,” terdengar suara warga di telepon teman saya.
Beberapa warga yang mestinya mengikuti acara Sekolah Desa, terpaksa terlambat datang bahkan ada yang tidak bisa hadir karena siaga, menunggu ladang gambut dan sebgaian lagi memadamkan api di ladang mereka.

Sejak Selasa (15/9/2015) di wilayah Kabupaten OKI terjadi kebakaran lahan. Tidak ada yang tahu persis penyebabnya, di duga kuat karena sejak Senin panas menyengat. Hal itu menyebabkan kebakaran lahan gambut lebih mudah.
Menurut informasi yang beredar, titik panas yang tersebar di Palembang paling banyak terdeteksi di Kabupaten OKI dan Musi Banyuasin. Tak tanggung-tanggung, dari 50 titik panas menjadi 100 titik panas.

Saya sendiri yang berada di lokasi tak jauh dari titik api (menurut warga, titik api juga berada di lahan warga Desa Rambai) merasakan kabut asap yang tebal dan bau asapnya. Entah karena tidak terbiasa, mata juga merasa pedih meskipun saya tidak sempat batuk-batuk.
Yang jelas, kabut asap hari ini, Rabu (16/9/2015) menyebabkan sejumlah penerbangan di Palembang delay. Anak-anak sekolah di sejumlah tempat diliburkan.

Sampai sore hari, sejumlah warga selalu waspada dan bergantian menunggu lahan untuk memadamkan api dan memastikan api tidak menyebar ke mana-mana. Kewaspadaan selalu dijaga karena api dalam lahan gambut tidak mudah padam. Meskipun api kelihatan padam(dipermukaan) tetapi api di dalam masih tetap berkobar. Hal inilah yang membuat titik api seringkali cepat meluas dan tidak terdeteksi.

Warga tanpa lelah terus bersatupadu untuk menjaga api tidak bertamabah besar sehingga kabut asap tidak semakin banyak.  Ratusan anggota Brimob  datang  ke Palembang untuk  membantu memadamkan api.

_Palembang, 16 September 2015_

Sabtu, 17 Oktober 2015

Nikmatnya Beragam Kuliner Palembang

Meskipun jauh berkurang dari beberapa hari yang lalu, kabut asap masih menyelimuti Palembang. Menurut teman-teman saya, beberapa hari yang lalu, biasanya saat lepas ashar menjelang petang, asap mulai turun dan menyelimuti kota. Bahkan jarak pandang tidak sampai 50 meter.
Hari ini sudah mendingan, masih kata teman saya. Karena sejak selepas ashar masih menikmati ramainya kota Palembang dalam jarak beberapa ratus meter.


saat malam turun, asap mulai terlihal tebal

Sejak pukul 11.00, pesawat GA yang membawa saya dari Jakarta ke Palembang mendarat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, hawa panas menyengat kulit saya rasakan. Sebenarnya panas matahari tidak terlalu terik, tetapi udara terasa sekali panasnya, gerah. Dan yang lebih terasa adalah bau asap yang khas. Menyengat. Saat siang asap hanya tipis, tetapi tetap kelihatan kalau asapnya masih ada.

Bukan pertama kali saya ke Palembang untuk urusan pekerjaan. Saya pernah ke sini beberapa tahun yang lalu. Beruntung bisa bekerja sekaligus plesiran, rekreasi melihat salah satu bagian dari negeri tercinta ini.

Seperti biasanya, karena kerjaan masih esok hari, saya dan teman-teman dari Palembang menikmati kuliner khas Palembang. Saat di tanya mau makan apa, ya saya jawab empek-empek. Habis mau bilang apa, khan yang saya tahu makanan khas Palembang itu ya empek-empek.

Singkat kata, kami diajak berhenti di rumah makan empek-empek yang kata teman saya terkenal di Palembang karena enak. Sebelum hidangan yang kami pesan datang, saya membatin, mungkin benar ya, karena saya lihat ada fotonya pak SBY saat makan di RM Pak Raden yang terletak di tengah kota.
Ehm ternyata benar yang dipromosikan teman saya. HIdangan di RM tersebut memang enak . Beragam makanan dan minuman khas Palembang dihidangkan.

empek-empek kapal selam, dicocol dengan cuko lebih nikmat

Empek-empek
Yang pertama jelas empek-empek. Meskipun di Solo juga beberapa kali bersantap empek-empek, tetapi di Palembang rasanya lebih mantap. Rasa ikan gilingnya terasa pas. Terbuat dari campuran tepung sagu, ikan Belinda yang diambil dari sungai Musi, air dan sedikit garam. Cara makannya juga lebih mantap dengan di cocol. Kalau setahu saya kan di dipotong-potong dan di santap biasa. Tetapi dengan di cocolkan di kuah cuka hitam atau disebut cuko sensasinya beda. Cuko ini berbahan dasar gula merah, cabe , udang kering. Nah setelah empek-empeknya habis di cocol, baru mie basah, ketimunnya di makan biasa setelah dicampur dengan cuko. Beberapa empek-empek yang ditawarkan seperti lenggang, adaan, panggang dan kapal selam membuat lidah bergoyang


otak-otak bakar yang di bungkus daun pisang

Otak-otak
Kalau saya biasa melihat otak-otak yang sudah jadi di packing dengan plastik, tetapi di sini kita bisa menyantap otak-otak yang baru dipanggang masih dengan balutan daun pisang. Bau daun pisangnya membuat rasa otak-otak lebih lezat. Bahan yang digunakan adalah ikan tenggiri, santan, telur dengan campuran bumbu ketumbar, garam, merica, bawang merah, daun bawang, tepung beras dan tepung sagu


burgo, sekilas mirip lontong sayur di Jawa
Burgo
Makanan yang satu ini baru saya tahu. Burgo sekilas seperti lontong sayur, tetapi ternyata bukan. Terbuat dari daging ikan, biasanya dari ikan gabus, santan, dengan bumbu serai, daun salam,garam, bawang merah, bawang putih, kemiri, jahe,kunyit dan lengkuas.




meskipun namanya ikan asin tetapi sama sekali tidak asin, kriuk-kriuk mirip rempeyek

Ikan asin
Dihidangkan sebagai pelengkap dari makanan utama. Meskipun ikan asin tetapi tidak terlalu asin, dan yang pasti kriyuk-kriyuk, sebagai penganti krupuk.

campuran ayam dan wortel, tomat, daun bawang serta seledri dengan merica dan bawang putih

Sop Ayam
Meskipun seperti sop ayam pada umumnya tetapi rasa sop ayam dari Palembang lain lho. Bumbu kaldunya lebih berasa mantap dengan campuran kaldu ayam asli dan merica serta bawang putih yang saya rasa banyak sekali. Cocok untuk disantap saat dari bepergian jauh dan terkena gejala masuk angin. Kuah panasnya bisa meringankan gejala masuk angin tersebut.




srikoyo rasanya lengit dan baunya harum

Srikaya atau Srikoyo
Oya, sebelum makanan disajikan, kami terlebih dahulu ditawarkan kue Srikaya. Ada dua macam varian, kue srikaya rasa santan dan rasa durian. Wah, manis, lengit dan enak sekali, cocok untuk makanan penutup. Tapi saya sudah incip-incip sebelum makanan utama, hehe. Kue srikaya terbuat dari santan, yang dicampur telur dan daun pandan atau durian.




es kacang merah segar

Es Kacang Merah
Satu lagi pilihan enak untuk minuman, yaitu es kacang merah. Berbahan dasar kacang merah rebus yang ditambahkan sirup gula, irisan nangka, dicampur susu kental manis dan cincau serta di campur dengan susu coklat. Ehm, manis dan segar rasanya. Disantap saat panas, cocok sekali.


foto. dok pribadi
Palembang, 13 September 2015

TPA Putri Cempo diselimuti Asap, Warga Khawatir

Urusan kabut asap tidak hanya menimpa warga di wilayah Sumatera dan Kalimantan saja, Solo juga mengalami hal yang sama meskipun asapnya bukan berasal dari kebakaran hutan.

Sejak Minggu (6/9/2015) warga yang tinggal di sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo, Mojosongo, Solo waspada dan diliputi kekhawatiran lantaran asap tebal membumbung tinggi. Asap berasal dari kebakaran lahan TPA Putri Cempo yang terjadi sejak Jumat (4/9/2015). Tak kurang dari 5 hektare lahan di TPA terbakar akibat dari terbakarnya sampah yang tertimbun di areal TPA.

Sampah terbakar di lokasi TPA Putri Cempo sebenarnya  sudah sering terjadi saat musim kemarau seperti saat ini. Tidak ada yang tahu pasti penyebabnya, bisa berbagai hal seperti kebakaran karena puntung rokok yang tidak sengaja dibuang atau karena reaksi kimia.

Celakanya tidak hanya warga Solo yang berdiam  di sekitar TPA Putri Cempo, yaitu warga di Jatirejo dan Randusari, juga kampung  terdekat  lainnya tetapi juga warga di Kabupaten tetangga yaitu Kabupaten Karanganyar juga  terkena dampak asap kebakaran sampah tersebut. Setidaknya warga dari empat dusun yaitu Dusun Jengglong, Tunggulrejo, Suluhrejo dan Inggasrejo Desa Plesungan Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar terpaksa menghirup asap sampah tersebut.
Antara TPA Putri Cempo dengan dusun tetangga (Kabupatan Karanganyar) hanya dipisahkan dengan sungai kecil dengan jembatan kecil.

TPA Putri Cempo, dari tahun 2011 perharinya menampung sekitar 300 ton sampah dan akan bertambah saat ada event yang digelar di Kota Solo. Paling tidak sejak 4 tahun terakhir ini Pemkot Solo sering melakukan event khusus setidaknya setahun ada lebih dari 10 event yang bertaraf lokal, nasional bahkan intrenasional yang menyedot penonton dari berbagai wilayah sehingga produksi sampah semakin berlipat ganda.

Celakanya, sampah yang terus meningkat tidak di ikuti dengan pengelolaan sampah di kota Solo. Karena Pemkot Solo dalam penanganan sampah masih menggunakan cara yang konvensional yakni sistem pembuangan terbuka atau open dumping dimana sampah dibuang ke tanah yang sudah di gali setelah itu sampah ditutup tanah lagi. Cara tersebut terbukti tidak efektif karena areal yang digunakan untuk menampung sampah suatu saat akan mengalami keterbatasan daya tampung atau overload.

Saya sendiri tahu persis, karena selama beberapa bulan melakukan penelitian di TPA Putri Cempo, banyak tumpukan sampah yang bau karena air lindinya merembes kemana-mana. Bahkan sampai di jalanan depan rumah warga dan sering menghalangi jalan masuk ke rumah warga sekitar.

Meskipun sejak setahun terakhir berbagai upaya sudah dilakukan,seperti melakukan  kajian dengan melibatkan Bappenas untuk pengelolaan sampah yang lebih efektif tetapi toh sampai sekarang belum ada titik terangnya. Masih saja sampah di buang secara konvensional.

Menurut warga sekitar TPA Putri Cempo, api tidak akan mudah dipadamakan karena banyak tumpukan sampah di berbagai tempat. Jadi titik-titik api kecil masih bisa ditemukan di lokasi TPA. Biasanya api akan padam sekitar satu bulan sejak terbakar.Ya, mereka hafal karena sudah terbiasa dengan kebakaran sampah tersebut.

Memang sampai saat ini warga belum terserang ISPA, penyakit yang dikhawatirkan menyerang warga saat sampah terbakar, tetapi rasa was-was terus menghantui mereka. Untuk itu, sebagian anak balita sudah mulai diungsikan untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.

Berita baiknya, Puskesmas setempat selalu siaga sejak asap pekat menyelimuti TPA tersebut. Selain itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Solo juga terus berupaya memadamkan api yang membakar sampah di TPA Putri Cempo. Meskipun titik-titik api susah dipadamkan karena berada di bagian bawah gunungan sampah, tetapi BPBD terus berupaya.

Semoga segera bisa dipadamkan secara total dan warga setempat selalu diberikan kesehatan, amin.


Foto. dok. pribadi
  _Solo, 11 September 2015_

Tujuh Pemain Timnas U-23 Masuk TNI AD

Liga sepakbola di Indonesia beberapa waktu lalu berhenti setelah terjadi gonjang-ganjing yang menyebabkan pembekuan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).

Sejak saat itulah, banyak para pemain bola yang terpaksa banting stir, mencari cara untuk tetap bertahan hidup. Sebagian memilih tetap di jalur sepakbola dengan mengambil job yang jarang diambil oleh pemain kelas nasional dan klub besar, yaitu bermain di sepakbola tarkam ( antar kampung). Bermain sepakbola tarkam ini, tidak diminati pemain klub besar tetapi banyak di lakukan oleh pemain klub-klub kecil di saat mereka tidak ada kontrak, atau gaji dari klub terlambat. Ini terjadi di klub di kota saya, bahkan ada tetangga di perumahan yang menjadi pemainnya dan sesekali terpaksa mengambil ajakan sepakbola antar kampung.

Bukan rahasia umum kalau banyak pemain  terpaksa dan tidak ada pilihan lain (mengambil job tersebut) karena keluarga mereka tetap membutuhkan hasil dari kerja keras mereka, sementara klub terlambat membayar gaji. Bagi yang mempunyai usaha sambilan seperti kost-kostan, rumah makan , toko olahraga dll mungkin masih bernafas lega. Tetapi bagi yang tidak ada usaha sambilan ya terpaksa harus memutar otak lebih keras .

Bahkan dalam tayangan sebuah infotaiment televisi swasta, ada pemain naturalisasi yang terpaksa sekarang beralih stir menerima tawaran bermain sinetron dan bintang iklan karena menganggur dari dunia sepakbola.
Berbeda-beda cara mereka untuk terus bertahan , pilihan ada di tangan mereka.

Yang beda dari biasanya, sejumlah pemain sepakbola memilih untuk mendaftar sebagai bintara TNI AD. Bermacam alasan seperti karena panggilan hati, karena sepakbola Indonesia tidak ada kejelasan, dll. Ada 12 orang pemain sepakbola, 7 diantaranya lolos alias diterima menjadi calon bintara melalui jalur khusus. Mereka adalah anggota timnas U-23.

Mereka mengikuti tes masuk melalui program calon bintara (Caba) Unggulan, yang merupakan jalur khusus bagi orang-orang yang berprestasi atau di bidang profesi tertentu. Tetapi meraka tetap melalui tahap seleksi .
Kabar gembiranya, meskipun program tersebut dilaksanakan setiap tahun tetapi baru tahun ini ada penerimaan pemain bola. Smoga tahun berikutnya terbuka peluang jalur khusus untuk pemaian sepakbola dan cabang olahraga lainnya.

Berikut daftar keduabelas para pemain sepakbola yang lolos seleksi calon bintara TNI AD
1. Ravi Murdianto (Mitra Kukar/ Timnas U-23)
2. Abduh Lestaluhu (Persija/Timnas U-23)
3. Manahati Lestusen (Barito Putra/Timnas U-23)
4. Teguh Amirudin (Barito Putra/Timnas U-23)
5. Safri Al Irfandi (Semen Padang/Timnas U-23)
6. Ahmad Nufiandani (Arema/Timnas U-23)
7. Wawan Febiyanto (PBR/ Timnas U-23)
8. Muhammad Dimas Drajat (Persegres U-21/ Timnas U-19)
9. Muhammad Arsyad (PBR ISL)
10. Imam Bagus Kurnia (PON Jatim)
11. Iman Fathurahman (PBR ISL)
12. Angga Saputra (Persekabpas/PON Jatim)


_Solo, 9 September 2015_

Matoa, Si Lonjong dari Papua dengan Beragam Manfaat

Lonjong, berkulit kasar, bentuknya tidak terlalu besar dengan warna hijau selagi masih muda dan saat matang akan berwarna kuning merah kehitaman. Sekilas seperti buah langsa dari Maluku atau pijetan kalau orang Jawa menyebutnya, tetapi setelah diperhatikan bentuknya lain.

Soal rasa, ehm, manis. Rasanya seperti campuran antara kelengkeng dan rambutan yang segar dan enak. Daging buahnya juga hampir sama , putih, dengan isinya hitam.

Buah Matoa, buah khas dari Papua tetapi sudah banyak ditemukan di mana-mana. Aslinya pohon Matoa ini tingginya rata-rata sampai 18 meteran, dengan diameter yang cukup besar, mencapai hampir satu meter.

Saat ditanam di Jawa, buah Matoa bisa hidup dan terus berbuah meskipun baru mencapai tak lebih dari sepuluh meter. Di kampung sekitar perumahan saya, rata-rata pohon matoa setinggi 10 meter sudah berbuah lebat dengan dahan-dahannya yang menyebar di seantero pohon. Bahkan di sebelah rumah saya, tak lebih dari 5 meter sudah berbuah dan tak kalah manisnya dengan buah matoa lainnya.

Di balik rasa manisnya itu, ternyata buah matoa mengandung banyak manfaat. Kaya dengan vitamin C dan E, buah ini baik untuk kesehatan tubuh. Kandungan vitamin C bisa bermanfaat sebagai antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas yang mampu menyerang sistim kekebalan tubuh manusia. Selain itu, sebagaimana vitamin C yang terkandung di buah lainnya, buah matoa juga mampu meningkatkan daya tahan tubuh sehingga lebih tahan terhadap serangan berbagai macam penyakit.

Sementara untuk vitamin E yang ada di dalam buah matoa, dapat membantu meringankan stress, meningkatkan kesburuan, meminimalkan resiko terserang kanker dan jantung koroner, juga dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Jangan lupa manfaat vitamin E lainnya untk menjaga kesehatan kulit dan kelembaban kulit. Apalagi saat musim kemarau seperti saat ini, kelembaban kulit terasa berkurang karena panas yang menyengat.

Selain bermanfaat dari sisi kesehatan, buah matoa juga mampu membantu memberikan tambahan pemasukan buat keluarga. Betapa tidak, tetangga kampung saya memiliki 5 pohon matoa, sekali panen dengan harga satu kilogramnya mencapai Rp 40.000,00 dan hasil sekali panen bisa mencapai 50-100 kilogram, pemiliknya bisa tersenyum lebar. Karena pohon ini tidak butuh perawatan ekstra, didiamkan saja akan tumbuh besar dan saatnya nanti berbuah.

Harga jualnya jauh lebih bagus dibandingkan harga jual buah yang rasanya mirip seperti kelengkeng, langsa atau rambutan. Matoa memimpin ketiganya dari sisi harga.

Saat ini masa panen buah matoa, kita bisa mendapatkannya di pasar, meskipun tidak semua pasar ada. Tetapi ya mesti merogok kocek yang lebih tinggi. Oya, jangan terlalu banyak mengkonsumsinya karena buah matoa ini banyak sekali mengandung glukosa jenuh. Jadi makan terlalu banyak bisa menyebabkan teler alias mabuk. Secukupnya saja ya.***



_Solo, 9 September 2015_
foto. dok pribadi

Bisikan Kucing Hitam

Hus..hus..hus….
Kucing hitam itu hanya memandang tak berkedip, seperti tak terusik sama sekali. Ia tetap duduk dengan posisi semula.
Hus..hus… Buk!
Meong!

Dayat mengusir kucing itu dengan jengkel. Kali ini sebuah tepukan kasar dari sapu ijuk mendarat di punggung kucing hitam yang mengaduh sambil memelototi Si Empunya Sapu. Pandangan matanya galak, menantang. Tubuhnya berdiri tegak dengan ekor menjulang, bersiap untuk menerjang. Sesekali taringnya yang tajam diperlihatkan.
Jerih juga Dayat di pandang kucing yang kalap itu. Ada sebersit penyesalan mengelayuti hatinya, tetapi cepat dibuangnya jauh-jauh. Huh, itu hanya seekor kucing kampung yang menjengkelkan, katanya sambil membanting pintu. Lega. Ia terhindar dari mata tajam itu, setidaknya untuk beberapa saat.
                                                                                                  **
Sudah seminggu ini kucing hitam itu terus duduk di teras rumah Dayat. Tenang, tak bergeming tetapi kelihatan waspada. Meskipun kucing itu tidak masuk rumah dan tidak mencuri makanan, tetapi ia tak nyaman juga. Berulangkali ia mencoba mengusir tetapi kucing itu hanya pergi sebentar dan kemudian entah dari mana datangnya makluk berbulu itu  kembali duduk tenang di teras. Sepertinya kucing itu sengaja duduk di teras rumahnya untuk menterornya. Jelas itu. Dayat yakin karena melihat mata kucing itu menyiratkan kebencian sangat padanya. Ia jelas sengaja membuat hidupnya tidak tentram. Dan kucing sialan itu berhasil. Ya sangat berhasil membuatnya  tidurnya tidak nyenyak lagi.

Dayat tinggal sendirian, menyewa sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Tidak terlalu jauh dari tempat kerjanya, hanya butuh waktu 30 menit untuk mencapai kantornya yang berada di pusat kota. Meskipun sederhan, tetapi Dayat cukup puas karena lingkungan rumahnya masih asri. Perumahan lama tetapi masih banyak tanah kosong yang belum dibangun. Udaranya sejuk karena banyak pohon rindang di tepi jalan sepanjang perumahan. Sudah hampir  setahun lebih Dayat tinggal di situ dan ia meresa betah.

Oahem…. Berulang kali ia menguap, kantuk sudah sedari tadi menghampirinya tetapi matanya tak juga terpejam. Ingatan pada kucing hitam itu membuatnya terus dilanda kekhawatiran. Dayat mencoba mengingat-ingat maklum berkumis itu. Kenapa ia senang duduk di teras rumah? Sepertinya sedang mengawasi sesuatu, atau menunggu sesuatu? Ach entahlah.

Meong…meong…meong….
Suara itu terdengar sayup-sayup tetapi perlahan jelas sekali tertangkap telingganya. Terdengar mirip jeritan ditingkahi kesedihan yang memilukan . Dayat bergidik, seluruh kuduknya berdiri. Perlahan tetapi pasti suara kucing itu mengiris hati, kesakitan dan berlumuran derita.
Dayat…Dayat….Dayat….
Bisikan itu terdengar perlahan mirip desahan angin, tetapi terus berdeging di telingga Dayat. Amat jelas sehingga membuatnya terus berjaga. Berkali-kali ia dilanda keresahan, menutup telingganya dengan bantal berharap suara itu menghilang. Tetapi tetap saja rintih kucing itu terdengar jelas.
Beberapa lamanya ia berkutat dengan bantal, sampai kemudian ia memutuskan untuk mengusir kucing hitam itu. Dengan marah Dayat memegang sapu dan menyalakan lampu teras.
Byar! Tak ada siapa-siapa. Tak ada sosok kucing hitam itu. Hanya desau angin yang terdengar lembut berayun membuat dinginnya malam semakin terasa.
Dayat beranjak dengan kesal, kembali ke kamar dan berusaha untuk tidur.
                                                                                                  **
Kring…kring….
“Ya, halo..”
“Sudah mau berangkat kerja, Mas?” suara Ndari dari seberang sana terdengar begitu jernih. Sejak setahun yang lalu ia hidup terpisah, karena bekerja di luar kota. Dua minggu  sekali Dayat pulang untuk menemui istrinya yang masih tinggal bersama mertuanya. Rencananya kalau Ndari sudah melahirkan, ia akan memboyong istri dan anaknya ke sini.
“Iya, sudah siap-siap.”jawab Dayat sambil mengikat tali sepatunya.
“Sudah minum teh, Mas?”
“Belum sempat, bangun kesiangan. Nanti sekalian saja sarapan,” jelas Dayat. Menjelang dini hari matanya baru bisa terpejam setelah berusaha menghilangkan suara kucing dari telingganya. Ia bangun kesiangan dan tidak sempat membuat teh. Selama di kontrakan, setiap pagi ia hanya minum teh panas untuk penghangat perut, baru sarapan di warung dekat kantornya.
“Gimana anakku? Sehat saja, Dik?” tanya Dayat antusias. Ia selalu senang mendengarkan perkembangan janin yang lima bulan lagi akan lahir.
“Iya, baik, sehat. Mas hati-hati di jalan ya. Jangan ngebut. Ingat jangan sampai menabrak kucing,” pesan Ndari serius.
Deg. Hati Dayat bergetar. Kucing? Kenapa Ndari bicara soal kucing?
“Mas?”
“Eh, iya, iya. Mas berangkat dulu ya. Kamu juga harus hati-hati. Jaga anak kita ya, Dik,” pesan Dayat sambil mengucapkan kecupan untuk istri dan anaknya.
“Daggg.”
                                                                                               **
“Wajahmu kok burem gitu, Yat. Matamu merah lagi,” tegur Anton, teman sekantor Dayat tak berpaling dari papan laptopnya. Tangannya menari-nari dengan lincah.
“Iya, aku kurang tidur,” jawab Dayat tanpa semangat. Seharian ia sudah bersusah payah menahan kantuk dengan berbagai cara. Minum kopi, menghisap rokok, bolak balik ke kamar mandi untuk mencuci muka, tetapi berkali-kali mulutnya toh tetap menguap . Meskipun tidak sampai satu jam lagi waktunya pulang, tetapi Dayat sudah tidak sabar lagi. Matanya sudah ingin di pejamkan rapat-rapat. Bayangan kasur empuk menari-nari di pelupuk matanya. Tidur, hanya itu yang ia harapkan.
“Nglembur?”
Dayat mengeleng.
“Mikirin apa sampai kurang tidur?” Kali ini Anton menatapnya. Menghentikan gerakan jemarinya.
“Nggak bisa tidur. Semalam ada suara kucing berisik. “ sungut Dayat kesal. Sekali lagi ia menutup mulutnya saat tak bisa menahan diri untuk menguap.
“Hahahaha, ya usir saja, suruh pergi,” kata Anton enteng.
“Masalahnya kucing itu nggak mau pergi. “ Dayat sengaja berbohong tidak mengatakan kalau sebenarnya tidak ada kucing semalam saat ia mencarinya di teras. Ia khawatir Anton mentertawakannya.
“Ya, usir dengan saja. Tapi jangan kasar. Kasihan,” tambah Anton lagi.
Hoahemm..
Dayat membenahi kertas kerja dan laptopnya.
Syukurlah, batinnya lega saat jam menunjukkan pukul 17.00. Ia bisa segera pulang dan bebas membayar tidur yang belum terpuaskan tadi malam.
“Aku pulang dulu, Ton. Sudah tidak tahan ngantuk,” teriaknya sambil keluar dari kantor.
“Iya, hati-hati. Jangan ngebut, kamu ngantuk. “
“Sip,” jawab Dayat sambil mengacungkan jempolnya.
“Eh, Yat. Jangan sampai nabrak kucing ya. Ingat pamali,” teriak Anton saat tinggal melihat punggung temannya.
“Oke,” balasnya sambil bergegas. Kucing lagi..kucing lagi, rutuknya sebal. Kenapa seharian kucing menjadi pembicaraan penting?
Dayat menjalankan motornya dengan cepat.
                                                                                                  ***
Citttttttttttttttttttt!
Brak!
Meong…meong…
Kucing hitam itu mengeong pelan dua kali. Matanya melotot ke arah Dayat. Setelah bergerak-gerak tak karuan beberapa kali, ia mengeong lemah menahan sakit kemudian diam tidak bergerak.
Dayat memucat, menahan jerih. Meskipun ia tidak suka dengan kucing tetapi melihat kucing mati dengan usus terburai membuat perutnya mulas.
Setelah memastikan tidak ada yang melihatnya, ia bergegas memacu sepeda motornya. Itu bukan salahnya, kucing itu menyeberang dengan sembarangan. Tidak melihat motor melintas dan Dayat tidak sempat menghindarinya.
Sepanjang perjalanan hati Dayat terus berkecamuk. Ia mengutuk sifat pengecutnya, tidak berani mengambil kucing itu dan menguburnya dengan baik. Kenapa ia membiarkan kucing itu tergeletak begitu saja? Seharusnya kucing itu dirawatnya dengan layak. Tapi itu bukan kesalahnnya. Kucing itu yang salah. Ach, itu hanya kucing, pasti tidak ada yang kehilangan, seru sisi hatinya yang lain.
                                                                                      ***
“Awas… ada kereta .” Terdengar teriakan panjang dan keras dari beberapa orang.
Dayat terbeliak, moncong kereta sudah mendekatinya. Ia lupa kalau melewati palang kereta api tanpa penjaga. Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk menahan laju motornya, tetapi kesadarannya terlambat datang.
BRAK!
DUAR!

Tubuhnya terpental jatuh tepat di depan moncong kereta, berlawanan dengan motornya yang terpental di seberang rel. Dayat menjerit ngeri saat roda besi itu beberapa centi di depannya , siap melumat habis tubuhnya. Saat itu ia mendengar lamat-lamat bunyi kucing mengeong persis di telingganya. Bayangan kucing hitam berkelebat dengan cepat sebelum ia menutup mata.***

 _Solo, 8 September 2015_


gambar:www.kaskus.co.id

Alasan Guru TK Mengajarkan Calistung

Saat ini susah rasanya mencari Taman Kanak-Kanak (TK) yang tidak mengajarkan Calistung, hanya mengajak anak-anak bermain, belajar bersosialisasi, membuat berbagai macam ketrampilan dan kreatifitas lainnya sesuai dengan usia dini.

Idealnya, play gorup, TK A dan TK B sebagai taman bermain, sarana bermain, bukan sekolah. Sehingga mestinya anak lebih banyak diajak bermain, eksplorasi diri dan memuaskan masa emasnya untuk lebih banyak bebas berkreasi, tanpa banyak terbebani dengan 'pelajaran'.

Tetapi apa mau dikata, PG/TK yang tidak memasukkan materi pelajaran Calistung, rasanya jarang diminati oleh orangtua. Sebenarnya ada sebagian orangtua tua yang menginginkan anaknya yang masih berusia dini untuk banyak bermain tanpa terbebani pelajaran Calistung, tetapi mereka juga tidak berani berspekulasi. Kenapa? Karena saat anak masuk SD, salah satu materi tesnya ya Calistung itu. Meskipun banyak digembar-gembotkan persyaratan masuk SD tidak harus bisa Calistung tetapi cukup dengan kecukupan umur saja, tetapi toh hampir semua SD tetap mematok kemampuan Calistung menjadi syarat utama agar diterima.

Saya tahu sendiri, tahun pelajaran 2015 ini, ada seorang anak yang tidak diterima masuk SD saat tes Calistung tidak lolos. Padahal anaknya sudah cukup umur dan lulus TK. Anaknya menangis meraung-raung karena sudah terlanjur senang dengan SDnya dan ibunya marak-marah karena anaknya tidak diterima.

Maka, tak mengherankan jika saat memasukkan ke TK, orangtua biasanya akan mencari informasi materi Calistung masuk atau tidak dalam materi yang akan di berikan ke anak-anak.
Pun demikian juga dengan TK, karena tuntunan orangtua dan tuntutan agar sekolah diminati, mau tidak mau ya memasukkan Calistung ke dalam salah satu pelajaran.

Kembali ke soal materi Calistung untuk anak TK, ada sebuah pengalaman seorang ibu tinggal di Solo, kebetulan juga menjadi kepala sekolah sebuah PAUD/TK. Ia cukup idealis, ingin mendidik anak usia dini dengan banyak bermain, eksplorasi dan tidak mengajarkan Calistung di sekolahnya. Sangat ideal, meskipun sekolahnya tidak banyak di minati. Tetapi ibu tersebut menjadi sedih dan marah saat tes masuk SD anaknya tidak lolos karena tidak  bisa Calistung. Anak pengajar PAUD/TK nggak bisa diterima di SD karena nggak bisa Calistung? Bayangkan betapa prihatinnya dia, memberlakukan konsep yang ideal tetapi terganjal di jenjang pendidikan diatasnya. Lantas kalau akhirnya ia akan mengubah materi pendidikan untuk sekolahnya dengan mengorbankan idealismenya itu karena tuntutan keadaan.
 Dalam beberapa obrolan dengan kepala TK dan guru-gurunya, mereka sebenarnya juga setengah hati untuk mengajarakan Calistung pada anak-anak usia 3-5 tahun. Tetapi mereka tidak punya pilihan lain, karena orangtua maunya menitipkan anaknya agar salah satunya membuat anak bisa Calistung.

Itulah saya menjadi memaklumi ketika sebuah TK memberikan materi Calistung kepada anak didiknya. Para guru ‘dituntut’ untuk bisa mengajarkan anak-anak Calistung kalau mau sekolahnya tetap diminati.

Menurut saya, anak usia dini tidak masalah diberikan pelajaran Calistung, asal dengan metode yang sesuai dengan usianya dan tidak memberatkan. Misalnya saya pernah menuliskannya di artikel ini sebelumnya.
http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/mengenalkan-anak-calistung-tanpa-belajar_55cd5661b092734a0521b56c

Tetapi celakanya tidak semua guru TK mempunyai metode dalam menyampaikan Calistung yang bena-benar membuat anak nyaman dan serasa bermain saja bukan belajar. Ini yang memberatkan bagi anak-anak usia dini tersebut.

Saya berharap, guru TK mampu berinovasi dengan berbagai metode yang membuat anak nyaman agar memaximalkan kemampuan anak dalam hal fisik, intelektual, bahasa, sosial, emosional . Berjalan seiring sejalan, seimbang bekerjasama dengan orangtua anak didiknya. ***


_Solo, 7 September 2015_

Beratnya Beban Pelajaran Anak Kelas 1 SD

Susah ya pelajaran anak kelas 1 SD sekarang,” keluh salah seorang ibu yang putrnya kelas 1 SD. Tak lama ibu-ibu yang sedang menunggu anaknya pulang sekolah saling bercerita beratnya pelajaran kelas I SD.

Rata-rata mereka terkejut, heran dan tidak habis pikir kenapa anak kelas I SD sudah diberikan pelajaran dengan materi yang berat. Ya, saya juga mengamini, meskipun tidak terkejut lagi karena pernah mengalami hal itu saat anak pertama dan kedua kelas 1 SD. 

Kami  lantas memperbincangkan hal tersebut. Di sela-sela pembicaraan, seorang ibu sempat berkomentar, ”Bagaimana mungkin anak sempat bermain kalau pelajaran saja sesulit itu.”

Deg, tepat sekali. Melihat materi pelajaran di buku-buku tebal dan LKS yang ‘bikin pusing’ saat melihatnya, kesempatan anak untuk bersantai dan bermain sepuasnya selayaknya usia mereka yang rata-rata 6 tahun-7 tahun terancam hilang. Bagaimana mau bermain, lha wong pelajaran yang mereka terima cukup mengagetkan di masa peralihan dari TK ke jenjang SD. Pelajaran di awal semester ini, sudah cukup berat, apalagi kalau dilihat materi di semester kedua.


Misalnya untuk pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN), pelajaran awal sudah belajar tentang berbagai agama, suku di Indonesia. Di salah satu tugas ada pertanyaan “Lagu ayam de lapeh dari daerah mana?“. “Tari Payung berasal dari daerah mana?“ Woalah, apa ya nggak bingung anak-anak yang seusia itu menghafal berbagai suku di Indonesia dengan baju adat, tarian, lagu daerahnya?


Kemudian untuk pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) ada sejumlah pertanyaan tentang keluarga, misalnya pertanyaan “Siapa yang dimaksud dengan kerabat?” “Orang yang tidak dapat berbicara disebut?” Masih dipelajaran yang sama, di lembar latihan anak diajak untuk belajar penalaran misalnya dengan menceritakan gambar di beberapa orang berdiri. Pertanyaannya adalah “apa yang terjadi jika kalian naik bus yang penuh dengan penumpang?”


Pelajaran lainnya tak kalah sulit, misalnya di Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dikenalkan dengan bagian tubuh, kegunaanya dan kebutuhan tubuh kita. Nah ada pertanyaan-pertanyaan yang harus dijelaskan dengan sabar, misalnya “apakah yang dimaksud dengan makanan bergizi?” “Apakah manfaat dari kulit itu?”
Bahasa Indonesia, dalam salah satu materi yang diberikan, anak-anak diminta untuk bisa membedakan suku kata, misalnya pertanyaan “sepeda baru, bagaimana dengan suku katanya?”


Belum pelajaran yang lainnya, rata-rata sama beratnya untuk anak seusia 6-7 tahun. Bahkan anak saya yang kelas 9, sempat berkomentar saat adiknya membaca pelajaran muatan lokal bahasa Jawa, ”Lho kok pelajarannya sama denganku Dik.” Ternyata adiknya yang kelas 1 SD sudah diajari bahasa kromo inggil, ngoko alus dan ngoko, yang menjadi salah satu materi pelajaran kelas 9.

Dengan materi pelajaran yang cukup berat tersebut, tak heran jika orangtua merasa kesulitan (beragam alasan, karena materi berat, sibuk dll) saat anak bertanya sehingga pilihannya adalah memberikan les kepada putra-putrinya. Sudah biasa lho, anak-anak kelas 1 SD sudah dileskan. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, kasihan dengan anak sekecil itu harus ‘serius’ belajar. Saya bisa membayangkan beban berat mereka kelak saat kelas 6 yang bersiap mengikuti UN. Lha kelas 1 saja sudah dileskan, apalagi kalau kelas 6?

Mestinya saat-saat peralihan dari pendidikan Taman Kanak-kanak ke SD ini, materi yang diberikan tidak memberatkan. Menerima pelajaran saja banyak yang tergagap-gagap, karena sebagian besar cara guru SD memberikan pelajaran sangat berbeda dengan guru di TK. Guru SD cenderung memperlakukan anak-anak kelas 1 SD seperti anak-anak kelas 3, 4, 5, 6 yang memang sudah lebih matang. Nah, secara bertahap, mulai kelas 2 SD anak-anak diperkenalkan dengan materi yang lebih berat dan seterusnya. Tidak saat kelas 1 sudah ‘dipaksa’ memahami banyak materi yang pastinya ‘mengejutkan’ bagi mereka. Ini kan masih masa peralihan dari belajar di TK yang lebih banyak bermain dan bersenang-senang.

Menurut saya,mestinya guru perlu mempersiapan mental anak secara bertahap agar maksimal dalam menyerap pelajaran. Semoga. ***

_Solo, 6 September 2015_

Jangan Umbar Emosi di Medsos

Media sosial memudahkan kita melakukan banyak hal, membantu memperlancar pekerjaan, menjalin komunikasi, melakukan bisnis, menemukan orang-orang yang bertahun-tahun tidak bersua dan merekatkan kembali hubungan dengan orang lain. Tetapi jika kita tidak bijak dalam memanfaatkan medsos, kerugian yang akan kita rasakan.

Sudah banyak orang yang ‘ terpancing’ dengan kecanggihan medsos sehingga kurang bisa mengontrol dirinya sendiri. Mengumbar emosi, cacimaki, menguarkan kekesalan hati . Kalau tidak bijak , bukan tidak mungkin malah  berperkara dengan hukum. Sudah ada beberapa orang yang merasakan dampaknya saat kurang bijak ber-medsos.

Saat ada orang bijak yang mengatakan," jangan mengumbar emosi di medsos ", kiranya itu peringatan yang tepat. Kelegaan setelah mengeluarkan isi hati lewat medsos, bisa jadi menjadi penyesalan yang panjang.
Bijaklah mengontrol emosi,keluarkan di waktu dan tempat yang tepat. Usahakan jangan sampai mengumbar emosi lewat medsos, apalagi saat ada ketidakpuasan dengan keluarga sendiri, terlebih dengan anak/ibu.

Berkaca dengan luapan isi hati artis Krisdayanti (KD) yang menanggapi kicauan anak sulungnya dari perkawinan pertama, Aurel Hermansyah, ibaratnya menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. KD agaknya lupa kontrol emosi saat ia menanggapi curahan hati anaknya.

Saat Aurel merayakan ultahnya yang ke-17, Sabtu (29/8/2015) malam, KD tidak bisa hadir. Barangkali Aurel kecewa dengan Miminya, sehingga ia menulis di akun Instagram-nya, @aurelie.hemansyah, mengungkapkan bahwa KD tidak datang ke pesta ulang tahunnya karena dilarang Raul, suami KD kedua.
"Sebenarnya aku nggak mau nulis ini, tp aku lelah dibilang dan dibully sebagai anak durhaka!!!" curahan hati Aurel pada Minggu.
"Mimi adalah ibu yg melahirkan aku dan aku nggak mungkin mau menjadi anak durhaka walau apapun keadaannya... Sudah 5 bulan aku nggak bisa ketemu mimi jd gmn aku bs post foto sm mimi ,” tambahnya lagi.

KD agaknya kelewat emosi sehingga membalas kicauan anaknya,
"Kondisi terakhir yg membuat saya sangat terpukul krna sikap tidak sopan kedua anak sy Aurel dan Azriel, sy jga sebagai ibunya malu atas tindakan anak saya. Sy berharap jg suami sy memaafkan mereka," balas KD dalam akun Instagram-nya, @krisdayantirl, Minggu (30/8/2015).
"Sy sangat paham dengan curahan hati anak saya Aurel. Dulu2 malah suami saya selalu mengingatkan saya untuk selalu berusaha contact anak2 dan ajak bertemu supaya bisa dekat dengan anak2. Namun setiap mau ketemu tiba2 anak saya yg batalkan dgn alasan ini itu. Itu semua saya pahami karena mungkin dengan kesibukan mereka," tambahnya.


Apa yang diungkapkan KD melalui akun instagramnya sebagai balasan dari tulisan anaknya, menurut saya kurang tepat. Bukankah itu artinya ia membuka aib sendiri? Sebagai selebritis yang banyak disorot public, mestinya ia bisa mengerem emosi dan menyampaikan secara baik-baik ke putrinya tanpa melalui medsos. Masyarakat yang tidak tahu hubungan keluarga mereka, jadi tahu setelah apa yang mereka tuliskan. Kenapa KD-nya sebagai ibu tidak memerankan sosok ibu yang diinginkan anaknya? Bisa saja ia menanggapi ungkapan Aurel dengan cara menelpon anaknya dan memberikan pengertian  baik-baik alasan ketidakhadirannya sekaligus menjawab tentang kondisi 5 bulan terakhir yang menyebabkan anaknya susah bertemu dengannya.

Saya memahami perasaan Aurel, gadis remaja yang dalam masa pertumbuhan, mencari jati diri dan terus berusaha membaca , memahami situasi hubungan miminya dengan ia, ayah dan adiknya. Sebagai anak yang saat itu beranjak remaja dan tahu Miminya meninggalkan Pipinya kemudian menikah dengan laki-laki yang juga meninggalkan keluarganya, ia pastilah sangat kritis dan tanggap situasi yang terjadi saat itu. Meskipun ia masih dianggap anak-anak , tetapi ia juga punya perasaan dan pasti tahu kalau apa yang dilakukan Miminya tidaklah mendapatkan kerelaan hatinya.

Untuk itu, kita bisa belajar dari pengalaman tersebut. Menurut saya, sebaiknya orangtua dan anak , dalam kondisi semarah apapun, jangan sampai mengumbarnya melalui medsos. Dalam hitungan detik semua jutaan orang bisa mengetahui apa yang mestinya tidak boleh diumbar ke publik. Usahakan jangan mengumbar masalah keluarga sendiri di muka umum, karena bisa jadi masalah tersebut adalah aib bagi keluarga sendiri .

Bijaklah menggunakan medsos, kendalikan, manfaatkan medsos untuk membantu kita. Jangan sampai kita yang dimanfaatkan medsos .
Semoga bisa menjadi bahan perenungan kita bersama, amin.

KD, kalau boleh menyarankan, telpon  dan ajaklah putrimu bertemu. Peluk Aurel  dengan hangat dan penuh kasih sayang. Ajaklah ia bicara, selayaknya seorang ibu mengajak bicara anaknya. Dengarkan curahan hatinya, bicaralah antara dua orang wanita. Insyaallah Aurel mau mengerti. Smoga  kesalahpahaman bisa terselesaikan.
Aurel, dengarkan kata Mimi-mu. Ia sangat sayang padamu, hanya perlu  meluangkan waktu khusus untukmu dan Azril. Kau sudah remaja, beranjak dewasa, pasti kau bisa memahami  keadaan  Mimimu.

_Solo, 31 Agustus 2015_

Rabu, 14 Oktober 2015

Nama-nama Unik, Ada Tuhan,Saiton, dan..

Kalau selama ini kita biasa mendengar  istilah ‘apalah artinya sebuah nama’, tetapi sejak seorang warga asal Banyuwangi yang bernama Tuhan banyak dibicarakan di media sosial, sebuah nama menjadi sangat berarti.
Nama yang melekat pada seseorang dan menjadi identitas diri, diberikan oleha orangtua mestinya dengan keinginan, harapan tertentu. Rasanya tidak ada orangtua yang memberikan nama asal-asalan saja kepada anak-anaknya , apalagi hanya sambil lalu. Bahkan banyak orangtua yang sejak jauh-jahu hari sebelum anaknya lahir, sudah mencari calon nama yang akan diberikan ke anaknya. Dengan berbagai pertimbangan, mencari namkma yang tepat. Karena bagi orangtua sebuah nama adalah doa, harapan yang kelak ingin terwujud.

Ada lho nama-nama unik, tak biasa di Indonesia. Selain Tuhan dari Banyuwangi, ada lagi nama Tuhan , seorang warga Probolinggo yang sehari-hari bekerja sebagai pembuat batu bata. Kemudian ada Saiton dari Palembang yang  berprofesi sebagai guru dengan gelar Msi.


Sebagian orang menganggap nama tersebut kurang lazim, tidak biasa dan terdengar aneh , karena bukan seperti nama pada umumnya. Bahkan banyak orang yang lalu meributkan, memperbincangkan dan ada yang menyarankan ganti nama.
Kenapa ada yang  meributkan nama-nama tersebut. Toh, selama mereka warga yang baik, tidak merugikan orang lain, tidak berbuat kriminal, tidak mencuri uang rakyat, biarkan saja mereka tetap nyaman dengan nama yang disandang sejak lahir. Soal orang menganggap aneh, biarkan itu yang merasakan mereka yang bersangkutan. Bukankah bertahun-tahun mereka sudah terbiasa dengan nam itu dan merasa ya seperti nama pada umumnya.
Oya, kalau mau tahu lagi, masih banyak nama-nama yang jarang dipakai oleh orang, seperti

 • Gulat Medali Emas Manurung, tersangka suap Gubernur Riau nonaktif.
• Dua Malam Sehari, manajer turnaman sepakbola di Karanganyar
• Idealis Radikal , pernah bermain di Persela Lamongan
• Gutmorning, orang Jawa Tengah
• Satria Baja Hitam , orang Lampung Selatan
• Minal Aidin Wal Faizin, asal Tangerang, Banten
• Selamet Dunia Akhirat, asal Purbalingga
• Sechah Walafiat, asal Solo
• Royal Jelly, pengemudi taxi
• Rinso, warga Kaltim
• Anti Dandruf
• Dont Worry
Nama-nama tersebut hanya satu yang saya tahu dan kenal langsung, hanya tahu dari teman dan sebagian dari media massa.

Nah, kalau nama ini SURGA, saya kenal dan tahu langsung orangnya karena tetangga saya sendiri.
Surga, anak laki-laki usianya sekitar 12 tahun, anaknya kecil tinggi kurus. Rajin ke masjid dan sangat penyayang. Meskipun masih kecil, anak sulung dari dua bersaudara ini cukup dewasa. Ia rajin membantu orangtuanya terutama ibunya yang folio sejak kecil dan mengalami keterbatasan aktivitas. Menurut Surga, namanya indah karena diberikan orangtuanya. Meskipun tidak biasa dipakai, tetapi ia malah senang karena mungkin ia satu-satunya orang yang bernama Surga (katanya sambil tertawa).



_Solo, 30 Agustus 2015_


Kenapa Anak-anak Lebih Senang Makan di Luar Rumah?

"Anak saya susah makan. Tapi kalau makan diluar..wah lahap dan banyak sekali." Kata Mama Anggra, mamanya teman anak saya, saat menjemput anak pulang sekolah. "Padahal saya sudah masak enak, kesukaannya. Eh tetap saja malas makan. Maunya makan di luar terus," tambah Mama Anggra lagi.
"Memang menu makanan diluar beda, Ma?" tanya saya.
"Nggak lho Ma. Anggra tuh senang ayam goreng, sudah tak buatin. Kalau makan di luar ya minta ayam goreng lagi," sungutnya tidak tahu kenapa anaknya lebih senang makan di luar.  Padahal masakan mamanya Anggra itu enak lho. Nggak kalah dengan rasa masakan yang biasa di beli.
"Mungkin kalau di rumah makannya pakai sayur, kalau beli diluar makan garingan (tanpa sayur) saja?" tebak saya.
Mama Anggra terdiam, kelihatan mengingat-ingat sesuatu. " Iya, saya kira memang begitu, Ma," katanya tiba-tiba.

Masalah anak susah makan rasanya sudah dialami semua ibu, tak terkecuali saya. Sebagian besar teman-teman saya juga mengeluh hal yang sama. Anak susah makan, tetapi suka dengan camilan dan semangat saat diajak makan diluar. Meskipun dengan menu yang sama plus rasa yang  berani bersaing dengan rumah makan, tetapi anak tetap saja  suka makan diluar.

Kenapa anak lebih suka  makan di luar rumah?
Saya menduga karena anak merasa lebih nyaman makan dengan suasana yang berbeda dari rumah. Rumah makan lebih menarik karena mampu memberikan tempat yang nyaman, menarik dan menyajikan menu masakan yang dikemas menarik.

Bisa juga karena rasa masakan di luar lebih enak, gurih, mantap dibandingkan dengan masakan ibu di rumah. Harus kita akui, saat memasak kita lebih berhati-hati sehingga memilih untuk menghindari bumbu-bumbu yang disinyalir dalam jangka penajng berbahaya bagi tubuh.  Kalau rumah makan lain lagi, tidak terlalu memikirkan jangka panjangnya, tetapi yang penting masakan enak, gurih, lezat. Tak peduli taburan bumbu yang banyak bahkan berlebihan. Meraka cenderung mengejar pelanggan agar datang lagi karena ketagihan dan mendapatkan untung besar. Urusan kesehatan itu urusan pelanggan sendiri, kira-kira begitulah yang mereka pikirkan.

Kemungkinan yang lain, saat makan diluar, anak lebih leluasa memilih menu yang disukainya termasuk makanan garingan (makan tanpa sayur). Ibu jarang memaksa anak untuk makan sayur (yang mungkin tidak disukai Si Anak). Ibu juga tidak mau berdebat dengan anaknya ketika makan diluar. Lain lagi kalau di rumah, ibu lebih leluasa untuk memaksa anak makan sayur meskipun tidak disukai anaknya.
Menyediakan menu makanan buat keluarga gampang-gampang susah. Selera  makan antar anggota keluarga bisa berbeda, sehingga tidak semua masakan yang kita sajikan diminati. Sudah begitu, saat kita repot-repot masak, eh masakan tidak di makan. Ujung-ujungnya masakan sia-sia saja. Lebih sia-sia lagi saat sudah masak tetapi anak menginginkan makan di luar.

Untuk itu, sebagai seorang ibu, kita di tuntut untuk 'lebih pintar' dibandingkan dengan anak kita.  Menyediakan menu makanan yang disukai   anak secara lebih variatif juga bisa membantu menarik perhatian. Kalau anak lebih suka makan diluar, ibu  bisa saja mengabulkan keinginannya tetapi tentunya dengan syarat tertentu. Misalnya hanya boleh seminggu sekali, itupun kalau semua PR selesai dikerjakan. Sekolahnya rajin, menyelesaikan tugasnya. BOleh makan diluar tetapi harus dengan sayur. Setiap hari makan di rumah  tidak boleh malas/asal-asalan,  dan sebagainya.

Intinya anak tidak dibiarkan terus merasa  nyaman  saat makan diluar,  tetapi juga harus  dengan sukarela makan di rumah. Kalau memungkinkan  aturlah situasi rumah paling nggak  agak  mirip dengan situasi rumah makan. Atau sesekali ubah tatanan rumah  agar tidak membosankan.

_Solo, 29 Agustus 2015_

Jangan Ada Lagi 'Orang Miskin Dilarang Sakit'

Sedia payung sebelum hujan, peribahasa itu tepat untuk masyarakat yang ingin hidupnya lebih nyaman, aman dan tidak panik saat tiba-tiba sakit. Pastilah tidak ada seorangpun  yang ingin sakit, tetapi jika sakit datang, siapa yang bisa menolaknya?
Wes awak loro, isih mikir biayane” (Sudah merasakan sakit, masih harus memikirkan biaya berobat ) keluhan seperti itu biasa saya dengar. Dan saya sendiri juga merasakan hal yang sama. Seperti jatuh masih tertimpa tangga pula. Nasib jelek yang bertumpuk-tumpuk.

Kami sendiri pernah merasakan hal yang sama. Saat anak-anak masih kecil, tiba-tiba sakit dan harus di opname. Kebetulan kami tidak mempunyai asuransi kesehatan, sehingga biaya rumah sakit yang cukup tinggi bagi kami ( tahun 2003 dua anak sakit masuk rumah sakit karena diare, opname 3 hari dengan biaya sekitar Rp 4,5 juta) harus ditebus dengan mengambil tabungan yang kami kumpulkan sedikit demi sedikit selama bertahun –tahun untuk keperluan lain. Rasanya kerja keras bertahun-tahun habis dalam sekejap. Tetapi demi anak, apapun akan kami lakukan.

Selain biaya yang cukup tinggi saat anak-anak masuk rumah sakit, biaya berobat jalan ke dokter juga cukup menguras kantong kami yang hanya  pegawai biasa di salah satu kantor swasta. Beruntung kami jarang sakit, hanya sesekali sakit ringan yang tidak memerlukan opname. Hanya anak kami  yang beberapa kali  sakit.

Premi Terjangkau Bikin Hidup Nyaman
Senang dan lega, itulah perasaan kami, saat tahun 2014, pemerintah mempunyai program Jaminan Kesehatan Nasional yang terkenal dengan BPJS Kesehatan.

Rasanya tak salah lagi, program ini meringankan beban masyarakat seperti kami. Saat asuransi  kesehatan lain tak bisa kami jangkau karena mematok premi tinggi , rata-rata diatasRp 350.000 pernasabah /bulan, dengan ikut BPJS Kesehatan hanya cukup merogoh kantong Rp 59.500/bulan/orang untuk kelas 1. Sementara untuk kelas 2 hanya Rp 42.500/bulan/orang dan kelas 3 denga Rp 25.500/bulan/orang.
Sampai dua bulan pertama sejak diluncurkan, kami mengikuti informasi seputar BPJS Kesehatan. Pernah langsung mau ngurus kepesertaan tetapi urung karena setiap datang ke kantor BPJS Kesehatan selalu penuh orang yang antri. Saya melihat antusias masyarakat cukup tinggi untuik mendaftar.

Akhirnya tanggal 6 Maret 2014, saya datang ke kantor BPJS Kesehatan di kota Solo. Karena baru berjalan di bulan ketiga, antrian panjang mengular. Saya harus sabar untuk dilayani karena lebih dari tiga loket Customer Service (CS) dibuka untuk melayani pendaftar. Sekitar satu jam kemudian saya mendapatkan giliran dilayani para petugas yang ramah dan memberikan penjelasan yang saya butuhkan. Proses berlangsung dengan cepat, sampai saya mendapatkan kartu peserta BPJS kesehatan setelah membayar
premi untuk satu
 bulan.

Hari itu juga, kami sekeluaraga resmi terdaftar sebagai anggota BPJS Kesehatan secara mandiri. Hidup kami rasanya lebih nyaman karena untuk urusan kesehatan sudah tidak terbebani.
Selama setahun lebih kami menjadi peserta, sudah berkali-kali kami menggunakan kartu BPJS untuk berobat ke dokter keluarga. Beberapa kali juga menggunakan rujukan dokter faskes pertama untuk berobat ke rumah sakit. Saat berobat, tidak usah pusing memikirkan biaya. Tinggal membawa kartu dan menunggu antrian. Sementara untuk berobat ke rumah sakit tinggal menyiapkan berkas rujukan dan kartu peserta serta  antri di rumah sakit.

Kami benar-benar merasakan keuntungan menjadi peserta BPJS kesehatan karena:
 Pertama, hidup kami menjadi lebih nyaman karena ada jaminan pengobatan saat keluarga  sakit. Tidak perlu mengeluarkan biaya besar saat berobat apalagi kalau sampai opname. Tidak ada beban lagi jika sewaktu-waktu keluarga ada yang sakit.
Kedua, premi tidak membebani, tergolong murah dan terjangkau. Mana ada asuransi lain yang berani menanggung biaya pengobatan pesertanya dengan premi sekecil itu?
Ketiga, tidak merasakan diskriminasi pelayanan kesehatan. Selama menjadi peserta, kami merasakan pelayanan rekanan BPJS Kesehatan (dokter keluarga/faskes pertama dan rumah sakit) tidak berbeda seperti saat kami bukan peserta BPJS Kesehatan.  Alhamdulillah informasi yang beredar kalau peserta BPJS diperlakukan berbeda dengan peserta umum belum pernah kami alami. Dokter keluarga dan rumah sakit rujukan melayani dengan ramah selayaknya peserta umum lainnya.

 Tak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan BPJS Kesehatan, apalagi dalam usianya baru satu tahun. Meskipun dirasakan manfaatnya tetapi kami berharap BPJS Kesehatan tetap meningkatkan pelayanannya. Berikut beberapa masukan untuk BPJS Kesehatan :
Pertama, pihak BPJS Kesehatan perlu meningkatkan pelayanan terkait informasi kerjasama dengan rumah sakit. Selama ini ada pengalaman pasien yang opname di rumah sakit tetapi tidak bisa mendapatkan ruang perawatan sesuai dengan kelasnya. Pihak rumah sakit mengatakan kalau kelas ybs ( sesuai dengan kelas peserta) sudah habis sehingga mau tidak mau harus mengambil ruang dengan kelas yang lebih tinggi. Sehingga pasien menambah biaya sendiri. Kami sendiri belum pernah opname, sehingga tidak tahu persis. Tetapi banyak informasi seperti itu. Kedepan ada baiknya rumah sakit bisa menambahkan informasi secara terbuka (online) yang bisa dicek sewaktu-waktu ketersediaan ruang perawatan di rumah sakit ybs.
Kedua, rujukan rumah sakit (tipe B, C) dari dokter keluarga/faskes tingkat pertama perlu di pikirkan ulang sehingga tidak terjadi penumpukan di rumah sakit tertentu. Saya mengalami beberapa kali saat berobat ke rumah sakit dengan antrian yang sangat panjang. Untuk diperiksa dan antri mengambil obat tidak cukup dengan 4 jam mengantri. Hal itu membuat pasien merasa tidak nyaman karena lamanya waktu berobat. Karena lama mengantri, saya biasanya pulang dulu baru mengambil obat sore harinya.
Ketiga, hendaknya informasi kerjasama pihak BPJS Kesehatan dengan pihak lain, misalnya saat ada program papsmear gratis di maximalkan. Kedepan hendaknya setiap dokter keluarga/faskes tingkat pertama memberikan informasi bentuk kerjasama tersebut sehingga peserta BPJS Kesehatan bisa memanfaatkannya.

Akhirnya, sebagai masyarakat biasa, saya berharap kelak tidak akan ada lagi sindiran, “orang miskin dilarang sakit”. Kenapa? Karena dengan premi yang terjangkau, seluruh masyarakat Indonesia mestinya bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai,  nyaman, tepat, memuaskan, sesuai dengan kebutuhan.***

_Solo, 28 Agustus 2015_

Ibu Kenapa Kakak Berbeda


....setiap anak dilahirkan dengan membawa keunikan dan keistimewaan tertentu, maka syukurilah semua anugrah Tuhan ..


“Ibu, kenapa kakak berbeda?” tanya seorang anak kepada ibunya. Si Ibu hanya memandang anaknya sekilas dan mencoba mengalihkan pembicaraan dengan memberikan gadget kepada anak perempuan berponi tersebut.

Pagi itu, kami sedang menunggu antrian di sebuah rumah sakit. Kebetulan saya menunggu di depan periksa dokter mata. Saya tidak tahu siapa yang di tunggu ibu dan anak perempuan cantik itu. Tetapi saya melihat di sebelah, ada sebuah ruangan tertulis Ruang Okupansi. Saya langsung menebak kalau ibu itu sedang mengantar anaknya periksa di Ruang Okupansi.

“ Bu? Kakak?” tanya anak perempuan itu lagi. Wajah polos anak enam tahun itu terus menunggu, menanti jawaban dari ibunya yang tak kunjung menuntaskan rasa penasarannya.
“Sstttttt…..DIAM ” bentak Si Ibu membuat wajah anak itu mengkeret dan beralih ke layar gadget. Wajah Si Ibu tampak merah dan sesekali melihat kursi kanan dan kiri, ke pengantri lainnya, ia berusaha menyembunyikan rasa malu.
Belum sampai dua menit, Si Ibu meminta anaknya diam, tiba-tiba dari Ruang Okupansi terdengar teriakan-teriakan ribut suara anak kecil dan orang dewasa yang mencoba membujuk.
Dengan cepat, Si Ibu langsung berdiri dan masuk ke ruangan tersebut. Saya tidak tidak apa yang terjadi, tetapi suara ribut anak kecil semakin mengeras dan suara ibu dan seorang suster terus membujuknya untuk tidak rewel.

Tiba-tiba seorang anak laki-laki sekitar sekitar umur 8 tahun berlari keluar ruangan sambil menelengkan kepala, miring-miring dan meracau tidak jelas. Suaranya ah, uh tidak jelas. Si Ibu mengejarnya , membujuk, menarik tangan , tetapi tidak dihiraukan si anak yang berdiri tegak di dekat tembok. Ia cuek saja dengan bujukan ibu. Bahkan ketika ibunya memberikan sebuah HP, dengan cueknya ia ambil dan di otak atik sebentar . Saat suara sebuah lagu anak-anak terdengar, ia senang, mengoyang-goyangkan kaki dan badannya. Ibu itu terus membujuk agar anaknya mau masuk, bahkan dengan ancaman HP akan diambil kalau tidak mau menurut. Lagi-lagi Si Anak cuek saja, asyik dengan musik yang dia dengarkan dari HP.
Kesabaran ibu itu habis, ia membentak dan menarik tangan anaknya dengan kasar, tetapi dibalas dengan suara lengkingan marah dan hentakan kaki Si Anak. Kemudian, lagi-lagi ia asyik lagi dengan HPnya. Saat seorang suster membantu membujuknya, ia tidak tergerak. Bahkan saat adiknya ikut menghampiri dan menarik tangannya , ia tetap tak peduli.

Beberapa orang yang antri mau tidak mau memperhatikan Si Anak laki-laki itu. Saya juga ikut memperhatikan. Semula ingin ikut membujuk tetapi tidak jadi lantaran suster yang membujuk tidak mampu membuat ia tergerak dan akhirnya menyerah, meninggalkan ibu dan Si Anak Laki-laki berdiri di dekat tembok. Si Ibu marah, gelisah, salah tingkah dan berkali-kali melihat ke arah kami dengan wajah masam.
Saya perhatikan, Si Anak tersebut anak berkebutuhan khusus. Kemungkinana anak autis, melihat keterlambatan bicara, keasyikan bermain sendiri, hiperaktif motorik, tertawa sendiri, marah tanpa sebab, asyik dengan dunianya sendiri.

Saya jadi teringat dengan anak tetangga satu komplek perumahan. Sejak kecil ia memang tidak dianugrahi kemampuan fisik yang sama dengan teman lainnya. Ia difabel / different abilities people (orang dengan kemampuan yang berbeda). Tidak bisa berjalan, dan untuk melakukan kegiatan fisik harus dibantu orang lain. Ia anak sulung (saat ini usia 16 tahun) dan mempunyai seorang adik. Hebatnya keluarga tetangga saya ini, sejak kecil ia tidak pernah malu untuk mengenalkan anaknya kepada orang lain. Terhitung ia orang baru, bukan penghuni pertama di komplek perumahan sehingga saat ia pindah , semua tetangga tahu kondisi anaknya. Meskipun kemana-mana menggunakan kursi roda, ibu dan suaminya tidak pernah berusaha menyembunyikan keadaan anaknya. Saat ada acara di RT, ia selalu membawa anaknya dalam kursi roda. Dan hebatnya lagi ia memperlakukan anaknya seperti anak –anak lainnya .
Saya salut melihat anak keduanya/adik Si Sulung juga biasa saja, menerima keadaan kakaknya dan mengajak bermain kakaknya. Terlihat ia tidak terbebani dengan keadaan kakaknya.
Suatu saat saya pernah bertanya, bagaimana ibu bisa mengkondisikan anak kedua sehingga mampu menerima kakaknya yang mempunyai kemampuan berbeda tersebut?
Jawaban ibunya sungguh mengharukan,” Anak itu  amanah Tuhan, seperti apapun keadaanya harus bisa kita terima dengan lapang dada. Masih banyak yang tidak mempunyai keturunan, dan saya dipercaya untuk merawat anak saya. Untuk itu, kami harus bisa menerima dan memperlakukan seperti orang biasa. Adiknya sejak kecil, saat ia mengenal kakaknya ya kami kondisikan keadaan kakaknya. Dan ia bisa menerima itu.”

Memang saat ini sebagian besar masyarakat sudah mulai terbiasa melihat orang difabel, tidak menganggap orang yang ‘aneh’. Meskipun tidak menutup mata, mungkin masih saja ada yang beranggapan aneh dengan orang-orang berkebutuhan khusus. Saat masyarakat mulai terbiasa dan menganggap difabel seperti mereka, sayangnya masih saja ada keluarga yang mempunyai anggota keluarga difabel belum cukup ‘nyaman’ membaurkan anggota keluarga tersebut di tengah masyarakat. Rasa rendah diri, malu, takut dipermalukan, dll  menjadi alasanannya. Yang lebih memprihatinkan saat anggota keluarganya sendiri ‘belum bisa’ menerima kehadiran keluarganya yang lain daripada yang lain itu.

Belajar dari pengalaman tetangga saya, sejak dini sangat penting untuk mengkondisikan keluarga untuk menerima anggota keluarga yang kebetulan difabel. Secepatnya memberikan pengertian dan penjelasan , diharapkan secepat itu pula keluarga bisa memahami dan menerima perbedaan keluarganya. Sehingga keluarga tidak sampai bertanya-tanya tentang perbedaan, tidak malu dan rendah diri. Keluarga adalah kekuatan dan beteng pertahanan utama bagi anggota keluarganya, sehingga semestinya keluargalah yang akan menjadi pelindung saat anak difabel mendapatkan ketidaknyamanan dari lingkungannya.

 Solo, 27 Agustus 2015_